Sabtu, 20 Agustus 2011

Meradikalkan Sistem atau Mensistemkan Keradikalan

Sejak kemunculannya, politik budaya tanding tidak pernah menghasilkan sebuah perubahan. Ironisnya, budaya tanding justru penopang utama bagi berdirinya kapitalisme.


Apa yang harus dilakukan kura-kura untuk bertahan hidup? Menjadi kura-kura. Apa yang harus dilakukan keledai untuk bertahan hidup? Menjadi keledai. Apa yang  harus dilakukan wortel untuk bertahan hidup? Menjadi wortel. Apa yang harus dilakukan manusia untuk bertahan hidup? Menjadi guru, pengacara, tentara, tukang tambal ban, pelayan restoran, Dan yang lain. Bagaimana mungkin, manusia sebagai makhluk tertinggi justru memerankan peran paling bodoh dalam kehidupan.
Untuk mengembalikan peran manusia sebagai makhluk yang bebas, merdeka, lepas dari kerangka dominasi massa, ya mereka melawan. Bagaimana? Awalnya sebuah penemuan atas dunia baru-khususnya kepualauan pasifik-oleh bangsa eropa. Mereka melihat sebuah sebuah tatanan yang egaliter, yang tiap manusia memiliki persamaan hak. Dipengaruhi kondisi eropa saat itu yang sedang mengalami revolusi industri, masyarakat eropa mendamba sebuah involusi kehidupan. Yaitu adalah kembalinya sebuah kehidupan dalam bentuk yang lebih sederhana, seperti yang mereka tahu di dunia baru.

Ini yang kemudian memunculkan sebuah gerakan romantisisme, gerakan yang bercita untuk melawan nilai-norma kebangsawanan, sosial, politik yang ditimbulkan oleh periode pencerahan yang diakumulasikan lewat karya seni, sastra terhadap rasionalisasinya terhadap alam. Dalam perkembanganya, tuntutan sebuah involusi kehidupan ini bercabang pada sasaran kritiknya. Dimulai oleh Rousseau, ia menganggap bahwa dalam mewujudkan egaliterian dalam kehidupan, masyarakat umum (massa) harus bertarung dengan kaum aristokrat yang selama ini menjadi penguasa. 
Namun, pada awal abad 19 sikap politik radikal ini berubah haluan, alih-alih menjadikan massa sebagai sekutu. Orang-orang romantik justru menjadikan massa sebagai sasaran kritik, karena turut menjadi bagaian dari arus besar yang dicipta penguasa. Dan manjadikannya domba-domba yang sesat dan tidak bahagia. Mulai dari filsuf, seniman, intelektual mulai mencerca sikap nrimo masyarakat, kepatuhannya. Salah satunya Nietzsche-untungnya Nietzsche sudah mati, kalau tidak saya yang akan membunuhnya.
Melawan arus kini menjadi dogma bagi para manusia yang ingin bebas, orang-orang romantik memulai dengan gaya hidup bohemian, sebuah gaya hidup alternatif yang menekankan pada kesenangan individu, antitesa terhadap hidup pada zamannya yang penuh ketertundukan. Sayangnya jalam alternatif ini justru menjadi cara hidup massal yang baru, dan menjadi arus baru tanpa meninggalkan nilai-nilai lama dan merubah apapun. Semua jalan alternatif hanya jadi sebuah tindakan main-main, kenyelenehan aneka rupa, atau keliaran apapun sesuka hati. Padahal, kata Boomerang “Mimpi harus, tapi jangan lelap tertidur.”
Kisah lawas ini bisa sedikit menggambarkan bagaimana asal-usul budaya tanding yang dicoba diusung oleh orang-orang yang (katanya) radikal. Mencoba mengacak sistem dengan memunculkan sebuah budaya baru demi menciptakan tatanan yang lebih ‘manusiawi’. Unfortunately, it doesn’t work.
Cuma tentang kemasan
Mengapa budaya tanding tidak berhasil? Kurt Cobain nampaknya tahu betul mengapa perlawanan terhadap sistem dengan menciptakan budaya baru sama sekali tidak berguna dan justru menopang sistem besar itu sendiri. Ia mati-matian mencaci korporasi musik besar, merendahkan Hippies, menolak musik-musik mainstream dengan menciptakan grunge. Salah satu cabang dari Punk Rock ini mencoba membuat musik acak-acakan yang diharap bisa menjadi lawan dari dominasi musik mainstream kala itu dikuasai Hippies. Padahal kemunculan hippies juga bermaksud sama dahulu dengan yang niatkan Cobain. Hanya karena dianggap kurang radikal, Cobain benar mencemooh Hippies
Album Nevermind pada 1991 yang diniatkan sebagai album musik tak karuan justru penjualannya melebihi album Micheal Jackson sebagai album terlaris sepanjang masa. Melihat keberhasilannya, selanjutnya Cobain dengan Nirvana-nya mencoba membuat musik yang lebih tidak bisa ‘diterima’ oleh masyarakat, tapi tetap saja beberapa single-nya tetap memuncaki tangga teratas Billboard.
Puncaknya, saat Cobain diminta menjadi sampul depan majalah Rolling Stone. Ia menggunakan kaos “Corpoorate Rock Magazines Still Suck.” Ujar Cobain, ia ingin memasuki sistem itu sendiri dari dalam dan lantas menghancurkannya. Lagi-lagi usahanya tak membuahkan apapun. Industri musik justu yang paling kenyang dibuat oleh aksi-aksi pemberontakan Cobain dengan budaya tandingnya. Selembar surat disamping mayatnya-Cobain bunuh diri- bertulis “ketimbang padam perlahan lebih baik hangus seketika,” menandakan kekalahannya ia terhadap sistem. Hey, ini sama sekali tidak berguna
Yang patut dicermati adalah, bukan bagimana usaha pemunculan budaya tanding sama sekali tidak berhasil. Melainkan bagaimana upaya kooptasi-kooptasi yang dilakukan oleh kapitalisme benar-benar merasuki relung-relung dalam diri manusia. Para pemikir-pemikir postmodern melihat ini adalah dampak iklan, hiper realitas yang ditimbulkan, simulasi, bla bla bla. Guy Debord-guru Jean Baudllirad- pemikir neo marxian yang memulai tesis ini. Suatu saat manusia akan muak dengan iklan dan citra yang ditampilkan kapitalisme. Ya hingga hari ini mereka masih menikmat itu.
 Ini yang kemudian mengilhami para pemikir tua dan tak berguna macam Baudllirad, derrida, foucoult dalm merepresentasikan bagaimana masyarakat konsumerisme terbentuk. Post-modernisme itu sampah. Jauh sebelum itu Marx telah menuangkan tesis-nya mengenai fetisisme komoditas yang lebih masuk akal dalam menilik pola konsumerisme masyarakat. Kapitalisme membuat sedemikian rupa hubungan relasi produksi ini sebagai suatu yang acak, hingga masyarakat tak tahu harus mengakumulasikan kritik kepada siapa? Harga komoditas yang naik dianggap secara alamiah-hadir begitu saja, bukan bagaimana relasi-relasi produksi itu terbentuk.
 Oleh karenanya, kegiatan mengkonsumsi bisa jadi sublimasi masyaakat atas apa saja yang tak mampu dijangkau. Politik budaya tanding dalam posisi ini benar-benar jadi sasaran empuk buat kapitalisme. Saat harga sepatu Nike setinggi langit, sepatu macam Vans, Doc Martens, yang katanya produk budaya tanding melawan dominasi Nike justru laris manis di pasaran. Ya ini Cuma tentang kemasan, dan salah satu mekanisme persaingan pasar dalam skema kapitalisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar