Acara berkabung sudah selesai, Daya anak satu-satunya yang
telah resmi yatim piatu melipat karpet-karpet yang dipergunakan untuk kembali
ditaruh di loteng. Hari in merupakan 40 hari ia menjalani hidup seorang diri. Bapaknya,
satu-satunya orang yang menyayangi sekaligus paling dibenci untuk sisa hidupnya
harus pergi.
Ada sesak yang tak terkendali saat Daya memutar pandang di
loteng. Loteng itu sempat jadi sarana buat seorang bapak menjadikan anak
perempuannya sebagai kekasih keduanya, guna melakukan hal-hal yang tak kuasa ia
lakukan dengan istrinya. Meski di tempat itu pula, Daya harus bersumpah untuk
membenci bapaknya selama sisa hidup.
Tiga gulung karpet berketinggian 3 meter ia letakan di sudut
ruangan, loteng ini tak besar dengan bagian atap yang miring karena satu sudut
atap harus langsung bertemu dengan sudut lantai, tanpa ada sudut atap lainnya. Di
loteng seluruh perabot rumah yang tak berfaedah secara temporer dan enggan
dibuang disimpan.
Daya tak pernah ingat pada umur berapa loteng itu hadir. Tapi
ia tahu apa alasannya. Bapak Daya tak pernah suka ada hal terjadi tak sesuai
keinginannya, begitu juga dalam menata rumah. Ia tak suka misalnya melihat ada keranjang
bayi yang disimpan di ruang keluarga karena Daya yang sudah bisa tidur di kasur,
dan telah memiliki kamar mandiri. Mulanya keranjang itu disimpan di kamar Daya,
tapi bocah perempuan yang mulai bisa berjalan itu selalu mendorong keranjang tersebut
keluar kamar sebelum ia tidur. Daya seperti ingin menyebutkan jika ia telah
besar dan ia tak ingin ada simbol kekanak-kanakan di sekitarnya, atau setidaknya
di kamar miliknya, yang ia anggap adalah kuasanya.
Oleh karenanya bapak Daya memutuskan untuk membuat loteng.