Selasa, 18 Oktober 2011

Aku (Mau) Mati


Sejak bertemu orang tua itu selepas pulang kantor kemarin, aku punya niat untuk mati. Alasan pertama, atasanku adalah supplier masalah buat semua pegawainya, termasuk aku-karena aku asisten pribadinya aku yang paling banyak disodor masalah darinya. Dengan kepala botak dan badan gemuk pun kumis dan jambang yang hampir melebat sepinggir mukanya, dia cerminan manusia perfeksionis yang tidak melewat kesalahan sekecil apapun. Kedua, sejak kecil, aku dianugerahi Tuhan dengan sifat introvert dan inferior yang akut, makanya aku lebih suka sendiri untuk hal apapun. Sayangnya, aku kini tak mampu lagi menahannya sendiri dan belum juga aku lepas dari penjara jiwa ini.

Aku ingat betul apa yang dikatakan orang tua itu. Awalnya, saat keluar kantor, aku mampir ke warung untuk membeli rokok di seberang jalan. Karena aku lihat lalu lintas jalan yang masih padat, kuputus untuk sejenak merokok di warung tersebut. Tak lama, datanglah si orang tua tersebut.

“Permisi, boleh saya tahu apa saya masih hidup?” tanyanya.

“Hah?” kagetku.

“Iya,saya mau tanya. Apa saya masih hidup?”

“Haha, iya, bapak masih hidup. buktinya bapak mengajak bicara saya, bapak masih bernafas, bapak juga terlihat bugar. Artinya anda masih hidup.” sinting betul ini orang tua, pikirku.

“Oh, jadi hidup itu bagaimana organ-organ dan fungsi biologis tubuh masih berfungsi?”

“Kurang lebih seperti itu,”

“Apa beda hidup sepeda motor dengan hidup manusia? Mereka punya pola yang sama seperti anda sebut. Bernafas, walau beda zat. Manusia dari gas menjadi gas dan air, sepeda motor dari air menjadi gas.” Makin aneh si orang tua bicara.

“Entahlah, yang kutahu sewaktu sekolah ya itu yang aku papar barusan,”

“Setalah anda bekerja di kantor, setelah anda tidak sekolah. Anda tidak lagi hidup? oh bukan maksud saya anda tidak lagi mencari tahu apa itu hidup?”

Aku mulai tidak bisa menjawab. Aku mulai agak risih atas kehadirannya. Aku pikir aku lebih baik meninggalkannya, masalah yang diberikan atasanku sudah lebih dari standar masalah yang diberi Tuhan kepada manusia, aku tidak mau ditambah dengan ocehan omong kosong dari orang tua ini. Maka aku langsung meninggalkan warung tersebut. Hampir seratus meter aku berjalan tiba-tiba si orang tua meneriakiku.

“Hey, bagaiamana bila kita mati saja?”