Minggu, 11 Maret 2012

Stasiun Gambir Buta Warna

St. Gambir bersolek, angkutan umum di dibatasi, hanya beberapa saja yang yang diperolehkan beroperasi.

FEBRUARI, MUNGKIN jadi bulan yang sial bagi Suparman, 52 tahun. Suparman seorang supir taksi yang biasa mangkal di St. Gambir. 17 Februari lalu, seperti biasa, ia datang ke St. Gambir untuk mencari penumpang. Di pintu masuk St. Gambir, Suparman melihat pengumuman “Selain taksi yang telah ditunjuk, dilarang dan/atau tidak diizinkan untuk parkir dan/atau mengangkut penumpang dari Stasiun Gambir.” Lantas ia menanyakan pengumuman tersebut ke petugas. Ia mendapat jawaban, bahwa mulai hari itu taksi selain yang sudah ditunjuk dilarang mangkal. ia kesal dan kemudian pergi.

Suparman pergi lantaran perusahaan taksinya bukan termasuk taksi yang ditunjuk seperti dalam pengumuman. Taksi yang dimaksudkan adalah, Blue Bird, Putra, dan Taxiku. Sedangkan taksi yang digunakan Suparman berasal dari perusahaan Pe Taksi. pelarangan taksi selain tiga perusahaan taksi diatas didasari upaya untuk membenahi St. Gambir, salah satunya dengan melakukan pembatasan armada taksi.

Karena pihak kereta api melihat banyak taksi yang sudah tidak layak namun masih beroperasi di St. Gambir. “Selain itu banyak keluhan dari penumpang tentang taksi yang argonya kuda, suka menurunkan penumpang tidak pada tempat tujuan,” ucap Sugeng Priyono, Kepala Humas Daerah Operasi (DAOP) 1

Upaya pembenahan tersebut dilakukan dalam rangka menjadikan St. Gambir bertaraf internasional. Dikutip dari detik.com, Mulianta Sinullingga, kepala DAOP 1, yang daerah operasinya meliputi Jabodetabek, mengatakan upaya itu meliputi hospitality, security, penataan Layout Tenant, How pun In and Out, Garrets Gate, penataan taman, toilet bersih dan gratis, penataan parkir, estetika St. Gambir, St Gambir yang bersih dan bersahabat, bebas dari gembel, pengemis, pengamen, dan integrasi Shelter Bus Way dengan stasiun.
“Terlebih soal transportasi umum,” tambah Sugeng Priyono. “Oleh sebab itu kita bekerjasama dengan pihak parkir untuk menyeleksi taksi mana yang layak masuk St. Gambir.” 5 Februari, pihak kereta api menentukan beberapa kriteria agar sebuah taksi bisa beroperasi di St. Gambir. Yaitu, argo yang jelas, layanan yang baik, etika pengemudi dan tahun kendaraan. Ada 25 taksi yang diikutsertakan pihak kereta api dalam proses seleksi.

Proses seleksi sendiri dilaksanakan oleh pihak parkir, yakni EZ Parking, dibawah PT. Anugerah Bina Karya. PT. Anugerah Bina Karya mulai menjadi pengelola Parkir di ST. Gambir pada 2001, awalnya hanya mengelola peparkiran kendaraan pribadi. Dan, turut serta mengatur peparkiran kendaraan umum saat ada aturan pembatasan armada taksi. Pada 10 Februari, pihak kereta api mengeluarkan hasil taksi yang lolos seleksi, yaitu Blue Bird, Putra, dan Taxiku.

Taksi-taksi yang lolos seleksi ini nantinya akan menempati lot-lot parkir yang disediakan. Lot tersebut berfungsi untuk tempat dimana taksi dapat mengangkut penumpang. Total ada 36 lot, masing-masing perusahaan taksi yang lolos mendapatkan 12 lot,  yang disewakan dengan biaya 7,5 juta pertahun. Uang yang didapat dari sewa lot akan masuk ke kantong PT. Anugerah Bina karya. Hal ini dikarenakan, perusahaan parkir tersebut telah membayar sewa lahan di St. Gambir kepada pihak kereta api sebesar 530 juta pertahun.

Tentang sewa lot ini yang kemudian memicu kemarahan para supir taksi diluar tiga perusahaan taksi yang telah ditunjuk, atau biasa disebut taksi warna-warni. Padahal ada sekitar 135 taksi warna-warni yang biasa mangkal di St. Gambir. “Itu jelas ada monopoli,” ucap Haryanto Tambunan, ketua Front Transportasi Jakarta (FTJ). “Kenapa hanya mereka yang bisa mangkal, sementara kita tidak.”

Sebelum sistem lot diberlakukan, taksi hanya dibebankan biaya sebesar seratus ribu rupiah per tahun untuk biaya retribusi, dan tidak ada biaya lainnya. Taksi itu ditandai dengan stiker untuk dapat mengangkut penumpang dari St. Gambir.

Ini yang kemudian memunculkan dugaan Suparman dan supir taksi warna-warni lainnya tentang adanya praktek monopoli di St. Gambir. Suparman dan supir taksi warna-warni lainnya tentu geram dengan biaya sewa lot tersebut.. Karena  taksi warna-warni kebanyakan hanya dinaungi oleh perusahaan-perusahaan taksi kecil, “Bagaimana mau bayar, orang perusahaan kita kecil,” lanjut Suparman. Dan banyak juga yang kepemilikan taksinya secara pribadi. Menurutnya biaya sebesar itu hanya perusahaan taksi besar seperti Blue bird saja yang mampu membayarnya.

Maka pada, 22 Februari, para supir taksi warna-warni, supir ojek, dan supir bajaj sepakat untuk membentuk Front Transportasi Indonesia (FTI), yang kini bernama FTJ guna melawan monopoli jasa transportasi di St. Gambir. Mereka menuntut untuk dapat mencari nafkah di St. Gambir, sama seperti taksi yang memperoleh ijin mangkal. Dalam menyuarakan tuntutannya, FTJ sering melakukan aksi penolakan terhadap monopoli jasa transportasi di St. Gambir ini. Dari aksi di St. Gambir hingga ke kementerian BUMN.

Mereka juga meminta agar Ka. Daop 1 untuk menghapus peraturan lot yang diterapkan. Saat dimintai konfirmasi pihak DAOP 1 beralasan telah menyerahkan semua permasalahan ini ke pengelola parkir. “Kita sudah memberikan kewenangan kepada pengelola parkir,” ucap Sugeng. “jadi seluruhnya merupakan tanggung jawab pengelola parkir.”

Mereka menuntut, karena ada keengganan para supir taksi warna-warni untuk hijrah mencari pengkalan lain, mereka telah sejak lama menjadikan St. Gambir sebagai lahan penghasilan mereka. Bagi mereka, St. Gambir bukan sekedar pangkalan tempat mencari penumpang, St. Gambir sudah jadi bagian hidup mereka Suparman contohnya, ia sudah mangkal di St. Gambir sejak tahun 1988. “ini sudah seperti rumah bagi saya,” ucap Suparman. “Saya bisa tidur, istirahat disini.”

DERITA AKIBAT konflik di St. Gambir bukan hanya milik para supir taksi warna-warni. Para penumpang yang biasa menggunakan taksi pun merasakannya. Pasalnya saat sistem peparkiran baru ini diterapkan, penumpang harus mengeluarkan ongkos ekstra diluar ongkos taksi itu sendiri. Mereka dibebankan biaya lima ribu rupiah saat menggunakan taksi dari stasiun. Seperti yang dialami Syahrizal, 32 tahun. “Biaya sebesar itu memberatkan penumpang, seharusnya dikurangi atau ditiadakan.” Ucapnya. “Kalau begini nantinya banyak calon penumpang yang mengurungkan niatnya mengunakan taksi.”

Biaya tersebut semacam retribusi bagi taksi yang keluar stasiun membawa penumpang. Dan itu dibebankan kepada penumpang. “Uang tersebut digunakan untuk layanan Taxi Service,” pungkas Sugeng. “2000 untuk pengelola parkir, 3000 disetor ke pihak kereta api.” Yang disetor ke pengelola parkir sebagai biaya parkir, dan yang didapat pihak kereta api, 1500 digunakan untuk pengadaan Counter Taxi Service, 1500 untuk biaya keamanan dan kebersihan.

Para penumpang yang ingin naik taksi tinggal menuju ke Taxi Service untuk mendapatkan pelayanan yang disediakan. Setiap penumpang yang membayar taxi service akan memperoleh tiket yang berisi tujuan, nomor polisi taksi, nomor body taksi, dan nama supir taksi. Hal ini nantinya berguna untuk menelusuri jikalau terjadi sesuatu kepada penumpang.

Namun, saat Didaktika mencoba menelusuri layanan tiket Taxi Service yang disebutkan, kami hanya menemukan lembaran tiket parkir biasa, hanya ada nomor tiket yang tertera. “Di St. Gambir unsur-unsur pungutan liar dan korupsi itu besar,” kata Haryanto. “Itu tidak hanya dirasakan supir taksi, supir ojek  juga ada pungutan liarnya.”

Munif, 27 tahun, seorang supir ojek membenarkan hal tersebut. Tiap harinya mereka dimintai uang sebesar dua ribu rupiah dengan alasan biaya kemanan. Setiap sore, Munif dan supir ojek lainnya didatangi petugas keamanan yang berkeliling St. Gambir untuk menagih uang keamanan tersebut. Caranya mendapatkan pungutan liar pun tak hanya dengan alih-alih keamanan..Para supir ojek pernah dibuatkan kartu anggota untuk bisa bertahan di St. Gambir. “Yang tidak punya kartu ini tidak bisa membawa penumpang dari St. Gambir,” aku Munif sembari memperlihatkan kartu tersebut. “Yang penting kita bisa mangkal disni lah,

Sebenarnya kondisi munif tak lebih beruntung dari Suparman atau supir taksi warna-warni lain. Saat taksi warna-warni tidak diijinkan masuk St. Gambir, ia dan supir ojek lainnya pun ikut diusir. Ada kekecewaan di diri Munif pada pihak kereta api,  ia merasa telah mengikuti semua aturan. “Tapi Malah saya diusir,” keluhnya. Pengusiran bahkan telah dialami lama oleh para supir bajaj. mereka sudah dilarang mengangkut penumpang di St. Gambir sejak 2008. mereka baru bisa masuk kembali setelah melakukan beberapa negoisasi dengan pihak keamanan stasiun.

BEBERAPA KALI didesak oleh aksi-aksi yang dilakukan FTJ, nampaknya pihak kereta api tak berani lama-lama mengusir para supir taksiwarna-warni , Supir ojek, dan Supir Bajaj. Kurang lebih seminggu dari tanggal mereka diusir, supir taksi warna-warni, dan supir ojek diperbolehkan masuk St. Gambir kembali. Sedangkan untuk supir bajaj baru pada akhir bulan Mei diijinkan masuk St. Gambir.

Namun, bukan berarti persoalan berhenti disini, “Kami ingin tidak ada monopoli jasa transportasi di St. Gambir,” ucap Haryanto. Haryanto menuntut kejelasan status mereka untuk mencari nafkah di St. Gambir. Karena walaupun telah boleh masuk kembali kondisinya tak sama seperti seperti dahulu.

Misalnya, kini sepanjang pintu keluar lobby St. Gambir sudah dipenuhi lot-lot yang telah didiami oleh taksi yang ditunjuk pihak kereta api. Para supir taksi warna-warni tak bisa lagi mendapat penumpang dari alur keluar penumpang dari stasiun. Ini yang kemudian secara tidak langsung menimbulkan kompetisi yang tidak sehat bagi para supir taksi. Taksi yang telah mengantongi ijin mengkal tentu paling diuntungkan untuk mengangkut penumpang, karena letaknya yang dekat dengan alur keluar penumpang.

Setali tiga uang dengan kondisi yang dialami supir taksi. para supir bajaj yang  diperbolehkan masuk sejak Mei, hanya bisa mangkal di pojok-pojok stasiun yang jauh dari lalu lalang penumpang. “ini pun belum kepastian, bisa saja nanti dipindahin lagi,” ujar Suheri, supir bajaj berusia 60 tahun.

Kondisi seperti itu belum seberapa dengan yang dialami supir ojek. Mereka yang kena imbas paling parah. Setelah diperbolehkan masuk kembali, tiap-tiap jam kedatangan kereta api. Para supir ojek harus mendatangi calon penumpang untuk menawarkan jasa ojek, lalu mereka harus menggiring penumpang ke luar stasiun untuk  naik motornya. Kini mereka mangkal seorang diri tanpa ditemani motornya. “Yang mangkal Cuma kita, motornya ada di luar,” terang Remo, 30 tahun, rekan Munif sesama supir ojek.

“Tuntutan kita jelas, agar taksi warna-warni, ojek, bajaj punya tempat yang jelas di St. Gambir, orang kita sama-sama cari makan disini.” Pinta haryanto. Kalau sudah begini pilihan tentu ditentukan oleh penumpang. Biar penumpang sendiri yang memilih ingin menggunakan transportasi apa. “Bukan dibatasi seperti ini,” lanjut Haryanto.

Mungkin St. Gambir telah sembuh dari buta warna totalnya, yang hanya bisa melihat satu warna saja. Kini St.Gambir mengidap buta warna parsial. Layaknya seorang yang megidap buta warna parsial. Hanya ada beberapa warna yang dapat dilihatnya, itupun dengan ketentuan-ketentuan tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar