Selasa, 24 Maret 2015

Merevitalisasi LPTK


Oleh: Anggar Septiadi dan Kurnia Yunita Rahayu*

PENGANTAR
Bisa jadi tulisan ini telat muncul di tengah arus utama berita Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang sedang didesak menuntaskan beragam kisruh politik serta aplikasi kebijakan ekonominya. Meski demikian, hal-hal tersebut juga yang mendorong tulisan ini dibuat.
Ada beberapa kenyataan sekaligus pertanyaan yang melandasi tulisan ini. Khususnya  soal mengapa porsi diskursus guru dalam mengurai persoalan pendidikan selalu menjadi pertimbangan kesekian setelah problem kurikulum, dana pendidikan, partisipasi pendidikan, hingga persoalan konfigurasi mata pelajaran apa yang seharusnya diberlakukan untuk menjadikan seorang menjadi seorang Indonesia. Padahal semua hal tersebut (seharusnya) dirangkai oleh seorang guru.
Sekalipun ada, ihwal guru akan selalu berkutat pada masalah eksternalisasinya yakni kesejahteraan, kualitas, hingga moral guru. Terlebih belakangan juga Menteri Anies Baswedan kerap bicara soal peningkatan kualitas guru tapi sama sekali tak menyentuh bagaimana operasi sirkuit produksinya: Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa ada urgensi untuk membahas bagaimana posisi LPTK kekinian sebagai rahim lahirnya guru. Sehingga pada tahap berikutnya kita bisa sedikit memprediksikan bagaimana program pendidikan Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla mampu untuk dilaksanakan dengan meneropong konfigurasi guru yang seperti apa yang coba diciptakan oleh Pemerintahan Jokowi-JK.
Tulisan ini sendiri akan dibagi ke beberapa bagian, pertama menyoal bagaimana sejarah singkat lembaga pendidikan guru Indonesia. Bagian kedua akan memperlihatkan bagaimana konstruksi guru yang diposisikan sebagai buruh. Sedangkan bagian ketiga akan mengontekstualisasikan dua soal tersebut dengan kebutuhan sekarang.