Jumat, 16 Desember 2011

Gingsul

 


Wanita Jepang dengan Yaeba
  
Kita butuh lebih dari sekadar teori! Kita butuh Chaos! Itu pasti!
 
Beberapa tahun terakhir kawat gigi atau bracket yang lazim disebut behel jadi satu ikon baru bagi muda-mudi di Indonesia-bahkan di dunia. Secara fungsional, bracket dipakai bagi orang yang memiliki kelainan rahang dan bertujuan memperbaiki wajahnya lewat menstabilkan struktur gigi yang berantakan. Namun, semangat modernitas justru bukan hanya menyuguhkan bracket secara fungsional, melainkan menawarkan nilai-nilai simbolik.

Makanya jangan heran, saat beberapa figur yang bisa diakses banyak orang mengenakannya, seketika berbondong-bondong orang turut meniru menggunakan bracket. Bracket murah meriah yang tidak ditangani oleh ahlinya juga jadi barang dagangan yang laris manis. Padahal, dahulu memakai bracket adalah hal yang aneh dan memalukan, sekarang malah jadi mode dan gaya hidup.

Namun, belakangan ini di Jepang-dimana bracket juga jadi sebuah mode-tren bracket nampaknya sudah pudar. Di Jepang orang bukan lagi memagari giginya dengan kawat, mereka justru menambal giginya agar menonjol, tidak rapih, orang Indonesia menyebutnya gingsul. Biasanya gingsul yang hadir secara alami  karena pertumbuhan gigi yang tidak mendapat cukup ruang di rahang.

Selasa, 18 Oktober 2011

Aku (Mau) Mati


Sejak bertemu orang tua itu selepas pulang kantor kemarin, aku punya niat untuk mati. Alasan pertama, atasanku adalah supplier masalah buat semua pegawainya, termasuk aku-karena aku asisten pribadinya aku yang paling banyak disodor masalah darinya. Dengan kepala botak dan badan gemuk pun kumis dan jambang yang hampir melebat sepinggir mukanya, dia cerminan manusia perfeksionis yang tidak melewat kesalahan sekecil apapun. Kedua, sejak kecil, aku dianugerahi Tuhan dengan sifat introvert dan inferior yang akut, makanya aku lebih suka sendiri untuk hal apapun. Sayangnya, aku kini tak mampu lagi menahannya sendiri dan belum juga aku lepas dari penjara jiwa ini.

Aku ingat betul apa yang dikatakan orang tua itu. Awalnya, saat keluar kantor, aku mampir ke warung untuk membeli rokok di seberang jalan. Karena aku lihat lalu lintas jalan yang masih padat, kuputus untuk sejenak merokok di warung tersebut. Tak lama, datanglah si orang tua tersebut.

“Permisi, boleh saya tahu apa saya masih hidup?” tanyanya.

“Hah?” kagetku.

“Iya,saya mau tanya. Apa saya masih hidup?”

“Haha, iya, bapak masih hidup. buktinya bapak mengajak bicara saya, bapak masih bernafas, bapak juga terlihat bugar. Artinya anda masih hidup.” sinting betul ini orang tua, pikirku.

“Oh, jadi hidup itu bagaimana organ-organ dan fungsi biologis tubuh masih berfungsi?”

“Kurang lebih seperti itu,”

“Apa beda hidup sepeda motor dengan hidup manusia? Mereka punya pola yang sama seperti anda sebut. Bernafas, walau beda zat. Manusia dari gas menjadi gas dan air, sepeda motor dari air menjadi gas.” Makin aneh si orang tua bicara.

“Entahlah, yang kutahu sewaktu sekolah ya itu yang aku papar barusan,”

“Setalah anda bekerja di kantor, setelah anda tidak sekolah. Anda tidak lagi hidup? oh bukan maksud saya anda tidak lagi mencari tahu apa itu hidup?”

Aku mulai tidak bisa menjawab. Aku mulai agak risih atas kehadirannya. Aku pikir aku lebih baik meninggalkannya, masalah yang diberikan atasanku sudah lebih dari standar masalah yang diberi Tuhan kepada manusia, aku tidak mau ditambah dengan ocehan omong kosong dari orang tua ini. Maka aku langsung meninggalkan warung tersebut. Hampir seratus meter aku berjalan tiba-tiba si orang tua meneriakiku.

“Hey, bagaiamana bila kita mati saja?”

Minggu, 28 Agustus 2011

Tetap Sebuah Mainan

Rilis: Juni 2010
Produksi: Disney/Pixar
Sutradara: Lee Unkrich
Penulis: John Lesseter, Andrew Stanton, Michael Arndt (screenplay)
Pemain: Tom Hanks, Tim Allen, Joan Cussack, Ned Beatty

 
Andy Davis telah berumur 17 tahun dan siap menjadi seorang mahasiswa. Sebagaimana lelaki yang beranjak dewasa, Andy juga mulai belajar meninggalkan masa kecilnya. Ia mulai dunia barunya di dalam kedewasaan. Pun, sebagaimana seorang yang berangkat menuju dewasa, ia meletakan spontanitas, keceriaan kanak-kanak, keluiwesan di balik pintu aturan, kekakuan kedewasaan. Termasuk juga mainannya.

Dengan latar belakang inilah John Lesseter kembali menggarap sequel animasi terbaik sepanjang masa-ada di peringkat tujuh daftar film terbaik sepanjang masa versi IMDB- Toy Story. Pada sequel yang ketiga, Lee Unkrich yang pada sequel sebelumnya berposisi sebagai co-Director, kini dipercaya memegang penuh kendali sutradara. 

Setelah jeda lebih dari satu dekade, Toy Story 3 masih bercerita tentang petualangan Woody (Tom Hanks), Buzz Lightyear (Tim Allen), Jessie (Joan Cussack), Mr. and Mrs. Potato Head, Rex, dan segerombolan mainan lain di rumah Andy Davis.  Namun, karena Andy yang kini sudah beranjak dewasa, dan harus meninggalkan masa kecil termasuk mainannya, maka pertualangan kali ini bukan lagi tentang mainan layaknya mainan untuk anak kecil.

Jumat, 26 Agustus 2011

Zarathustra Masuk Kampus

Alkisah, pada umur tiga puluh tahunan Zarathustra meninggalkan rumahnya dan pergi ke gunung. Ia mengharap dalam kesendirian itu dapat menemukan sesuatu. Ia muak dengan segala aturan, norma, agama dan moralitas di lingkungan hidupnya, Danau Urmi. Manusia selalu berkutat pada benar-salah, baik-buruk. Yang anehya itu semua justru dibentuk oleh sesuatu yang sama sekali tak pernah diketahui manusia.

Dan setelah sepuluh tahun dalam kesendiriannya, ia turun gunung. Ia menemukan sebuah konsep mengenai Ubermensch, purnamanusia. Semua moralitas yang ia kenal dulu ditampiknya. Ia tahu bahwa semua nilai-nilai itu-yang dianggap baik dan buruk-justru menjadikan manusia bermental budak yang tak pernah merdeka dari dogma. 

Lewat Purnamanusia, Zarathustra yang turun gunung menyerukan untuk menjadi seorang manusia yang menghancurkan nilai-nilai yang telah ada, dengan se-kreatif mungkin mengaktualisasikan diri tanpa pembatas. 

Sabtu, 20 Agustus 2011

Kompetisi


Selamat pertama, bukan saya berikan karena anda berhasil diterima di kampus (katanya) rakyat ini. Selamat saya berikan kepada anda jauh sebelum itu, saat anda masih berwujud sel sperma yang berhasil mengalahkan jutaan pesaing lain yang hendak menuju ovarium. Ya, selamat karena anda telah memenangkan balapan kehidupan ini. Anda adalah pemenang.
 Saat anda hanya memiliki kepala dan buntut untuk berenang menuju rahim, anda sudah diajari bagaimana caranya berkompetisi untuk menuju finish. Kompetisi mengharuskan ada yang menang, dan memuncul yang kalah. Anda adalah Pemenang.
 Dalam kompetisi, bisa jadi anda adalah yang tersiap. Karena kemampuan anda memang di atas pesaing anda. Bukan juga mustahil, bahwa anda biasa saja, hanya saingan anda yang memang jauh diatas standar kesiapan menempuh balapan kehidupan ini. Bagaimanapun juga, Anda adalah pemenang.

Barikade Pedagang Rokok


LANGKAH kaki Muhhamad Kholik Wahyu melambat saat keluar dari Fakultas Ilmu sosial (FIS), Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Dua kancing atas kemeja kotak-kotaknya terbuka, tangan kanannya sembari mengibas-ngibas lehernya. Pemuda berumur 22 tahun ini biasa disapa Tito. Tito merupakan mahasiswa Jurusan Pendidikan Sosiologi tingkat dua. Ia baru saja selesai mengikuti ujian tengah semester pada mata kuliah Sosiologi Kebudayaan.
“Lu bisa gak tadi?” Tanya Tito kepada salah seorang temannya.
“Gue aja tadi nyontek semua,” tawa temannya.
Tito dan temannya tak langsung meninggalkan kampus, mereka menuju pendopo FIS. Tito memang biasa nongkrong di pendopo FIS seusai kuliah bersama teman-temannya untuk sekedar ngopi dan ngerokok.
"Beli rokok empat batang, sama kopi item," ucap teman Tito sembari menyerahkan selembar uang lima ribu.

Ketika Oemar Bakrie Bertemu Erich Fromm


Hari itu, Oemar Bakrie baru saja selesai mengajar di kelas, ia langung menuju ruang guru dan makan siang. Guru-guru lain yang saat itu berada di ruang yang sama juga sedang asik menghabiskan waktu istirahatnya dengan melahap santapannya masing-masing. Jam mengajar Bakrie sudah habis, ia memutuskan langsung pulang ke rumah.
 Di parkiran Bakrie tak mengambil sepeda kumbang yang biasa gunakan, ia menuju sebuah sepeda motor keluaran terbaru. Maklum, Bakrie baru saja mengikuti program sertifikasi guru yang telah manjadikannya seorang guru professional yang layak diberi upah secara professional pula. Maka tak heran setelah beberapa bulan mengumpulkan uang dengan gajinya yang ‘baru’ juga ditambah tunjangannnya, Bakrie dapat membeli sepeda motor dengan tunai.
 Setelah berpamitan dengan Udin, satpam sekolah, Bakrie langsung tancap gas. Jarak antara sekolah dengan rumah Bakrie memang cukup jauh dengan jalan yang berlubang. Di perjalanan ban sepeda motor Bakrie pecah, untung tak jauh dari Bakrie berhenti ada tukang tambal ban.

Alay dan Pertentangan Kelas

MENDENGAR telepon genggamnya berbunyi, Nia lantas mengeluarkan telepon genggam dari saku celananya. Satu pesan masuk.
“4pA K48h@r? Qt Jh@lAnd Yuk5,” Isi pesan pendek tersebut.
“Apa sih. Kirim sms(Short Massage Service) gak jelas, Alay banget deh,” kesal Nia.
Nia kembali memasukkan telepon genggamnya ke saku celana jins hitamnya yang ketat. Sebatang Marlboro Black Menthol ia keluarkan dari bungkusnya. Ia juga mengeluarkan korek dari saku kemeja kotak-kotak berwarna merah-hitam. Kancing kemejanya sengaja tak ia masukkan, hingga yang terlihat hanya sebuah kaus tipis berwarna hitam.
Pesan pendek seperti itu bukan yang pertama kali diterima Nia. Nia agak risi menerima pesan pendek seperti itu. Susah dibacanya, norak, kampungan, menurut Nia. Nia menyebut orang seperti itu sebagai Alay, atau akronim dari Anak Layangan. Tidak jelas maknanya apa, munculnya kapan, dan menunjukkan siapa. Namun, biasanya sebutan Alay ditujukan kepada seorang yang taraf ekonominya rendah. Yang terepresentasikan dengan gaya hidup ‘seadanya’ dan ‘memaksa’. Dan, sebutan ALay banyak disematkan oleh seorang yang memiliki taraf ekonomi yang tinggi, seperti Nia.

Pacar Merah Berwarna Abu-Abu


Genre Fiksi dijadikan alternatif dalam dunia kesustraan untuk bersembunyi dari pengawasan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda.

 Hasbullah Parindurie alias Matu Mona terlecut semangatnya saat diperlihatkan sekitar empat atau lima pucuk surat oleh Adinegoro, pemimpin redaksi Harian Pewarta Deli-harian di Medan yang terbit pada 1930-an. Matu Mona menemukan gagasan kemerdekaan Indonesia dalam surat yang dibacanya. Bagaimana tak terlecut semangatnya, pada periode itu Indonesia masih dalam cengkraman Kolonial Belanda.
 Matu Mona yang juga seorang redaktur Pewarta Deli merangkap sastrawan memutuskan menulis sebuh cerita dari surat yang dibasanya yang kemudian diketahui dikirim oleh Tan Malaka, seorang tokoh pergerakan di Indonesia. Awalnya, cerita Matu Mona terbit sebagai cerita bersambung di Pewarta Deli pada 9 Juli- 19 september 1933 dengan judul Spionnage Dienst (Pacar Merah Indonesia). Karena mendapatkan sambutan baik dari pembacanya, cerita tersebut kemudian dibukukan pada 1938.
 Apa yang sebenarnya Matu Mona tulis?, hingga ceritanya bisa mendapat antusiasme pembaca yang tinggi. Dalam jilid satu ini-buku ini terdiri dari tiga jilid, Matu Mona menceritakan bagaimana petualangan Tan Malaka sebagai Pacar Merah, buronan polisi rahasia kolonial Hindia-Belanda.

Novel Satir terhadap Komunisme Soviet

MALAM itu Mayor tua dengan gagah berdiri di podium pojok peternakan, ia berdiri dibawah lentera dan diatas kasur jerami. Mayor tua adalah seekor babi berumur duabelas tahun di peternakan Manor milik Tuan Jones. Ia merupakan babai yang bijaksana dan agung. Kala itu mayor telah mengumpulkan seluruh binatang di peternakan Manor untuk mendengarkan mimpinya akan pembebasan para hewan. Anjing, babi, kuda, sapi, domba, burung, ayam yang hadir dengan hikmat mendengarkan cerita Mayor.
Pembebasan yang diimpikan Mayor merupakan sebuah upaya terhadap penindasan yang dilakukan Tuan Jones. Tuan Jones melakukan eksploitasi terhadap para hewan ternaknya untuk kepentingan pribadinya. Semisal, tiap tahun Tuan Jones bisa mendapatkan ribuan galon susu sapi, ratusan telur ayam, berkilo-kilo bulu domba, dari hasil ternakannya. Dari keuntungan yang didapat Tuan Jones tak pernah secara langsung dirasakan para hewan sendiri. Mereka hanya diberi kandang dan jatah makan seadanya-sebatas utuk bisa hidup dan berproduksi. Bahkan tak jarang Tuan Jones lupa memberikan kepada ternakannya, sehingga para hewan pun harus kelaparan.

Cinta


Cinta itu seni, ia butuh pengetahuan dan perjuangan-Erich Fromm

Awalnya sebuah pesan di akun Facebook dari seorang perempuan, isinya sebuah ungkapan kemarahan. Perempuan tersebut marah-marah kepada si empunya akun Facebook tersebut. Ia marah karena ia punya seorang sahabat yang merasa dimainkan oleh si pemilik akun Facebook tersebut. “Kalo memang anda sudah tidak memiliki perasaan dengannya silahkan pergi dan jangan ganggu dia lagi,” ketus perempuan tersebut.
Tentang cinta adalah tentang perasaan, hemat perempuan tersebut. Cinta hanya sejumput perasaan menyenangkan saat ia datang, dan menjadi sebuah keterpurukkan saat ia pergi. Erich Fromm, Psikoanalis dari Jerman membedah habis soal cinta dalam bukunya The Art of Loving. Fromm menolak jauh-jauh bahwa anggapan cinta hanya sebentuk perasaan menyenangkan, menurutnya cinta adalah seni, ia butuh pengetahuan dan perjuangan.
Mengapa cinta butuh pengetahuan? Pertama, kita harus melihat anggapan mengenai cinta dalam masyarakat. Masyarakat umumnya menganggap remeh masalah cinta, cinta baru datang saat ada objek yang tepat dicintai. Padahal, masyarakat jelas membutuhkan cinta. Buktinya larisnya film, lagu mengenai cinta entah itu menyedihkan atau menyenangkan.

Meradikalkan Sistem atau Mensistemkan Keradikalan

Sejak kemunculannya, politik budaya tanding tidak pernah menghasilkan sebuah perubahan. Ironisnya, budaya tanding justru penopang utama bagi berdirinya kapitalisme.


Apa yang harus dilakukan kura-kura untuk bertahan hidup? Menjadi kura-kura. Apa yang harus dilakukan keledai untuk bertahan hidup? Menjadi keledai. Apa yang  harus dilakukan wortel untuk bertahan hidup? Menjadi wortel. Apa yang harus dilakukan manusia untuk bertahan hidup? Menjadi guru, pengacara, tentara, tukang tambal ban, pelayan restoran, Dan yang lain. Bagaimana mungkin, manusia sebagai makhluk tertinggi justru memerankan peran paling bodoh dalam kehidupan.
Untuk mengembalikan peran manusia sebagai makhluk yang bebas, merdeka, lepas dari kerangka dominasi massa, ya mereka melawan. Bagaimana? Awalnya sebuah penemuan atas dunia baru-khususnya kepualauan pasifik-oleh bangsa eropa. Mereka melihat sebuah sebuah tatanan yang egaliter, yang tiap manusia memiliki persamaan hak. Dipengaruhi kondisi eropa saat itu yang sedang mengalami revolusi industri, masyarakat eropa mendamba sebuah involusi kehidupan. Yaitu adalah kembalinya sebuah kehidupan dalam bentuk yang lebih sederhana, seperti yang mereka tahu di dunia baru.

Edward Bloom, Nietzsche, dan Anarkhisme

Edward Bloom telah mengetahui bagaimana ajalnya datang sejak kecil. Hal ini diketahui saat Edward kecil bersama beberapa temannya, pada suatu malam menyelinap masuk ke halaman rumah seorang penyihir. Penduduk setempat meyakini, mata si penyihir dapat memberikan gambaran mengenai ajal sesorang. Edward kecil merupakan seorang yang pemberani, tantangan salah satu kawannya untuk masuk menemui si penyihir disambut Edward tanpa ragu-ragu. Tak ada petir, hujan, ataupun badai. Beberapa menit kemudian Edward keluar dengan si Penyihir di balakangnya. Kemudian, satu-persatu teman Edward melihat bagaimana akhir hidupnya dari bola mata si penyihir yang sebelumnya ditutupi penutup mata seperti bajak laut. Menjerit dan lari, hanya itu yang dilakukan teman Edward setelah melihat ajalnya. Tapi, tidak bagi Edward ia hanya berkata. “Oh, jadi begitu cara aku mengakhiri hidupnya.”
Kemurungan, ketakutan, kegelisahan tak hinggap pada hidup Edward setelah kejadian itu. Justru sebaliknya, hidupnya penuh dengan rasa optimisme, kebahagiaan, dan penuh tantangan. Edward muda menerobos semua nilai, norma, sistem dan dogma yang ada dalam masyarakatnya. Hal ini hanya berlandas pada pertemuannya dengan si Penyihir saat ia kecil. Ia berteman dengan Karl, seorang dengan gigantisme yang membuat tubuh Karl seperti raksasa. Karl dianggap raksasa yang kejam yang suka memangsa hewan ternak warga, shingga dianggap momok menakukan oleh warga. Tak hanya itu, ia menerobos hutan belantara yang sangat berbahaya-menurut warga. Ia juga merobek nilai-nilai yang ada dalam masyarakatnya, Ia menikahi seorang gadis yang telah bertunangan dan siap untuk menikah. Hanya karena ia melihat gadis itu di pemakamannya, saat Edward memendang bola mata si penyihir.

Minggu, 26 Juni 2011

Owen Story: Sekolah Binatang (tamat)


“Semangat betul kau Owen, hingga baru pulang selarut ini,” Prof Uber membuka pembicaraan saat Owen baru saja tiba di rumah.
Owen tidak langsung menjawab.
“Hey, burung hantu! Aku menanyamu!”
“Hancur,” jawab Owen singkat.
“Apanya?”
“Sekolah Binatang.”
“Mengapa.”
“Ternyata, bagaimanapun juga binatang tak akan mampu menjadi manusia,” keluh Owen “Badan Wilhelm memar karena jatuh dari pohon, hingga berkelahi dengan Illinov, Duke juga. Turton kakinya patah, bahkan Leona hingga pingsan saat mencoba untuk berenang. Dan seluruh murid sekolah binatang mengalami cedera.”
“Apa yang telah kamu lakukan Owen?”
“Membuat sekolah,”
“Bukan itu maksudku, mengapa kau menyuruh seekor babi dan bebek untuk memanjat, Kura-kura untuk berlari, bahkan seekor kucing hutan untuk berenang?” Tanya Prof Uber heran.

Owen Story: Sekolah Binatang (4)


Baru pukul 1.30 siang mereka bergegas ke padang ilalang untuk menggelar mata pelajaran ketiga yaitu berlari. 15 menit kemudian rombongan binatang sampai di Timur Hutan. Kali ini para binatang membentuk barisan ke samping. Mereka mencoba berlari bersama. Saat aba-aba diberi oleh Owen, mereka berlari serempak. Leona ada di urutan terdepan bersama si rubah. mereka saling balap-membalap. Di urutan paling belakang, ada Duke dan Wilhelm, dan Turton.
Josh yang besar ada di depan ketiga binatang tersebut, saat jarak yang sudah cukup jauh, saking letihnya Josh melambat dan menginjak Turton.
“Ahhhhhhhh, kakiku!” teriak Turton. Mendengar itu Josh kaget dan terjatuh. “Gedubrak!” bunyi jatuh Josh.
“Berhenti semuanya!” perintah Owen.

Owen Story: Sekolah Binatang (3)


Jam 8 pagi Owen sudah sampai di pohon besar di tengah hutan, Leona, dan Kun malah sudah sejak setengah jam yang lalu tiba di pohon. 15 menit kemudian Wilhelm dan Turton juga tiba.
“Kupikir aku yang datang paling dahulu,” sombong Turton.
Tak lama berselang Duke, Illinov, dan Josh juga datang. Mereka datang dengan berisik, Josh dengan tapak kaki yng besar saat berjalan sempat membut tanah di hutan sedikit bergetar, belum lagi Illinov yang mulutnya tak pernah berhenti berkicau.
“Perkenalkan ini Illinov dan Josh. Mereka juga ingin berpartisipasi dalam sekolah binatang,” Ucap Duke.
Belum tepat pukul 9, para binatang sudah berkumpul. Dengan sigap Owen nangkring di dahan pohon yag tak terlalu tinggi, supaya dilihat oleh para binatang.
“Baiklah, karena sekarang sudah jam 9 tepat bagimana bila kita langsung memulai sekolah kita? Dan seperti yang telah kita sepakati, pelajaran pertama kita adalah memanjat. Leona, Illinov dan Wilhelm kalian maju ke depan dan coba praktikan bagaimana cara memanjat,”

Owen Story: Sekolah Binatang (2)

Sampai di hutan, Owen bertemu dengan Kun, seorang merpati putih. Tak banyak basa-basi Owen langsung mengutarakan niatnya untuk mendirikan sekolah. Tak lupa ia memberitahu tentang beda binatang dan manusia, serta kegunan akal.
“Ini berguna supaya kita bisa menjadi binatang yang sesungguhnya, bahkan bukan mustahil kita bisa melampaui manusia,” jelas Owen.
“Apa kau serius, Owen?” tanya Kun.
“Iya makanya aku ke hutan, dan meminta bantuanmu untuk memberitahu pada binatang yang lain. Tiga jam lagi kita berkumpul di pohon besar di tengah hutan untuk membicarakan niatku dan mengkonsepkan sekolah kita,”
Mereka berpencar, setiap bertemu binatang. Owen dan Kun memberitahukan pertemuan di pohon besar tengah hutan guna membahas pendirian sekolah tersebut. Semua binatang yang ditemui menyetujui ide pembentukan sekolah tersebut. Baru  dua jam saja  sudah ada 20 binatang beragam jenis berkumpul. Dan sesampainya Owen disana, para binatang langsung membentuk barisan.

Owen Story: Sekolah Binatang (1)



Owen adalah seekor burung hantu tua. Ia adalah binatang peliharaan seorang Profesor pendidikan, Uber Kaczynski. Di rumah Prof. Uber, Owen tidak disangkarkan sebagaimana banyak burung-burung lain, ia dibiarkan bebas, karena di rumah Prof. Uber banyak dirimbun pepohonan. Bagi Prof. Uber, Owen adalah teman diskusinya, ini karena Prof. Uber tinggal sendiri, istrinya telah meninggal tanpa memberi keturunan sejak dua puluh tahun lalu. Dan Owen telah menjadi sahabat bagi Prof. Uber sepeninggal istrinya.
Sore itu, Prof Uber baru saja selesai mengajar di Schole University, universitas yang memberi gelar guru besar dalam bidang pendidikan untuknya. Seperti biasa, ia segera bergegas pulang karena sedang tak ada aktifitas di kampus ditambah penyelesaian buku terbarunya. Prof. Uber lebih suka membaca, diskusi dan menulis sembari minum kopi ketimbang mengurus tetek bengek ke-administrasian di kampus. Bahkan dalam tiap kelas yang ia ajar, mahasiswa tak pernah diabsen, karena menurutnya ruang kelas sekarang benar menutup aktualisasi peserta didiknya sebagai manusia.