Sabtu, 20 Agustus 2011

Barikade Pedagang Rokok


LANGKAH kaki Muhhamad Kholik Wahyu melambat saat keluar dari Fakultas Ilmu sosial (FIS), Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Dua kancing atas kemeja kotak-kotaknya terbuka, tangan kanannya sembari mengibas-ngibas lehernya. Pemuda berumur 22 tahun ini biasa disapa Tito. Tito merupakan mahasiswa Jurusan Pendidikan Sosiologi tingkat dua. Ia baru saja selesai mengikuti ujian tengah semester pada mata kuliah Sosiologi Kebudayaan.
“Lu bisa gak tadi?” Tanya Tito kepada salah seorang temannya.
“Gue aja tadi nyontek semua,” tawa temannya.
Tito dan temannya tak langsung meninggalkan kampus, mereka menuju pendopo FIS. Tito memang biasa nongkrong di pendopo FIS seusai kuliah bersama teman-temannya untuk sekedar ngopi dan ngerokok.
"Beli rokok empat batang, sama kopi item," ucap teman Tito sembari menyerahkan selembar uang lima ribu.

“Gue tambahin (uangnya) biar jadi setengah (bungkus),” balas Tito.
“Gue (Gudang Garam) Filter,” kata teman Tito
Tito bergegas menuju pelataran parkir FIS, disana ada 'Bang Jack', seorang penjual rokok dan minuman ringan. Jack memiliki nama asli Abdurrahman, beberapa mahasiswa memanggilnya Babe, entah mulai kapan dan apa sebabnya ia dipanggil Jack. Umurnya 56 tahun. Setiap hari, pukul tujuh pagi Jack sudah duduk manis di pelataran parkir dengan keranjang yang diisi rokok, permen, tissue. Ia tinggal di dekat kampus, di daerah Pemuda. Anak dan istrinya terkadang ikut ke kampus membantu Jack berdagang. Tidak jarang anaknya datang bukan untuk menemani, melainkan untuk mengantikan Jack berdagang.
Penampilanya agak nyentrik, Jack selalu mengunakan jaket, dan topi, saat itu celananya jeans berwarna biru lengkap dengan ikat pinggang hitam berkepala banteng dari logam. Jari-jari tangannya bayak dilingkari cincin besar, seperti yang dikenakan pelawak Tessy. Di jari kanannnya, ada dua cincin, di jari tengah dan jari manisnya. Kedua batunya kecubung. Di jari kirinya hanya ada satu di jari tengahnya. Menurut Jack, lelaki harus memakai perhiasan agar terlihat manis, asalkan tidak berlebihan. Ia mencontohkan dirinya yang suka mengkoleksi cincin.
Jack mulai berdagang rokok pada awal 80-an. Waktu mahasiswa Universitas Indonesia masih berkuliah di kampus Rawamangun. Namun, saat itu UNJ sudah berstatus IKIP (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan) bukan lagi sebagai Fakultas Keguruan ilmu Pendidikan (FKIP) UI. Mahasiswa IKIP kuliah di Kampus Pemuda, samping Veloodrome Rawamangun-sekarang Kampus B UNJ. Sedangkan kampus Rawamangun masih digunakan mahasiswa Universitas Indonesia
“Bang Jack, (Gudang Garam) Filter tiga batang, (Djarum) Super tiga batang,” ucap Tito sambil menyerahkan uang lima ribu.
“Nih dek,” balas Jack.
“Gak kembali bang?” ketus Tito.
“Enggak dek, sekarang rokok lagi mahal.” Kata Jack ramah.
Dengan wajah agak cemberut Tito bergeser dari depan keranjang rokok Jack. Ia menuju Agus, seorang penjual kopi. Tito segera memesan kopi dan kembali ke pendopo.
Lima ratus meter dari FIS, Yunus, mahasiswa tingkat tiga, Jurusan Teknik Mesin baru saja keluar dari ruang kelasnya. Sambil memasukkan kacamata ke tas, Yunus keluar dari Gedung B, tempat biasa mahasiswa Jurusan Teknik Mesin kuliah. Kala itu Yunus sendirian menuju ‘Mang Uum’ untuk membeli rokok dan kopi. sebelum kuliah di jurusan teknik mesin, Yunus pernah kuliah di jurusan Fisika pada tahun 2006, masih di Universitas Negeri Jakarta. Baru pada tahun 2007 ia pindah jurusan ke Teknik Mesin. Yunus baru mengenal rokok saat menajdi mahasiswa Jurusan Fisika. Perkenalan Yunus dengan rokok dimulai saat ia mempunyai banyak teman perokok, awalnya ia hanya coba-coba saat kumpul bareng dengan temannya yang perokok. Kini ia malah ketagihan.
Yunus mengambil dua batang Djarum Super dari keranjang rokok Uum sembari menagih pesanan kopi susunya. Sama seperti Jack, Uum merupakan pedagang rokok di UNJ namun Uum juga berdagang kopi. Selain Uum dan Jack ada lima pedagang rokok kaki lima lainnya di UNJ. Ada Jumnadi, panggilannya ‘bang botak’, biasa mangkal di Fakultas Ilmu Pendidikan, ada ‘bang kuncir’, nama aslinya Nana yang mangkal di depan gedung Unit Pelayanan Teknis Program Pengalaman Lapangan (UPT-PPL), satu di Jurusan Teknik Elektro, satu di Jurusan Teknik Sipil, dan satu yang berkeliling kampus. Kebanyakan pedagang rokok disini sudah menjajakan rokok sejak lama, kecuali Nana. Nana baru berjualan pada tahun 2007. ia meneruskan dagangan ayahnya.
Uum bisa dibilang juniornya Jack, umurnya pun dibawah Jack, 47 tahun. Ia mulai berdagang pada tahun 1986, saat itu mahasiswa UI masih kuliah di kampus Rawamangun, mahasiswa UI baru pindah ke kampus Depok pada tahun 1987. Uum tingal sendiri di Jakarta, istri dan dua anaknya tinggal di kampung halamannya, di Pangandaran. Di Jakarta, Uum menyewa kamar kontrakan di belakang komplek Daksinapati-komplek dosen UNJ, ukurannya dua setengah meter persegi dengan biaya sewa dua ratus lima puluh ribu per-bulan.
Dalam sehari Uum bisa menjual 30-40 bungkus rokok dari berbagai jenis dan merek. Pendapatan seharinya berkisar dari 400-450 ribu, Itu belum dihitung dari pendapatannya berjualan kopi. Tak seperti Jack, Uum bisa dibilang menjual rokoknya murah. Misalnya, satu bungkus Gudang Garam Filter dijual dengan harga sembilan ribu, sementara pedagang rokok lainnya sudah menjual dengan harga sepuluh ribu.
Selain harga rokok di pasaran yang sedang naik, penyebab naikknya harga jual para pedagang rokok disebabkan karena sejak dua tahun ke belakang ada pungutan liar dari satpam kampus. Pungutan itu bukan hanya berlaku pada pedagang rokok melainkan keapada seluruh pedagang kaki lima seperti, pedagang kopi, pecel, rujak, dan lainnya.
Setiap hari para pedagang dipungut biaya sebesar lima ribu yang dikumpulkan secara kolektif kepada Jack, lalu pada sore hari, satpam datang kepada Jack untuk menagih. Para pedagang mengetahui bahwa uang yang diserahkannya kepada satpam itu nantinya disetor kepada Badan Administrasi Umum dan Keuangan (BAUK). Namun, tak pernah ada aturan tertulis megenai pungutan itu. Para pedagang hanya diberitahu dari satpam, bahwa ada intruksi untuk meminta pungutan tersebut.
“Tidak rugi mang?” Tanya saya.
”itu dia, mamang juga merasa dilema juga, kasihan juga mahasiswa nantinya,” keluh Uum.
Ada keenganan dalam hati Uum untuk menaikan harga jual rokoknya, Uum melihat mayoritas mahasiswa UNJ berasal dari masyarakat tingkat ekonomi menengah ke bawah. Bahkan, Uum rela rokoknya dihutangi oleh konsumennya. Menurut Uum yang terpenting ia dan kawan-kawan pedagang rokok lainnya masih bisa mendapat nafkah di kampus. Berbeda dengan pedagang lain yang biasanya harus kucing-kucingan dengan satpam. Karena, terkadang pedagang selain pedagang rokok bisa sangat banyak jumlahnya. Para pedagang rokok ‘aman’ karena memang telah sejak lama berjualan di UNJ.
JUM’AT sore, 23 April lalu, beberapa mahasiswa sedang membentuk setengah lingkaran di depan Uum sambil merokok, beberapa lainnya sedang meniup kopi lalu menyeruputnya. Sesekali ada tawa yang pecah, atau terdengar siulan tak terlalu melingking saat seorang mahasiswi lewat di depan mereka. Beberapa saat kemudian, Sunaryo, Satpam kampus menghampiri Uum di tengah kumpulan mahasiswa tadi.
“Mang, senin besok tidak usah jualan dulu,” pinta Sunaryo
“Kenapa pak?” Tanya Uum
“Senin besok ada acara peresmian gedung baru (Gedung Pusat Studi dan Sertifikasi guru_red) Mang,” balas Sunaryo.
“Biasanya juga tidak masalah pak,” ucap Uum.
“Besok ada pak menteri (M.Nuh, Menteri Pendidkan Nasional_red) datang untuk peresmiannya,” kata Sunaryo.
“Jam berapa pak acaranya?” tanya Uum.
“Pagi, sekitar jam delapan,” timpal Sunaryo.
“Siangnya tetap tidak bisa dagang pak?” kembali Tanya uum.
“tidak usah dulu ya Mang,” balas Sunaryo.
“ya sudah,” keluh Uum.
Sunaryo kemudian melangkahkan kakinya pergi. Kemudian, ia menuju ke tempat Jack untuk memberitahukan perihal laragan berdagang itu.
Uum terdiam sejenak. Sembari membenarkan alas duduknya, ia tahu bahwa Senin esok ia tidak akan dapat penghasilan, pun bahwa uang kiriman bulanannya kepada anak dan istrinya di kampung akan berkurang. Namun, Uum tidak dapat berbuat banyak, ditengah himpitan kondisi yang melandanya, ia masih bisa bersyukur bisa mendapat penghasilan di UNJ. Terlebih, ia baru saja sedikit membahagiakan anaknya yang baru lulus Sekolah Dasar, yaitu dengan cara membiayainya wisata ke Bandung dalam rangka pelepasan kelulusan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar