Jumat, 02 November 2012

Post-Modernisme: Proyek Emansipasi Setengah Hati


Biasanya, ihwal Post-Modernisme akan dimulai dengan penjelasan bagaimana ia lahir dari ketidakpuasan proyek Modernitas. Modernitas yang pada awalnya diklaim sebagai solusi atas problem manusia dan kemanusiaan, diyakini pemikir Post-Modernisme justru makin mematikan manusia dan kemanusiaanya.
Namun, biarkan saya memulai menulis mengenai Post-Modernisme dari sastrawan cum jurnalis Goenawan Mohammad (GM).  GM dalam banyak tulisannya telah menunjukkan kecenderungan Post-Modernisme. Tidak perlu jauh-jauh melihat kecenderungan Post-Modernisme GM, sila baca Majalah Tempo, Edisi 29 Oktober-4 November 2012 dalam rubrik Catatan Pinggir yang diampunya sejak Majalah Tempo berdiri.
Edisi tersebut menyajikan GM sebagai seorang Post-Modernis. Dengan judul: Shih, GM bercerita mengenai monopoli Pemerintahan Republik Cina yang kala itu dipimpin Chiang Khaisek. Satu regu Biro Monopoli Tembakau Pemerintah Cina diceritakan GM merampas rokok, dan hasil penjualan rokok seorang pedagang di Taipe, Taiwan.
Kejadian ini kemudian meluas menjadi sebuah aksi protes terhadap otoritarianisme Pemerintahan Cina, yang kemudian secara reaksioner dibalas Chiang Khaisek dengan upaya pembersihan besar-besaran di Taiwan. 4000 orang terbunuh.
Bagian selanjutnya, GM bercerita mengenai saksi mata peristiwa tersebut: Shih-Ming Te. Shih bukan hanya saksi mata atas peristiwa tersebut, ia kemudian menjelma menjadi aktivis yang mengupayakan kebebasan Taiwan atas kekuasaan yang menindas. Akibatnya, 25 tahun hidupnya dihabiskan di penjara sebagai imbalan atas aksi protes menentang Pemerintah Cina.
Dalam kepala tulisan (Lead) GM menulis: Tak mudah mengatakan apa itu keadilan, tetapi tentang ketidak-adilan orang dapat mengenalinya dengan seketika. Shih juga merasakannya, ketika banyak ancaman, kekerasan, intimidasi dan varian bentuk penindasan bertamu ke hidupnya, ia dengan mudah mengklasifikasi bentuk tersebut sebagai sebuah ketidak-adilan. Namun, seringnya ia mendapat situasi tidak-adil, Shih tiba pada pertanyaan: lantas, apa itu sebuh keadilan?.

Jumat, 12 Oktober 2012

Sosiologi Povokasi!


Pendahuluan

Awalnya adalah diskusi kelas mengenai bagaimana kurikulum Jurusan Sosiologi UNJ ditinjau melalui teori-teori sosiologi. Dalam diskusi yang diikuti delapan kelompok tersebut, hanya ada satu kelompok yang menggunakan teori konflik sebagai landasan guna meninjau kurikulum Jurusan Sosiologi, sisanya menggunakan teori fungsionalisme Emile Durkheim.

Dari diskusi tersebut hadir pertanyaan apa tujuan Jurusan Sosiologi yang termanifestasikan dalam visi dan misi Jurusan Sosiologi. Muncul juga beragam jawaban yang sifatnya normatif. Misalnya: munculnya pelatihan IT (Informasi Teknologi), komputer, diyakini mampu menjadikan mahasiswa menjadi guru sosiologi yang tanggap akan teknologi. 

Semua kebijakan kurikulum sosiologi diimani menjadi pendorong mahasiswa menjadi guru sosiologi yang kompeten sekaligus menjawab tantangan zaman. Sampai ada salah satu peserta diskusi yang menganggap kemunculan mata kuliah Sosiologi Agama diharapkan mampu meningkatkan iman dan taqwa mahasiswa, dan menunjang dimensi religi dalam konfigurasi guru yang sempurna.

Kemudian saya heran, kenapa jurusan yang memiliki visi menjadi program studi unggulan di tingkat nasional yang menghasilkan sarjana sosiologi yang mampu bernalar sosiologis ini justru malah menghadirkan iklim yang tidak sosiologis, dengan contoh tersebut. Beberapa paper yang sempat saya lihat malah hanya mengutip dari wikipedia.

Menjadi arogan bila menyalahkan peserta didik yang tidak mampu bernalar sosiologis sementara Jurusan Sosiologi sebagai struktur yang mengonformitas justru tidak pernah merangsang mahasiswa bernalar sosiologis. Lantas menjadi wajar bila mengatakan kurikulum Jurusan Sosiologi UNJ belum berhasil atawa gagal.

Atas kondisi tersebut muncul ketertarikan buat menggunakan teori kritis khususnya yang diusung institut frankfurt buat menganalisis kurikulum Jurusan Sosiologi UNJ.

Sabtu, 15 September 2012

Helvetica


Ada banyak prinsip yang dapat digunakan seorang desainer grafis. Namun, bagi desainer karbitan macam saya, prinsip KISS (Keep It Simple, Stupid!) nampaknya memang paling cocok. Mengapa cocok? Buat saya, seorang desainer grafis layaknya seorang nabi. Ia harus menyampaikan pesan yang mampu dicerna oleh khalayak umum lewat media yang ia ciptakan. Makanya, prinsip KISS memang sangat efektif digunakan bahkan bagi desainer yang mapan.

Dalam KISS efektifitas jadi panglima. Ia memadukan semua komponen visual yang dibutuhkan dengan menyederhanakan bentuk, demi menuju tatanan fungsionalis. Materi-materi penyusunnya juga berasal dari bentuk-bentuk yang sederhana. Satu yang jadi langganan dalam merayakan KISS adalah tipe huruf (font) Helvetica yang punya karakter sederhana dengan tingkat keterbacaan yang tinggi. Manuel Krebs dalam Film Dokumentasi: Helvetica! menyatakan, “If You’re not a good designer, and if you are not a designer. just use Helvetica. It looks Good!”

Saya sendiri sangat menggandrungi Helvetica. Dalam mendesain, belakangan saya tidak perlu banyak-banyak memakan waktu, karena dalam urusan memilih huruf, Helvetica pilihan utamanya. Helvetica sendiri lahir 1960 di tangan Max Miedinger dan Eduard Hoffman dari perusahaan pembuat huruf Haas di Swiss. Hingga kini, Helvetica menjadi huruf yang paling sering digunakan di dunia untuk keperluan visual.

Max dan Eduard mengklaim bahwa Helvetica adalah anak kandung dari modernitas. Ia lahir atas sebuah optimisme sebuah modernitas yang apik setelah kemencekaman dunia lewat Perang Dunia Kedua, khususnya Fasisme. Buat mereka berdua, makna hanya dikandung oleh kata-kata, bukan oleh huruf. Makanya huruf harus bersifat netral dan tidak perlu sifat dan bentuk yang ekspresif. Huruf hanya punya satu fungsi: tingkat keterbacaan (legibility) tinggi.

Minggu, 26 Agustus 2012

Merumus Ulang Manusia dan Kemanusiaan


Judul Buku  : Humanisme dan Sesudahnya;
                      Meninjau Ulang Gagasan Besar Tentang Manusia
Penulis        : F. Budi Hardiman
Penerbit       : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun Terbit : Juni 2012
Hampir empat abad yang lalu, tepatnya  22 Juni 1633, Galileo Galilei dibawa ke Pengadilan Geraja Italia. Ia diringkus oleh Gereja Italia lantaran dukungannya atas teori Copernicus mengenai perputaran bumi yang mengelilingi matahari. Gereja-Gereja Eropa yang kala itu masih meyakini ajaran Aristoteles bahwa bumi adalah pusat alam semesta tentu saja menganggap Galileo dan keyakinannya sesat.

Gereja-gereja di Eropa yang hingga abad 18 memang punya otoritas absolut atas tindak tanduk manusia yang diterjemahkan lewat ayat-ayat suci, dan ganjaran-ganjaran kehidupan setelah mati. Gereja punya seperangkat dimensi manusia yang harus dipatuhi atas nama kemanusiaan yang dikontrol oleh agama (Kristianitas). Namun, manakala doktrin atas keselamatan individu berubah menjadi alat kontrol atas individu yang penting bukan lagi manusia nyata, melainkan agama.

Atas kondisi tersebut, segala yang bertentangan dengan Gereja sebagai penafsir tunggal atas agama, mulai muncul tindakan-tindakan manipulatif dari Gereja yang mengalienasi manusia dari hidup dan kehidupannya yang otentik. Galileo jadi contoh bagaimana manusia dengan kekhasan kemanusiaanya yang dalam kondisinya ditolak mentah-mentah otoritas Gereja.

Bangga


Spanduk itu memang banyak mencuri perhatian. Ukurannya besar. Kurang lebih 8 x 1 meter. Tulisannya Gue Bangga Jadi Mahasiswa UNJ ditambah lambang UNJ di pojok. Bila benar, spanduk tersebut dipasang mulai Juli di Teater Terbuka. Saya tidak tahu siapa yang memasang. Apalagi niatnya. Saya tak peduli. tapi spanduk itu tetap menjambret perhatian. Khusunya buat mahasiswa baru.

Teman saya jadi korban. Gara-gara spanduk tersebut, Ia kecopetan perhatian. Ia gadis 17 tahun, baru lulus SMA. Diterima di Jurusan Akuntansi UNJ, lewat jalur Penmaba. Saat daftar ulang saya mengantarnya ke BAAK buat urus syarat-syarat administratif sekaligus urusan birokratis lainnya. ia tak hirau spanduk itu hinnga melihat antrian panjang menuju petugas loket. Ia mengendur semangat. Mengajak saya mencari selasar. Melempar pandang. Pandangnya terhenti sejenak di spanduk.

Si gadis lulusan tulen SMA Indonesia. Tak banyak tingkah. Hijau. Polos. Perhentian mata di spanduk itu membuah manifestasi semua yang ia dapat di bangku sekolah. “Memang mahasiswa UNJ tidak bangga dengan kampusnya sendiri, ya?” ucapnya. Polos. Saya masih tidak peduli hingga si gadis mengulang pertanyaannya dua kali. Saya menjawab seadanya, “sabar, sebentar lagi juga akan tahu apa yang dirasa si pemasang spanduk.”
Inferior. Satu kata yang mampir di kepala saya setelahnya. Sebuah rasa ketidakpercayaan diri akut. Rendah diri. Menganggap dirinya sangat rendah dihadapan apapun dan siapapun. Dalam tingkat tertentu, omongan si gadis benar. Kenapa harus dibuat spanduk besar dan lebar buat menyemat kebanggan? Apa sudah tak ada lagi yang mampu dibanggakan hingga mengguna cara-cara instan seperti memasang spanduk? Bukan. Bukan spanduk yang jadi masalah. Utamanya hal yang ingin diungkap si spanduk.

Saya tak mau lagi ungkit tentang kasus korupsi, biaya kuliah yang menjulang, atau sistem perkuliahan amburadul. Tapi, apa efeknya sangat sangat meraba ranah kejiwaan sampai menerbit inferioritas yang akut. Dibaca terbalik, spanduk itu memuncul krisis identitas. Ketidakpercayaan terhadap almamater. Sebelumnya, saya yakin ini semua telah diketahui walau semua pura-pura tidak tahu. Saya kagum sekaligus heran. Bila sudah ada pernyataan seperti ini, ranahnya bukan lagi individual melainkan kolektif. Sudah jadi perihal sosiologis.

Hipokrit. Kata kedua yang bertandang. munafik. Cari peluang yang menguntungkan. Berpura-pura. Di luar berpenampilan gagah, arogan, mewah. Liat itu gedung tinggi! Bayaran berjuta-juta! Kloset duduk dengan air cebok yang memancur otomatis! Sementara di dalam hanya ada brankas penyimpan takut, cemas, panik. Atas isi brankas itu muncrat cara-cara temporer. Spanduk salah satunya. Tidak menjamah masalah utama.

Citra awal harus menggoda. Citra jadi cara ampuh menyembunyikan inferioritas stadium akhir. Masa pembinaan selepas MPA mencitrakan UNJ sesak kegiatan akademik. Ada juga yang disembunyikan. Fakta bahwa belakangan waktu UNJ tak sempat hadir di perhelatan akademik macam PIMNAS. Pun sulit mendapat hibah program kreatifitas mahasiswa jadi alasan masa pembinaan mahasiswa ada. UNJ sadar ia tidak berkutik. lagi-lagi jalan pintas yang ditempuh. Seperti indomie. Instan.

Kembali ke si gadis dan saya. Si gadis tampak heran ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi disini. Saya ambil kesempatan atas polosnya. Saya terangkan bahwa kata bangga dalam Bahasa Jawa punya arti lain. Bangga: tidak mau menurut, pembangkang. Lema ini sudah diadopsi menjadi Bahasa Indonesia baku. Ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ia kaget mendengarnya. Lagi-lagi polosnya saya manfaatkan. “Bila kamu mahasiswa UNJ sejati, kamu harus membangkang atas senior, dosen, ketua jurusan, dekan, pembantu rektor, rektor.” Saya tertawa banyak setelahnya. Ia cuma bilang saya gila.

Selasa, 17 April 2012

operator

Video berdurasi 5.31 menit itu memang cuma hanya rekaman tanpa ada video(gambar yang bergerak). Rekaman yang diunggah ke situs YouTube diberi judul Ngapak Cilacap vs Operator Telkomsel dan diunggah oleh pemilik akun hanifalviyanto. Di awal rekaman, ada operator Telkomsel yang menyapa dengan ramah,
“Telkomsel, selamat malam dengan Irfan disini, dengan bapak siapa saya bicara?” tanya si operator.
“Dengan Bapak Doeng,” jawab si penelepon.
“Dengan Bapak Doeng ada yang bisa kami bantu?”
“Ohhhh, iya iya mesti,” jawab si Doeng dengan logat ngapak
“Apa keluhan bapak saat ini?”
Ditanya seperti itu, Doeng malah menyeru supaya tidak mengejek. Si operator yang bingung menjelaskan masih dengan baik bahwa ia tidak mengejek, dan kembali menanyakan Doeng punya keluhan apa atas kartu Telkomsel-nya. Kemudian Doeng menjelaskan bahwa ia memiliki keluhan atas tarif kartu selularnya, namun tidak dipedulikan oleh operator. Saking kesalnya Doeng mengumpat dengan logat ngapak khas Cilacap. “ini saya tanya tentang tarif dari tadi tapi tak dipeduliin, koe tak tempiling (kamu mau saya pukul) apa?”
Operator yang bingung dengan bahasa Doeng, menyuruh Doeng bicara dengan bahasa indonesia yang baik dan benar. Doeng justru malah marah, ia malah memaki si operator dengan kelamin lelaki dalam bahasa Cilacap. Si operator masih tidak mengerti, dan masih menyuruh Doeng menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Sabtu, 14 April 2012

Harapan Hasibuan digantung di UNJ

Belakangan hari Hasibuan makin mantap menjadikan UNJ sebagai poros hidupnya. Kemantapan hati Hasibuan ada karena sebentar lagi putri sulungnya akan lulus Sekolah Menengah Kejuruan. Walau belum ada pengumuman lulus atau tidak putrinya, ia telah memilih UNJ sebagai perguruan tinggi tempat menuntut ilmu anaknya selanjutnya.

Memilih UNJ memang tidak sekonyong-konyong datang buat Hasibuan dan putrinya. Awalnya, si sulung ingin kuliah hukum di Universitas Kristen Indonesia (UKI). Fakultas Hukum UKI yang banyak diisi mahasiswa dari daerah yang sama jadi alasan utama, walaupun putrinya sekolah pada jurusan Akuntansi di SMK.

“Biar dari satu daerah, tapi universitas itu kan juga bisnis. Dalam bisnis tidak ada kata saudara,” kata Hasibuan. “saya cuma pedagang kecil, mengkuliahkan anak di universitas swasta jelas saya tidak sanggup.”

Pendapatannya dari membuka warung rokok dan kopi di pintu belakang UNJ dirasa Hasibuan tidak akan mencukupi biaya kuliah anaknya hingga selesai kuliah, makanya pilihan jatuh ke UNJ. Hasibuan yang sejak tahun 2001 berdagang di UNJ tahu biaya kuliah di UNJ tak terlalu membuat dompetnya kering kerontang.

Demi menempuh bangku kuliah, si putri melunak, ia mau kuliah di UNJ. Awalnya anak pertama dari empat anak Hasibuan ini mau masuk jurusan Seni Tari, namun Hasibuan tak mau begitu saja menerimanya. “mau jadi apa nanti? jadi penari kan harus pintar juga menyanyi. Lagipula pekerjaan macam itu harus menunggu pesanan,” Protes Hasibuan kepada anaknya.

Akhirnya Hasibuan dan anaknya sepakat Jurusan Akuntansi akan dipilih nanti. Selain si anak yang memang sudah belajar akuntansi sejak duduk di bangku sekolah menengah, Hasibuan berpikir panjang ke depan, “banyak perusahaan yang membutuhkan jasa Akuntan,” ujarnya. “Walau saingannya banyak, tapi saya percaya mukjizat Tuhan.”

Kini selain berdagang, Hasibuan punya kegiatan lain, yakni mencari informasi atas UNJ, khususnya tentang jalur masuk. Tapi Hasibuan alpa mencari informasi tentang biaya kuliah. Karena semenjak angkatan kuliah 2011 UNJ mengalami kenaikan biaya kuliah mencapai seratus persen.

Hasibuan tidak tahu bahwa gedung-gedung baru di UNJ yang persis terletak di belakang kiosnya membuat UNJ tega menaikkan biaya kuliah yang mungkin akan memotong harapan anaknya berkuliah. Yang Hasibuan tahu, gedung-gedung yang sedang dibangun itu turut membuat penghasilannya kembang kempis, “Di dalam proyek sudah ada kantin, penghasilan saya jadi berkurang,” keluh Hasibuan.

Minggu, 11 Maret 2012

Stasiun Gambir Buta Warna

St. Gambir bersolek, angkutan umum di dibatasi, hanya beberapa saja yang yang diperolehkan beroperasi.

FEBRUARI, MUNGKIN jadi bulan yang sial bagi Suparman, 52 tahun. Suparman seorang supir taksi yang biasa mangkal di St. Gambir. 17 Februari lalu, seperti biasa, ia datang ke St. Gambir untuk mencari penumpang. Di pintu masuk St. Gambir, Suparman melihat pengumuman “Selain taksi yang telah ditunjuk, dilarang dan/atau tidak diizinkan untuk parkir dan/atau mengangkut penumpang dari Stasiun Gambir.” Lantas ia menanyakan pengumuman tersebut ke petugas. Ia mendapat jawaban, bahwa mulai hari itu taksi selain yang sudah ditunjuk dilarang mangkal. ia kesal dan kemudian pergi.

Suparman pergi lantaran perusahaan taksinya bukan termasuk taksi yang ditunjuk seperti dalam pengumuman. Taksi yang dimaksudkan adalah, Blue Bird, Putra, dan Taxiku. Sedangkan taksi yang digunakan Suparman berasal dari perusahaan Pe Taksi. pelarangan taksi selain tiga perusahaan taksi diatas didasari upaya untuk membenahi St. Gambir, salah satunya dengan melakukan pembatasan armada taksi.

Karena pihak kereta api melihat banyak taksi yang sudah tidak layak namun masih beroperasi di St. Gambir. “Selain itu banyak keluhan dari penumpang tentang taksi yang argonya kuda, suka menurunkan penumpang tidak pada tempat tujuan,” ucap Sugeng Priyono, Kepala Humas Daerah Operasi (DAOP) 1

Upaya pembenahan tersebut dilakukan dalam rangka menjadikan St. Gambir bertaraf internasional. Dikutip dari detik.com, Mulianta Sinullingga, kepala DAOP 1, yang daerah operasinya meliputi Jabodetabek, mengatakan upaya itu meliputi hospitality, security, penataan Layout Tenant, How pun In and Out, Garrets Gate, penataan taman, toilet bersih dan gratis, penataan parkir, estetika St. Gambir, St Gambir yang bersih dan bersahabat, bebas dari gembel, pengemis, pengamen, dan integrasi Shelter Bus Way dengan stasiun.

Bola Salju Konflik Stasiun Gambir

Kevin Resmon
Tak hanya secara vertikal, Konflik di St. Gambir juga timbul secara horizontal.

KANKER PARU-PARU yang diderita Kevin Resmol, 29 tahun, makin parah, dadanya sering merasa sesak, ia tidak bisa dekat-dekat dengan asap rokok, pun ia harus banyak mengkonsumsi air putih guna menetralisisir tubuhnya dari debu dan kotoran yang dihirupnya.

Senin malam, 22 Maret, Kevin merasa tubuhnya tak mempunyai tenaga, lemas. Ia memutuskan untuk tidur lebih awal dari biasanya. Kevin tidur di pelataran depan lobby Stasiun Gambir. Pukul setengah dua belas malam, tak lama berselang tiga buah mobil kijang masuk St. Gambir. Tiga orang polisi dari Polisi Sektor (Polsek) Gambir keluar dari salah satu mobil tersebut dan menghampiri Kevin, setelah menanyakan nama Kevin mereka membawa Kevin ke kantor Polsek Gambir. Kondisi Kevin yang sedang sakit membuatnya tak banyak melakukan perlawanan.

Sesampainya di Polsek Gambir Kevin masih tak mengetahui mengapa dirinya dibawa. Tiba-tiba seorang polisi menyodorkan beberapa foto kepada Kevin

“Ini kamu kan?” Tanya salah satu polisi kepada Kevin.

“Iya, tapi bukan semua foto aku,” jawab Kevin.

Di beberapa foto tersebut, Kevin terlihat sedang memenggam batu dengan latar belakang kerusuhan. Beberapa ada yang menampakkan Kevin dari belakang. Kevin baru mengetahui perihal ia dibawa polisi setelah melihat foto-foto tersebut. Ia diduga menjadi pelaku perusakan taksi Blue Bird di depan sekretariat LSM Benteng Keadilan Rakyat (Bendera), di jalan Diponegoro 58, menteng, Jakarta Pusat.

Sabtu, 10 Maret 2012

Banksy dan Kesakralan Seni

Daniel, Warga Hackney, London mencak-mencak lantaran daerah rumahnya kini mulai dipenuhi mural. Ia marah bukan lantaran Hackney justru jadi kumuh, tak rapih, melainkan karena dari mural tersebut mulai banyak pendatang yang ingin tinggal di Hackney demi menikmati mural tersebut. Daniel tahu siapa yang membuat grafiti tersebut ialah Banksy, seniman jalanan yang menggunakan teknik stensil dalam melancarkan aksinya membuat mural.
Daniel yang lahir dan besar di Hackney bersama saudara lelakinya, resah karena ulah Banksy justru membuat harga sewa rumah di Hackney makin tinggi dan karena harganya yang melambung tinggi, ia jadi tidak mampu membeli satu buah rumah di daerah ia lahir dan hidup ini. Dan ia yakin Banksy jadi satu penyebab utamanya.
Makanya, ia ingin Banksy menyudahi aksinya. Ia mengirim surat elektronik ke website Banksy: banksy.co.uk. ia tak mencoba langsung menemui Banksy karena itu adalah hal yang sia-sia. Banksy seniman jalanan kawakan yang terkenal seantero Inggris, bahkan hingga luar Inggris lewat karyanya berupa mural, seni instalasi, dan beberapa kali melakukan aksi mengubah lukisan-lukisan sakral di museum.

Sabtu, 03 Maret 2012

Menelaah Hubungan Pendidikan dan Modal*

Judul                        : Marx and Education
Penulis                    : Jean Anyon
Penerbit                  : Routledge Press
Tahun Terbit           : Desember 2011
Halaman                 : 115 halaman
Anyon mengajak guru, murid, dan orang tua di Amerika untuk memiliki determinasi atas buruknya kondisi pendidikan. Bisakah Indonesia?

Sudah jauh-jauh hari ahli pendidikan revolusioner Brazil Paulo Freire mengingatkan bahwa netralitas terhadap pendidikan adalah sebuah kenaifan. Pendidikan, secara keseluruhan memang digunakan sebagai alat atas upaya menjaga eksistensi kelompok dominan. Lewat kurikulum, metode pengajaran, hingga sistem produksi guru diyakini Freire meciptakan manusia-manusia yang siap menyokong konfigurasi kelompok dominan.

Pendidikan tidak hadir dengan lmu pengetahuan yang tidak berkepentingan. Lewat sekolah, kepentingan menjaga eksistensi kelompok dominan gencar dilakukan. Atas pendangan tersebutlah, paradigma terhadap pendidikan pada akhir 1970-an memiliki dinamika. Lewat pendekatan sosiologis, khususnya perspektif Marxis, ahli-ahli seperti Michael Apple, Pierre Bordieu, Henry Giroux, Paulo Freire memulai analisis sosiologi pendidikan.

Ahli-ahli sosiologi pendidikan ini tidak sepakat bahwa yang diajarkan pada siswa sekolah sebagai pengetahuan objektif, melainkan pengetahuan yang mengandung dominasi budaya, yaitu pengetahuan yang disusun melalui proses selektif yang memasukkan kepentingan tertentu dan membuang yang lainnya.

Minggu, 05 Februari 2012

Hancock

John Hancock menyelematkan Ray Embrey pada insiden perlintasan kereta api
Nilai, Norma, aturan, dan hukum adalah perangkat guna memapankan kondisi masyarakat, tak terkecuali terhadap superhero.

John Hancock (Will Smith) adalah seorang gelandangan Los Angeles. Dengan pakaian lusuh, kotor, bahkan dekil, ia banyak menjalani hidup di kolong jembatan, emperan toko, dan tempat-tempat umum lainnya. Selain karena memang tak memiliki rumah, Hal tersebut dilakukan Hancock karena ia adalah seorang pemabuk akut. Setelah mabuk berat ia bisa tidur dimana saja.

Perilaku di luar batas norma-norma masyarakat tersebut yang membuatnya dibenci orang se-Los Angeles. Akan tetapi, bagaimana orang-orang Los Angeles bisa membenci Hancock? Sedangkan gelandangan di kota tersebut bukan Hancock seorang diri.

Hancock bisa dikenal oleh orang se-Los Angeles lantaran dia adalah seorang superhero. Laiknya Superman ia memiliki kekuatan super: bisa terbang, dan memiliki tenaga yang fantastis. Dan seperti superhero pada umumnya, ia juga turut membantu masyarakat dengan memerangi kejahatan. Walaupun, upaya memberantas kejahatan yang dilakukan Hancock tetap membuat Hancock dibenci.

Kenapa Hancock yang superhero dan banyak membantu masyarakat masih tetap dibenci? Selain karena sikapnya yang memang ugal-ugalan dan ditambah periklakunya yang suka mabuk-mabukan, Hancock dibenci karena kegiatan memberantas kajahatannnya dilakukan diluar norma-norma superhero atau paling tidak proyeksi masyarakat atas tindakan menyelamatkan bumi yang dilakukan superhero.

Rabu, 01 Februari 2012

Pendidikan dan Manusia

Judul Buku      : Mazhab Pendidikan Kritis Menyingkap Relasi Pengetahuan  Politik, dan Kekuasaan
Penulis             : Agus Nuryatno
Penerbit           : Resist Book
Tahun Terbit   : 2008
Halaman           : VI+133 hal




The Neutrality of education is the one of fundamental connotations of the naive vision of education

Sebagai mahasiswa ex-IKIP yang dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga pendidik, pada awalnya, saya-dan semua mahasiswa lainnya-diganjar dengan pernyataan bahwa pendidikan adalah usaha sadar manusia beranjak dewasa atas proses tidak tahu menjadi mengetahui. Transfer knowledge.

Dari institusi berwujud Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) ini saya dipersiapakan untuk mentransfer pengetahuan lewat proses pendidikan, di dalam sekolah. Nantinya pengetahuan-pengetahuan yang saya terima di ruang kelas diharap mampu direproduksi di sekolah dimana saya menjadi pengajar. Prosesnya berputar dari produksi, distribusi, dan konsumsi pengetahuan yang bersifat statis dan punya watak represif untuk membuat kita menjadi permisif atas siklus pengetahuan tersebut.

Saya dituntut untuk menerima pengetahuan secara bebas nilai, menditribusikannya secara bebas nilai, dan memaksa kegiatan konsumsi pengetahuan di sekolah nantinya juga tanpa nilai. Saya sebagai agensi pengetahuan diposisikan untuk tetap menjadi objek dalam fungsinya sebagai distributor pengetahuan kepada masyarakat.

Selasa, 03 Januari 2012

Cuma Jual atau Sewa


Hermansyah, sudah pagi-pagi benar tiba di kampus. Pukul 7 pagi, ia bersama empat temannya sudah berkumpul di Economart, tempat praktek mata kuliah kewirausahaan FE UNJ. Economart sendiri layaknya toko swalayan, bedanya semua kegiatan perdagangan dilakukan mahasiswa dan berada di dalam kampus.

Kali ini, Herman bertugas menjajakan barang dagangan keliling kampus. Jelang pukul 8, ia bersiap-siap, aneka minuman kemasan dan makanan ringan disusun dalam sebuah keranjang. Agar dikenali sebagai mahasiswa praktek, Herman Cs wajib mengenakan seragam khas Economart, rompi krem yang berkantung banyak.

Mahasiswa Jurusan Ekonomi Koperasi  angkatan 2010 ini memiliki waktu seharian menjajakan dagangan. “Pokoknya asal ada keramaian, ya ditawarkan,” ujar herman.

Seluruh mahasiswa FE UNJ wajib melakukan praktek kewirausahaan seperti Herman. Mata kuliah kewirausahaan sendiri bersifat wajib bagi beberapa program studi di FE UNJ. Selain Economart, FE UNJ juga menyediakan lahan praktek wirausaha lainnya, yakni Artha Aksara.

Universitas Wirausaha Buat Susah Mahasiswa



Giatnya universitas melakukan usaha mandiri malah membawa bencana. Batas antara keadilan dan kemanusiaan dengan mengejar keuntungan kian hilang.

Awalnya, adalah bedah buku Enterpreneurial Pathways of University Transformation pada Februari 2003.  Bedah buku ini merupakan langkah awal UNJ menuju Enterpreneurial University. Maksud bedah buku ialah pengenalan kepada civitas akademik dengan orientasi pedidikan wirausaha di perguruan tinggi.

Kusmayanto Kadiman, saat itu Rektor ITB, didaulat sebagai pembicara utama.  ITB sendiri diyakini merupakan teladan, banyak civitas akademik belajar berwirausaha ria dari bekas sekolah Ir. Soekarno ini.

Dalam bedah buku tersebut, banyak diperkenalkan kampus ternama dunia seperti, Warwick University Inggris, Twente University Belanda, Chalmers University of Technology Swedia, Joensuu University Finlandia, dan Strathclyde University Skotlandia. Kampus-kampus ini tersohor akan kesuksesannya mengembangkan wirausaha di universitas.