Sabtu, 15 September 2012

Helvetica


Ada banyak prinsip yang dapat digunakan seorang desainer grafis. Namun, bagi desainer karbitan macam saya, prinsip KISS (Keep It Simple, Stupid!) nampaknya memang paling cocok. Mengapa cocok? Buat saya, seorang desainer grafis layaknya seorang nabi. Ia harus menyampaikan pesan yang mampu dicerna oleh khalayak umum lewat media yang ia ciptakan. Makanya, prinsip KISS memang sangat efektif digunakan bahkan bagi desainer yang mapan.

Dalam KISS efektifitas jadi panglima. Ia memadukan semua komponen visual yang dibutuhkan dengan menyederhanakan bentuk, demi menuju tatanan fungsionalis. Materi-materi penyusunnya juga berasal dari bentuk-bentuk yang sederhana. Satu yang jadi langganan dalam merayakan KISS adalah tipe huruf (font) Helvetica yang punya karakter sederhana dengan tingkat keterbacaan yang tinggi. Manuel Krebs dalam Film Dokumentasi: Helvetica! menyatakan, “If You’re not a good designer, and if you are not a designer. just use Helvetica. It looks Good!”

Saya sendiri sangat menggandrungi Helvetica. Dalam mendesain, belakangan saya tidak perlu banyak-banyak memakan waktu, karena dalam urusan memilih huruf, Helvetica pilihan utamanya. Helvetica sendiri lahir 1960 di tangan Max Miedinger dan Eduard Hoffman dari perusahaan pembuat huruf Haas di Swiss. Hingga kini, Helvetica menjadi huruf yang paling sering digunakan di dunia untuk keperluan visual.

Max dan Eduard mengklaim bahwa Helvetica adalah anak kandung dari modernitas. Ia lahir atas sebuah optimisme sebuah modernitas yang apik setelah kemencekaman dunia lewat Perang Dunia Kedua, khususnya Fasisme. Buat mereka berdua, makna hanya dikandung oleh kata-kata, bukan oleh huruf. Makanya huruf harus bersifat netral dan tidak perlu sifat dan bentuk yang ekspresif. Huruf hanya punya satu fungsi: tingkat keterbacaan (legibility) tinggi.