Sabtu, 27 Juli 2013

Rama dan Said

Untukmu, Sahabat.

TANPA BANYAK PIKIR, Rama langsung masuk kamar mandi setibanya di rumah. Ia mau berendam. Hari ini matahari sangat sombong, apalagi hanya untuk menghadapi bocah 8 tahun seperti Rama, ia hanya butuh mengedip. Akibat kesombongan matahari Rama tidak peduli apapun lagi, yang ia mau hanya berendam. Seragam putih merah itu saja sengaja tak dilepaskan, buatnya melepas pakaian tak mampu mengurangi kegerahannya, isi kepala bocah itu hanya dipenuhi air, air, air, dan adzan dzuhur.

Byurrrr, rama mencemplungkan diri ke bak.

Ibu Rama kaget, ia tak menyadari kehadiran Rama dan langsung memeriksa kamar mandi. Ia berteriak kepada Rama dengan mengucap Istigfar. Ia memarahi Rama banyak, karena tak mengucap salam saat masuk, karena tidak mencium tangan ibunya saat tiba di rumah, karena belum melepaskan seragam bahkan kaos kakinya, karena ia berendam di bak. Rama tidak peduli, yang ia inginkan saat itu hanya mendapatkan kesegaran.

“aku mau minum! Aku haus!”

“kemarin yang mau puasa kaya Said siapa? Kamu kan, lagian satu jam lagi juga dzuhur, nanggung dong,”

“tapi aku haus, bu. Minum aja deh gak usah maka. Said kan udah gede aku masih kecil”

“husshh, gak boleh,”

“tapi, aku gak kuat, bu,”

“yaudah kamu disitu aja dulu, nanti kalo udah adzan baru boleh minum. Tapi, bajunya dilepas dulu.”

Hari ini hari pertama anak kelas 2 Sekolah Dasar itu puasa, sedangkan satu jam menuju adzan dzuhur ia habiskan berendam di bak mandi.

Senin, 01 April 2013

Menunggu Mesias


Tanggapan atas Tulisan Ahmad Tarmiji Alkhudri; Menjadi Guru Tranformatif: Memformulasikan Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Inovatif dan Humanis.

Pendahuluan

Selain wacana perubahan kurikulum 2013, belakangan perbincangan profesi guru sering jadi buah bibir masyarakat. Hal ini karena sejak pertengahan 2012, ada tujuh mahasiswa yang menginginkan revisi dari Undang-undang Guru dan Dosen no. 14 tahun 2005. Mereka memersoalkan adanya lulusan non-LPTK yang disesejarkan dengan lulusan LPTK untuk memeroleh restu mengajar melalui PPG dari UUGD tersebut. Makanya tujuh mahasiswa itu kelimpungan dan berniat mengajukan gugatan judicial review atas UUGD untuk hal pasal tersebut. Usaha yang dimulai pada pertengahan 2012 ini akhirnya mentok pada kamis (28/3) ketika MK menolak gugatan ketujuh mahasiswa tersebut.[i]

Ada sesuatu yang menarik dari cerita di atas. Yakni konfrontasi antara kemampuan pedagogik seorang guru dan kemampuan keilmuan-misalnya guru fisika harus memiliki kemampuan yang setara dengan fisikawan-yang juga selalu jadi problem semenjak konversi IKIP menjadi sebuah universitas. Problem ini yang saya pikir juga dicoba dijawab Alkhudri dalam Menjadi Guru Tranformatif: Memformulasikan Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Inovatif dan Humanis.

Alkhudri mengandaikan ada satu lagi peran guru selain dalam fungsi mendidik (pedagogik) dan pengembangan keilmuan, yakni guru memegang peran penting dalam usaha transformasi sosial. Artinya setalah dua peran tersebut ditunaikan guru, ia berfungsi merangsang peserta didik agar mampu memiliki kecakapan sosial yang mampu menjawab zaman.

Selasa, 12 Februari 2013

Rasa Muak


Tiba-tiba saja, ada yang mengetuk pintu kos. Padahal saat ini sudah jam dua dini hari. Ini jarang kudapati, karena kos miliku selain si Ruki sahabatku tidak pernah ada yang datang kemari. Kulihat dari jendela, ada sosok ber-jas merah dengan dasi garis-garis berwarna biru dongker dan ungu. Sepatunya sangat mengkilap hingga aku yakin mampu bercermin di sepatunya, celananya katun hitam halus tanpa ada satu lekukan lecek. Baru kusadari ia adalah Rudolf teman kelasku.

Aku heran bukan main dari mana ia tahu kosku? Ada urusan apa ia menemuiku? Aku tahu aku satu kelompok dalam presentasi mata kuliah teknik penyulingan besok pagi, tapi aku juga tahu persis selama tiga tahun kami kuliah, ia dan aku tidak pernah satu kali pun mengundang obrolan bersama.

Setelah mempersilakan ia masuk, ia mengutarakan niatnya: ia mau pinjam buku penyulingan air, sembari katakanlah sebuah kegiatan belajar bersama. Di kelas memang cuma aku yang memiliki buku ini, dan bukunya memang sangat berguna. Beberapa kali aku bisa mengetahui apa yang akan dibicarakan dosen sebelum ia memaparkan penjelasan. Bahkan, aku tak jarang membantah dosen berkat buku yang kubaca ini. Buku itu sendiri kudapat dari kakekku, seorang professor terkenal dalam bidang fisika kinetik. Buku ini memang untuk kalangan terbatas, tapi mengetahui minatku yang tinggi terhadap fisika, kakek memberikannya kepadaku.

Tapi aku masih tak habis pikir mengapa si Rudolf mau kemari, menemuiku. Sebelum aku berspekulasi macam-macam kuberi saja Rudolf buku itu. Hematku, paling tidak aku sudah mendistribusikan ilmu. Barangkali nanti kalo si Rudolf sukses, aku akan memiliki  kontribusi akan kesuksesannya.

Aku beri buku tersebut, Rudolf juga tak serta merta pergi dari kosku. Ia membacanya sedikit demi sedikit. Beberapa yang tidak ia mengerti ditanyakan kepadaku. Misalnya mengenai purifikasi kinetik ia benar tidak mengerti, buatnya dengan kemampuan otak yang cekak lebih baik menyediakan saringan dengan lubang kerapatan yang kecil untuk mendapatkan air yang lebih bersih. Kuberi penjelasan: penyaringan memang lumayan berguna untuk benda-benda padat, namun teknik ini kurang berpengaruh untuk memisahkan air dari zat cair ataupun gas yang berbahaya bagi tubuh. Kujelaskan lagi: salah satu cara sederhana adalah dengan mengocok air dengan konstan, malah lebih baik bila sirkulasinya berbentuk lingkaran, walaupun tetap dibutuhkan material khusus dan lebih kompleks untuk hasil yang maksimal. Mendengar banyak penjelasan ia yang juga sadar punya otak tak mumpuni mencatatnya. Kupikir, serius sekali Rudolf ini. Selesai mencatat ia pulang, dan berterima kasih.

“sekarang gua mengerti, paling tidak ini cukup untuk bekal besok. Terima kasih banget, bro, kalo bukan lu, gua pasti bakal megap-megap besok.”

“hahahaha, bisa aja lu.”

Ia pergi, kubukakan pintu. Ada yang aneh, setelah jarak 10 meter membelakangiku, tiba-tiba saja kulihat ia hanya bersarung, dan mengenakan singlet. Mungkin aku terlalu ngantuk.

Keesokan harinya, tibalah giliran kelompokku bersama Rudolf berpresentasi. Kali ini si Rudolf yang banyak mengambil tempat, baik dalam penyajian makalah maupun menjawab pertanyaan-pertanyaan. Walau aku sempat melihat, ia jelas membaca catatan yang kemarin ia buat di kamar kosku. Biarlah, buatku mungkin ini permulaan bagi si Rudolf. Setelah presentasi selesai, semua bertepuk tangan. Si dosen malah bilang untuk menambahkan tepuk tangan bagi Rudolf yang gilang gemilang dalam presentasi tersebut.

“hebat kamu Rudolf, dari mana kamu mengetahui itu semua?”

“ah, biasa aja pak, saya cuma baca buku ini.” Rudolf menunjukkan buku milikku. “ini buku sulit sekali saya dapat, pak. Ini buku untuk terbatas untuk kalangan peneliti saja, saya mendapatkannya dari seorang professor fisika kinetik terkenal. Awalnya saya cuma meminjam, namun professor itu melihat ketertarikan saya yang besar terhadap fisika, kemudian ia memberinya kepada saya.”

Bajingan ini Rudolf, tidak kusangka pertemuan semalam ternyata diniati busuk olehnya. Aku tidak mempersoalkan pengakuannya terhadap buku itu. Aku hanya merasa bangunan pengetahuanku dirusak olehnya, ini sebuah pencurian hak cipta terhadap pengetahuan, dalam presentasi barusan, ia bahkan menggunakan kalimatku dalam menjawab pertanyaan yang kemarin ia lontarkan kepadaku. Terlebih dia menggunakannya untuk memperoleh kesempatan-kesempatan politis yang menguntungkan dirinya.

Mendengar apa yang diucapkan Rudolf saya langsung pukul dia, “Bicara apa lu, ini buku gua, bangsat!” Aku yang menjadi sangat reaksioner, kemudian dapat hardikan oleh dosen yang kemudian memarahiku. Aku jelaskan mengenai kejadian semalam, namun aku yang terlanjur mempresentasikan kebrutalan di depan dosen tak sekalipun digubris. Si dosen malah mencaciku.

“Sudah, pak tidak apa-apa. Mungkin karena terlalu lama saya meminjami buku ini kepadanya, jadi ia menganggap ini buku miliknya.”

“oh, jadi kamu sempat meminjami buku ini kepadanya?”

“iya, pak, selama ini ia aktif di kelas, karena belajar kepada saya. ia bisa bergumen panjang lebar juga karena penjelasan saya yang ia catat. Bahkan awalnya ia mengambil buku ini tanpa sepengetahuan saya, setalah saya tahu maka saya pinjami saja dengan saya nasihati, bila ilmu memang tidak bisa dikuasai sendiri.”

Rudolf bajingan! Kupukul lagi ia. Ia terjatuh

“Berhenti! Kamu setelah jam pelajaran ini selesai silakan menemui saya di ruangan saya!.” kata si dosen kepadaku.

Dasar hipokrit bajingan, tahu ceritanya seperti ini jangankan kupinjami buku ini, kupersilakan masuk, memegang tuas pintuku saja akan kuhajar kau semalam. Rudolf kemudian bangun, sembari mengeraskan suaranya ia menyodor buku itu kepadaku, “bila ingin pinjam bilang saja, jangan mengaku-ngaku seperti itu.” Kemudian suaranya ia pelankan: baik dan buruk cuma interpretasi, hati-hatilah!

Anjing!

Senin, 14 Januari 2013

Einsten, Bir, dan Kritik



Untuk ibu-ibu yang tak kuat digoda kritik: Merumuskan hal-hal negatif dari suatu masa transisi jauh lebih bermakna ketimbang karir akademis-Max Horkheimer


‘Little Boy’ dan ‘Fat Man’ memang bukan sembarang tamu, mereka berdualah yang datang tak diundang pada 6 dan 9 Agustus 1945 di Hiroshima dan Nagasaki. Setelah mereka berdua tiba, hampir dua ratus ribu manusia lenyap seketika, yang bersisa pun harus menanggung cacat seumur hidup. Peristiwa ini adalah salah satu bencana terbesar kreasi manusia.

Enam tahun sebelum Hiroshima dan Nagasaki kejatuhan ‘si anak kecil’ dan ‘si gendut’, Albert Einsten si jenius abad dua puluh mengirimi surat kepada Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt pada 2 Agustus 1939. Kurang lebih isi surat tersebut berisi: desakan kepada pemerintah AS untuk mengembangkan rumus mahsyur miliknya: E=M.C2 untuk menciptakan bom atom guna melumpuh pemerintah Nazi Jerman.

19 Oktober 1939, Presiden Roosevelt menandatangani proyek pengembangan bom dengan nama Manhattan Project sembari mengesahkan  Komite Pengembangan Senjata Atom dua hari setelahnya. Einsten sendiri kala itu sudah menetap di Amerika karena adanya pengusiran orang-orang Yahudi Jerman, ia salah seorang Yahudi yang terusir.

Entah apa yang ada di pikiran Einsten kala menyurati Roosevelt untuk bergegas mencipta bom atom. Yang ia tahu kala itu adalah Jerman lewat desas-desus telah memepersiapkan senjata super untuk memenangi Perang Dunia kedua. Einsten sendiri menyesal dan tidak mengira bahwa dampak dari bom atom tersebut sedemikian destruktif. ”Jika mengetahui akan menjadi sampai sedemikian akibatnya, lebih baik saya menjadi tukang reparasi arloji saja,” sesalnya.
Satu yang menarik adalah bahwa problem Einsten bisa dimaknai sebagai problem positivistik, secara vulgar bencana Hiroshima dan Nagasaki bisa ditelisik atas kecenderungan positivistik sebagai penyebabnya. Yakni, pemisahan antara pengetahuan dan kepentingan manusia. Buat orang-orang positivistik, pengetahuan adalah sebuah entitas mandiri yang tanpa campur tangan manusia ia bisa hidup dan bergerak. Sementara saat diturunkan kepada dunia manusia ia tidak akan merubah nilainya.

Ada salah satu lelucon menarik mengenai Einsten dari aktor dan sutradara Australia Greg Pead atau yang terkenal dengan nama beken Yahoo Serious. Dalam film besutannya Young Einsten(1988) ia memposisikan Einsten sebagai bocah eksentrik dari kepulauan Tasmania, Austalia. Einsten muda berasal dari keluarga petani Apel yang dituruni sebuah laboratorium rahasia untuk membuat bir yang memiliki gelembung.

Ceritanya si Eisnten muda mampu memecahkan teka-teki yang hingga lima generasi keluarga Einsten tak mampu membuat bir dengan gelembung. Ia menemukan bir versi gelembung dengan rumus yang baru saja ia ciptakan: energi sama dengan masa dikali kecepatan cahaya kuadrat. Setelah berhasil, ia berniat mematenkan rumus temuannya ke Sidney. Namun di tengah jalan rumus tersebut dicuri, dan oleh si pencuri rumus tersebut dijadikan dasar untuk membuat senjata nuklir yang dapat diperjualbelikan bagi negara yang doyan perang.

Rabu, 02 Januari 2013

Defragmentasi Kelas: Upaya Revitalisasi Konsep Kelas Karl Marx


Beberapa minggu yang lalu Jurusan Sosiologi UNJ didatangi beberapa aparat kepolisian. Kedatangannya bukan karena ada tindak kriminal yang dilakukan Jurusan Sosiologi UNJ ataupun mahasiswa/I nya, melainkan dalam upaya sosialisasi kemanan dalam berkendara dan berlalu lintas. Acara tersebut dibungkus dengan tajuk program pengabdian masyarakat.
Mengenai manusia berkendaraan yang melalu lintas selalu tampil wajah-wajah arogan, baik dari pelanggar (agen) maupun kontribusi aparat nakal (struktur). Perbincangan diskusi tersebut juga bermuara kepada perseteruan siapa yang mendeterminir? Agen atau struktur? Dalam kosmos sosiologikal hal ini telah menjadi perdebatan klasik, pemikir sosiologi makro juga banyak terproblematisir dalam aras tersebut, Durkheim, Marx sebagai nabi strukturalis, sementara Webber sebagai kafir yang membawa risalah pentingnya agensi.
Selanjutnya banyak yang masih merapal teks suci Marx dan Durkheim, tak sedikit pula yang menyuburkan kekafiran Webber. Dari dua kelompok ini kemudian muncul nabi-nabi sekuler yang berusaha mendamaikan kedua kelompok ini. Agak jauh melompat, kita menemukan nama Anthony Giddens walau bukan yang pertama namun ajaran mengenai sekularisasi agen dan struktur cukup berpengaruh dan komplit.
Giddens terutama menolak determinisme struktur, dalam istilahnya agensi dan struktur adalah dualitas yang mirip-mirip dua sisi mata uang, yang meskipun berbeda ia ada dalam satu bagian. Struktur satu hal yang diorganisasikan oleh aturan dan sumberdaya, lintas waktu dan ruang yang disimpan atas proses institusi dan pengkoordinasian lewat melacak sejarah, serta ditandai atas kehadiran subjek [i]
Kesan dialektis ingin ditampilkan Giddens sebagai pertautan antara Agen dan Struktur. Ia menekankan pada praktik-praktik manusia yang kemudian diinstitusikan dan kemudian menjadi sebuah hal yang harus dilakukan oleh manusia-manusia lainnya. Namun, Giddens memang tidak ingin tertidak mau terjebak dalam determinisme struktur, kemudian ia menekankan bahwa aktor juga tidak hanya memantau secara berkelanjutan dari perkembangan aktifitas mereka dan mengharapkan mereka melakukan hal yang sama. Aktor juga melihat aspek sosial dan fisik dimana ia bergerak.
Lebih dari itu aktor juga dapat memonitor proses monitoring tersebut dalam kesadaran diskursif. Skema interpretatif ini merupakan modus dari basis-basis pengetahuan di dalam kesadaran diri aktor, yang kemudian diaplikasikan secara reflektif dalam komunikasi berkelanjutan.[ii] Dalam hal ini, secara lebih umum Giddens memerhatikan proses dialektis ketika praktik, struktur dan kesadaran dihasilkan.