Jumat, 26 Agustus 2011

Zarathustra Masuk Kampus

Alkisah, pada umur tiga puluh tahunan Zarathustra meninggalkan rumahnya dan pergi ke gunung. Ia mengharap dalam kesendirian itu dapat menemukan sesuatu. Ia muak dengan segala aturan, norma, agama dan moralitas di lingkungan hidupnya, Danau Urmi. Manusia selalu berkutat pada benar-salah, baik-buruk. Yang anehya itu semua justru dibentuk oleh sesuatu yang sama sekali tak pernah diketahui manusia.

Dan setelah sepuluh tahun dalam kesendiriannya, ia turun gunung. Ia menemukan sebuah konsep mengenai Ubermensch, purnamanusia. Semua moralitas yang ia kenal dulu ditampiknya. Ia tahu bahwa semua nilai-nilai itu-yang dianggap baik dan buruk-justru menjadikan manusia bermental budak yang tak pernah merdeka dari dogma. 

Lewat Purnamanusia, Zarathustra yang turun gunung menyerukan untuk menjadi seorang manusia yang menghancurkan nilai-nilai yang telah ada, dengan se-kreatif mungkin mengaktualisasikan diri tanpa pembatas. 

Suramlah keberadaan manusia, tetap tanpa makna. Kuingin ajari mereka tentang makna keberadaanya: yakni sang purnamanusia, sang kilat yang terpancar dari awan gelap bernama manusia.

Zarathustr a sebenarnya adalah seorang nabi Persia dan pencetus ajaran Zorostrianisme yang hidup kira-kira 3500 tahun yang lalu. Namun, ia hidup kembali di akhir abad ke-19 sebagai tokoh fiktif dalam Also Sprach Zarathustra,Demikian Sabda Zarathustra, sebuah karya Freidrich Wilhelm Nietzsche.

Nietzsche Filsuf cum-penyair, ia penggagas konsep nihilisme. Di zaman hidupnya, ia sangat membenci moralitas yang terbentuk dari agama Kristen. Karena, baginya agama justru hanya menciptakan domba-domba pengikut yang ‘membunuh’ manusia itu sendiri. Dengan segala perangkat dogmanya. Maka dari itu ia menuangkan gagasannya mengenai Purnamanusia yaitu manusia yang melampaui manusia-manusia terdahulu. Maksudnya manusia yang bisa lepas dari segala dogma baik-jahat. 

Zarathustra sendiri dijadikan tokoh karena, ia adalah nabi pertama yang mendikotomikan moral lewat baik dan jahat. Lewat karyanya, Nietzsche-yang sebenarnya hasil refleksi Nietzsche sendiri-memberi kesempatan kepada Zarathustra untuk ‘meralat diri’ untuk menyampaikan ajaran baru yang tak mengenal baik dan jahat. Yang memutarbalikkan semua nilai.

Gott ist Tott, Tuhan telah mati, ucap Nietzsche. Tuhan maksud Nietzsche bukan Tuhan yang bersifat metafisik, ia adalah segala sesuatu yang bersifat dituhankan, bahkan sebatang rokok bisa menjadi Tuhan. Mengapa, karena manusia akan terus menemukan Tuhan-Tuhan baru, dan oleh karenanya segala yang dituhanan itu tidak bernilai. Dan selamanya akan terus seperti itu, adanya keberulangan abadi dari hal-hal yang sama (Ewige Wiederkunft des Gleichen).

Layaknya semua memang berulang,tak terkecuali dalam dunia kampus. Hari ini, mahasiswa masih terperangkap dalam Tuhan-Tuhan ciptaanya. Mahasiswa mana yang tak bangga melihat pendahulunya berhasil merobohkan dua rezim-Orde lama dan Orde baru. Walaupun, sebenarnya mahasiswa hari ini tidak benar-benar mengetahui distorsi-distorsi apa yang dihadirkan dalam upaya penaklukan rezim tersebut.

Mahasiswa hari ini menjadikan apa yang telah dilakukan sebelumnya menjadi dogma-dogma yang harus dilakukan kembali hari ini. Mahasiswa yang demikian seperti digambarkan Nietzsche sebagai domba-domba pengikut. Yang justru ‘membunuh’ si mahasiswa sendiri. Mahasiswa tak ubahnya budak-budak krsitianitas yang tak pernah menjadi manusia yang bebas.

Mereka mungkin dibebankan oleh dogma-dogma tersebut hingga jalur aktualisasi diri yang sesungguhnya tak pernah terbuka. Nantinya, mereka sendiri yang akan membunuh Tuhannya, saat yang mereka lakukan justru hanya dijadikan sebagai batu loncatan untuk masa depannya. Ya, kalau seperti itu Tuhan memang telah mati.

 Dogma juga hadir dalam beragam rupa, ia bisa juga hadir dalam macam-macam kebijakan kampus. Dahulu, sebelum NKK-BKK hadir mhsiswa bebas malakukan apapun di kampus. Hari ini untuk kuliah pun dibatasi, enam tahun adalah waktu studi mahasiswa. Lebih dari itu, silhkan pergi tanpa ijazah.

Siapa yang rela menggelontorkan uang banyak untuk kuliah tanpa hasil. Lebih baik kuliah, manut kepada dosen, yang penting dapat nilai bagus, cara apapun ditempuh. Matilah Tri Dharma perguruan tinggi. Daripada berorganisasi lebih baik siapkan contekan untuk ujian. Daripada ribet berpenelitian lebih baik memijat dosen. Daripada mengabdi kepada masyarakat lebih baik ikut seminar yang menunjang kegiatan akdemiknya, walau tak mengerti.

Beragam mahasiswa, beragam pula yang dtuhankan. Tak sedikit yang menjadikan segala sesuatu yang simbolik jadi Tuhan barunya. Nietzsche menyebutnya sebagai manusia modern tanpa kepribadian. Kemarin Tuhannya berupa game console, rokok langsing, café murah meriah. Hari ini Tuhannya berupa jejaring sosial, rokok menthol, Frenchisse gaul, bahkan kawat gigi. Entah apa Tuhannya untuk esok hari.

Dalam Demikian Sabda Zarathustra, Nietzsche lewat Zarathustra mengatakan “Mereka Mencipta Tuhannya dari tiada: tak heran: kini ia jadi tiada bagi mereka.” Mungkin bila Zarathustra masuk kampus, ia akan lantang berteriak, “jadilah manusia mandiri yang bebas mencipta, juga bebas menghancurkan.” 

Ya, jadilah manusia seutuhnya, juga mahasiswa seutuhnya. Tinggalkan semua nilai, norma, aturan, dogma, romantime, kebijakan kampus yang menghalang aktualisasi diri. Tak ada gunanya mengekor kepada yang sudah ada. Jangan jadi domba-domba pengikut, jadilah mahasiswa yang mampu melampaui mahasiwa sebelumnya. Seorang purnamahasiswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar