Sabtu, 20 Agustus 2011

Ketika Oemar Bakrie Bertemu Erich Fromm


Hari itu, Oemar Bakrie baru saja selesai mengajar di kelas, ia langung menuju ruang guru dan makan siang. Guru-guru lain yang saat itu berada di ruang yang sama juga sedang asik menghabiskan waktu istirahatnya dengan melahap santapannya masing-masing. Jam mengajar Bakrie sudah habis, ia memutuskan langsung pulang ke rumah.
 Di parkiran Bakrie tak mengambil sepeda kumbang yang biasa gunakan, ia menuju sebuah sepeda motor keluaran terbaru. Maklum, Bakrie baru saja mengikuti program sertifikasi guru yang telah manjadikannya seorang guru professional yang layak diberi upah secara professional pula. Maka tak heran setelah beberapa bulan mengumpulkan uang dengan gajinya yang ‘baru’ juga ditambah tunjangannnya, Bakrie dapat membeli sepeda motor dengan tunai.
 Setelah berpamitan dengan Udin, satpam sekolah, Bakrie langsung tancap gas. Jarak antara sekolah dengan rumah Bakrie memang cukup jauh dengan jalan yang berlubang. Di perjalanan ban sepeda motor Bakrie pecah, untung tak jauh dari Bakrie berhenti ada tukang tambal ban.

 Awalnya tak ada yang aneh dengan Bakrie dan tukang tambal ban ini, namun si tukang tambal ban agak merasa terkejut saat Bakrie membuka jaket dan mengeluarkan sebuah Smartphone, belum lagi ada penunjuk nama Oemear Bakrie di kantung kanan atas baju dinasnnya. Selama ini orang mengenal Bakrie adalah seorang guru dengan penghasilan minim lantas bagaimana ia bisa memiliki sepeda motor dan smartphone.
 “Bapak Oemar Bakrie?” Tanya si tukang tambal ban.
 “Iya, mas namanya siapa?” Jawab Bakrie.
 “Aku Erich, Erich Fromm(sebenarnya nama seorang psikoanalisa dari Frankfurt, Jerman yang menulis buku The Art of Loving.) kok sekarang ga bawa sepeda lagi pak? Handphonenya juga bagus sekali?” Balik Tanya Fromm.
 “Sekarang guru-guru yang telah mengikuti sertifikasi, dapat kenaikkan gaji dan tunjangan, yang mengajar di daerh terpencil mala lebih besar pendapatannya,” tukas Bakrie.
 “Waduh, bisa-bisa jadi Aburizal Bakrie tidak jadi Oemar Bakrie lagi,” Canda Fromm.
 “Bisa saja,” Balas Bakrie.
 “Memang apa gunanya sertifikasi guru? Bukankah sudah ada universitas-universitas mantan IKIP yang bertugas mengasilkan guru-guru,” Fromm bertanya.
 “Sertifikasi dihadirkan untuk meningkatkan kualitas guru, lewat berbagai seminar-seminar nanti kita mengumpulkan sertifikatnya. Selain itu sertifikasi juga berguna  untuk meningkatkan kesejahteraan guru, buktinya saya setelah sertifikasi sudah tak naik sepeda lagi,” Timpal Bakrie.
 “Pantas saja APBN Negara untuk pendidikan habis untuk kesejahteraan guru,” celetuk Fromm.
 “Memang kenapa? Nasib kami (guru) memang selama ini belum sejahtera, padahal kami turut berperan aktif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan pengabdian kami, dedikasi kami sebagai guru,” kata Bakrie.
 “Memang tidak ada yang salah, namun bukankah dengan itu motivasi bapak mengajar bukan lagi untuk mencerdaskan bangsa melainkan hanya untuk kebutuhan-kebutuhan materil,” pungkas Fromm.
 “Jelas tidak, saya mencintai pekerjaan saya. Namun saya dan guru-guru lain tetap butuh kesejahteraan. Selama ini guru selalu diidentikan sebagai sebuah profesi yang tak menghasilkan,” ketus Bakrie.
 “Bagaimana bapak bisa mencintai pekerjaan bapak, apabila bapak melakukan aktifitas mengajar untuk mengejar tujuan-tujuan tertentu yang sudah ditargetkan. Aktifitas bapak dalam mengajar bersifat pasif, karena dikendalikan oleh motivasi barusan. Dalam aktifitas mengajar bapak bukan pelaku melainkan objek penderita,” papar Fromm.
 Bakrie terdiam sejenak, ia masih belum terima bahwa pengabdiannya selama ini kalah karena uang. Tak lama Fromm langsung menyela.
 “Saya bukan mengkritik bapak, saya mengkritik kebijakan sertifikasi tersebut. Nantinya, ini akan berpengaruh banyak terhadap motivasi seseorang untuk menjadi guru. Bila memang guru kini telah sejahtera bukan tidak mungkin kini profesi guru jadi incaran banyak orang. Karena menurut saya tanpa ada sertifikasi atau program apapun guru memang sepatutnya diberi penghargaan tinggi. Contohnya, bapak yang dahulu masih bersepeda menuju sekolah dengan jarak puluhan kilometer demi mencerdaskan bangsa,” jelas Fromm.
 “Memang, bahkan dalam prakteknya, sertifikasi juga banyak kecurangan, dan sertifikasi saya piker belum bisa menilai tingkat kualitas guru secara komperhensif, ia hanya secara parsial,” tambah Bakrie.
 “Iya dan teruslah jadi embun penyejuk dalam kehausan. Oh iya, ini motornya telah selesai pak. Untuk ongkosnya gratis pak karena saya justru beruntung telah bertemu Oemar Bakrie” ucap Fromm.
 “Wah terima kash banyak loh ini, saya juga akan terus mencintai pendidikan dengan memberinya kehidupan,” Akhir Bakrie.
 “Selamat mencintai,”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar