Selasa, 12 Februari 2013

Rasa Muak


Tiba-tiba saja, ada yang mengetuk pintu kos. Padahal saat ini sudah jam dua dini hari. Ini jarang kudapati, karena kos miliku selain si Ruki sahabatku tidak pernah ada yang datang kemari. Kulihat dari jendela, ada sosok ber-jas merah dengan dasi garis-garis berwarna biru dongker dan ungu. Sepatunya sangat mengkilap hingga aku yakin mampu bercermin di sepatunya, celananya katun hitam halus tanpa ada satu lekukan lecek. Baru kusadari ia adalah Rudolf teman kelasku.

Aku heran bukan main dari mana ia tahu kosku? Ada urusan apa ia menemuiku? Aku tahu aku satu kelompok dalam presentasi mata kuliah teknik penyulingan besok pagi, tapi aku juga tahu persis selama tiga tahun kami kuliah, ia dan aku tidak pernah satu kali pun mengundang obrolan bersama.

Setelah mempersilakan ia masuk, ia mengutarakan niatnya: ia mau pinjam buku penyulingan air, sembari katakanlah sebuah kegiatan belajar bersama. Di kelas memang cuma aku yang memiliki buku ini, dan bukunya memang sangat berguna. Beberapa kali aku bisa mengetahui apa yang akan dibicarakan dosen sebelum ia memaparkan penjelasan. Bahkan, aku tak jarang membantah dosen berkat buku yang kubaca ini. Buku itu sendiri kudapat dari kakekku, seorang professor terkenal dalam bidang fisika kinetik. Buku ini memang untuk kalangan terbatas, tapi mengetahui minatku yang tinggi terhadap fisika, kakek memberikannya kepadaku.

Tapi aku masih tak habis pikir mengapa si Rudolf mau kemari, menemuiku. Sebelum aku berspekulasi macam-macam kuberi saja Rudolf buku itu. Hematku, paling tidak aku sudah mendistribusikan ilmu. Barangkali nanti kalo si Rudolf sukses, aku akan memiliki  kontribusi akan kesuksesannya.

Aku beri buku tersebut, Rudolf juga tak serta merta pergi dari kosku. Ia membacanya sedikit demi sedikit. Beberapa yang tidak ia mengerti ditanyakan kepadaku. Misalnya mengenai purifikasi kinetik ia benar tidak mengerti, buatnya dengan kemampuan otak yang cekak lebih baik menyediakan saringan dengan lubang kerapatan yang kecil untuk mendapatkan air yang lebih bersih. Kuberi penjelasan: penyaringan memang lumayan berguna untuk benda-benda padat, namun teknik ini kurang berpengaruh untuk memisahkan air dari zat cair ataupun gas yang berbahaya bagi tubuh. Kujelaskan lagi: salah satu cara sederhana adalah dengan mengocok air dengan konstan, malah lebih baik bila sirkulasinya berbentuk lingkaran, walaupun tetap dibutuhkan material khusus dan lebih kompleks untuk hasil yang maksimal. Mendengar banyak penjelasan ia yang juga sadar punya otak tak mumpuni mencatatnya. Kupikir, serius sekali Rudolf ini. Selesai mencatat ia pulang, dan berterima kasih.

“sekarang gua mengerti, paling tidak ini cukup untuk bekal besok. Terima kasih banget, bro, kalo bukan lu, gua pasti bakal megap-megap besok.”

“hahahaha, bisa aja lu.”

Ia pergi, kubukakan pintu. Ada yang aneh, setelah jarak 10 meter membelakangiku, tiba-tiba saja kulihat ia hanya bersarung, dan mengenakan singlet. Mungkin aku terlalu ngantuk.

Keesokan harinya, tibalah giliran kelompokku bersama Rudolf berpresentasi. Kali ini si Rudolf yang banyak mengambil tempat, baik dalam penyajian makalah maupun menjawab pertanyaan-pertanyaan. Walau aku sempat melihat, ia jelas membaca catatan yang kemarin ia buat di kamar kosku. Biarlah, buatku mungkin ini permulaan bagi si Rudolf. Setelah presentasi selesai, semua bertepuk tangan. Si dosen malah bilang untuk menambahkan tepuk tangan bagi Rudolf yang gilang gemilang dalam presentasi tersebut.

“hebat kamu Rudolf, dari mana kamu mengetahui itu semua?”

“ah, biasa aja pak, saya cuma baca buku ini.” Rudolf menunjukkan buku milikku. “ini buku sulit sekali saya dapat, pak. Ini buku untuk terbatas untuk kalangan peneliti saja, saya mendapatkannya dari seorang professor fisika kinetik terkenal. Awalnya saya cuma meminjam, namun professor itu melihat ketertarikan saya yang besar terhadap fisika, kemudian ia memberinya kepada saya.”

Bajingan ini Rudolf, tidak kusangka pertemuan semalam ternyata diniati busuk olehnya. Aku tidak mempersoalkan pengakuannya terhadap buku itu. Aku hanya merasa bangunan pengetahuanku dirusak olehnya, ini sebuah pencurian hak cipta terhadap pengetahuan, dalam presentasi barusan, ia bahkan menggunakan kalimatku dalam menjawab pertanyaan yang kemarin ia lontarkan kepadaku. Terlebih dia menggunakannya untuk memperoleh kesempatan-kesempatan politis yang menguntungkan dirinya.

Mendengar apa yang diucapkan Rudolf saya langsung pukul dia, “Bicara apa lu, ini buku gua, bangsat!” Aku yang menjadi sangat reaksioner, kemudian dapat hardikan oleh dosen yang kemudian memarahiku. Aku jelaskan mengenai kejadian semalam, namun aku yang terlanjur mempresentasikan kebrutalan di depan dosen tak sekalipun digubris. Si dosen malah mencaciku.

“Sudah, pak tidak apa-apa. Mungkin karena terlalu lama saya meminjami buku ini kepadanya, jadi ia menganggap ini buku miliknya.”

“oh, jadi kamu sempat meminjami buku ini kepadanya?”

“iya, pak, selama ini ia aktif di kelas, karena belajar kepada saya. ia bisa bergumen panjang lebar juga karena penjelasan saya yang ia catat. Bahkan awalnya ia mengambil buku ini tanpa sepengetahuan saya, setalah saya tahu maka saya pinjami saja dengan saya nasihati, bila ilmu memang tidak bisa dikuasai sendiri.”

Rudolf bajingan! Kupukul lagi ia. Ia terjatuh

“Berhenti! Kamu setelah jam pelajaran ini selesai silakan menemui saya di ruangan saya!.” kata si dosen kepadaku.

Dasar hipokrit bajingan, tahu ceritanya seperti ini jangankan kupinjami buku ini, kupersilakan masuk, memegang tuas pintuku saja akan kuhajar kau semalam. Rudolf kemudian bangun, sembari mengeraskan suaranya ia menyodor buku itu kepadaku, “bila ingin pinjam bilang saja, jangan mengaku-ngaku seperti itu.” Kemudian suaranya ia pelankan: baik dan buruk cuma interpretasi, hati-hatilah!

Anjing!