Selasa, 24 Maret 2015

Merevitalisasi LPTK


Oleh: Anggar Septiadi dan Kurnia Yunita Rahayu*

PENGANTAR
Bisa jadi tulisan ini telat muncul di tengah arus utama berita Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang sedang didesak menuntaskan beragam kisruh politik serta aplikasi kebijakan ekonominya. Meski demikian, hal-hal tersebut juga yang mendorong tulisan ini dibuat.
Ada beberapa kenyataan sekaligus pertanyaan yang melandasi tulisan ini. Khususnya  soal mengapa porsi diskursus guru dalam mengurai persoalan pendidikan selalu menjadi pertimbangan kesekian setelah problem kurikulum, dana pendidikan, partisipasi pendidikan, hingga persoalan konfigurasi mata pelajaran apa yang seharusnya diberlakukan untuk menjadikan seorang menjadi seorang Indonesia. Padahal semua hal tersebut (seharusnya) dirangkai oleh seorang guru.
Sekalipun ada, ihwal guru akan selalu berkutat pada masalah eksternalisasinya yakni kesejahteraan, kualitas, hingga moral guru. Terlebih belakangan juga Menteri Anies Baswedan kerap bicara soal peningkatan kualitas guru tapi sama sekali tak menyentuh bagaimana operasi sirkuit produksinya: Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa ada urgensi untuk membahas bagaimana posisi LPTK kekinian sebagai rahim lahirnya guru. Sehingga pada tahap berikutnya kita bisa sedikit memprediksikan bagaimana program pendidikan Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla mampu untuk dilaksanakan dengan meneropong konfigurasi guru yang seperti apa yang coba diciptakan oleh Pemerintahan Jokowi-JK.
Tulisan ini sendiri akan dibagi ke beberapa bagian, pertama menyoal bagaimana sejarah singkat lembaga pendidikan guru Indonesia. Bagian kedua akan memperlihatkan bagaimana konstruksi guru yang diposisikan sebagai buruh. Sedangkan bagian ketiga akan mengontekstualisasikan dua soal tersebut dengan kebutuhan sekarang.

KRONIK PENDIDIKAN GURU DI INDONESIA

Pendidikan guru di Indonesia telah dimulai sejak 1852 yang ditandai dengan hadirnya Kweekschool . Kweekschool sendiri berarti: sekolah pembibitan atau sekolah persemaian yang bermakna sebagai arena untuk menyemai bibit-bibit guru (Buchori, 2007:12). Kweekschool dihadirkan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda dengan melihat kebutuhan pendidikan bagi pribumi yang cukup banyak sekaligus menjadi aplikasi kebijakan Politik Etis kala itu.
Sebab, selain Kweekschool sendiri, sudah ada beberapa sekolah guru yang diperuntukan khusus menurut segregasi sosial yang kala itu ada. misalnya ada Sekolah Guru untuk masyarakat Tionghoa, pun dengan Sekolah Guru untuk masyarakat Eropa. Sedangkan Kweekschool sendiri ditujukan untuk sekolah rendahan pribumi. [i]
Durasi studi Kweekschool ini berlangsung selama empat tahun, dengan siswa yang berasal dari tamatan kelas VII Hollandsch Inlandsche School (HIS) ditambah satu tahun terakhir berupa praktik mengajar. Berikut adalah kurikulum yang diterapkan dalam Kweekschhol
Mata Pelajaran Kweekschool
Mata Pelajaran
Jumlah Pertemuan Perminggu
Kelas 1
Kelas 2
Kelas 3
1.       Bahasa Melayu
2.       Bahasa Sunda
3.       Menulis
4.       Berhitung
5.       Ilmu Ukur
6.       Ilmu Bumi
7.       Sejarah
8.       Ilmu Alam
9.       Menggambar
10.    Ilmu Mendidik
11.    Bernyanyi
7
7
4
7
2
3
1
1
4
-
1
7
6
3
7
2
4
2
2
3
-
1
5
5
2
6
2
5
3
3
2
3
1
Jumlah
37
37
37
 Sumber: S. Nasution (2008)
Sedangkan untuk menyediakan guru pada sekolah pribumi dengan yang lebih tinggi ada Hogere Kweekschool (HKS) yang pada 1927 direorganisasi menjadi Hogere inlandsche School (HIS). Penataan ulang yang menyebabakan HKS menjadi HIS disebabkan karena ketika itu mulai muncul perdebatan kompetensi guru yang seperti apa yang pantas untuk mengajar. (Buchori, 2004: 12-3)
Pada waktu itu, ada dua tolak ukur mengenai kepantasan seorang guru yaitu bekwaamheid yang berarti kemampuan dan kecakapan nyata yang diperlihatkan seorang guru dan bevoegdheid pernyataan resmi dari suatu pihak yang berwenang mengenai kecakapan yang dimiliki seorang guru. Ijazah sekolah guru merupakan suatu pernyataan bevoegdheid. (Buchori, 2007: 14)
Satu perubahan yang jelas terlihat adalah HKS menjadikan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran, sedangkan HIS memposisikan Bahasa Belanda sebagai mata pelajaran.
Perubahan ini sendiri dilakukan sebab Bahasa Belanda yang dijadikan sebagai bahasa pengantar terlalu menekankan bagaimana cara mengajar alias kompetensi pedagogik dari seorang calon guru. Konteks ini dirasakan mengabaikan kompetensi keilmuan yang dimiliki seorang calon guru. Sehingga dilakukan perubahan sistem pendidikan pada HKS.[ii]
Perlu pula dicatat, bahwa kemunculan pendidikan guru kala itu kerap dijadikan ajang aji mumpung bagi bagi golongan Priyayi yang mampu mengenyam bangku Kweekschool. Para priyayi ini menjadikan profesi guru sebagai batu loncatan untuk mendapatkan posisi yang lebih tinggi di kantor-kantor Pemerintahan Kolonial Belanda yang lebih terhormat.
Sebab para lulusan Kweekschool ini berhak menyandang gelar Manteri Guru, dan juga diperbolehkan membawa simbol-simbol kehormatan ketika itu: payung, tikar, kotak sirih yang masing-masing simbol itu dibawakan oleh seorang pembantu yang digaji oleh pemerintah. Pada 1878 sendiri gaji guru yang berwenang mencapai 150 Gulden (Nasution, 2008:40-1).
Untuk menyingkat pembahasan kiranya kita harus melompat agak jauh[iii] ketika pendidikan guru mulai dilaksanakan dalam tingkat perguruan tinggi yang ditandai dengan didirikannya Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) pada 1954.
Dinamika Pendidikan Guru di Tingkat Universitair


PTPG didirikan seiring dengan semangat Indonesia yang sedang giat menyiapkan segala perangkat kehidupan bernegaranya, salah satunya pendidikan. Sedangkan pendidikan guru yang kala itu hanya bersumber dari SGA maupun SGB dirasakan tak memuaskan dan diproyeksikan tidak akan banyak memberikan kemajuan terhadap anak-anak bangsa. Sehingga dibutuhkan pendidikan guru yang lebih mapan. Dan karena sebab itu pula, pendidikan guru Indonesia semakin mulai memiliki dinamika pada saat-saat tersebut
Ada tiga PTPG awal yang didirikan yaitu PTPG Bandung, PTPG Malang, dan PTPG Batusangkar. Namun PTPG tak punya umur panjang. Sebab, pada 1957 terjadi pemecahan struktural di tubuh Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebuayaan (PP dan K) menjadi Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PDK) serta Departemen Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan (PTIP).
Pemecahan ini juga disebabkan oleh mulai banyaknya perguruan tinggi di Indonesia pada awal 1950-an. Misalnya pada 1954 didirikan Universitas Airlangga; 1955 Universitas Andalas dan Universitas Hassanudin; 1956 Universitas Dipenogoro dan Universitas Padjajaran. Banyaknya kelahiran universitas ini kemudian membutuhkan sebuah koordinasi yang lebih intens dan fokus sehingga Departemen PTIP didirikan.
Dalam upaya merapikan struktur perguruan tinggi di Indonesia ini, kemudian PTPG diintegrasikan kepada universitas-universitas Ibu Kota Provinsi menjadi sebuah Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP). Hingga 1961 FKIP-FKIP lain juga turut didirikan di universitas yang di kotanya tak memiliki PTPG. FKIP ini cenderung berasal dari integrasi antara Fakultas Pedagogik/Psikologi dengan Kursus B-I dan B-II yang. FKIP yang tidak berasal dari PTPG ini misalnya dicontohkan oleh FKIP Universitas Gadjah Mada serta FKIP Universitas Indonesia. (Supriadi, 2003: 65)
Sama seperti pendahulunya, FKIP juga tak mampu bertahan lama. Mulanya dengan dimunculkannya Institut Pendidikan Guru (IPG) oleh Menteri PDK Priyono. Priyono memandang FKIP seharusnya berada dalam koordinasi Departemen PDK sebab lulusan FKIP pada akhirnya akan menjadi guru yang di sekolah yang merupakan wewenang Departemen PDK.[iv] Sehingga persoalan produksi guru harusnya berada dalam jangkauan Departemen PDK (Buchori, 2004:82)
Akibat dikoordinir oleh Departemen PTIP, rekrutmen guru menjadi tidak terkoordinir. Sebab banyak lulusan FKIP yang jutsru tak bekerja menjadi guru. Belum lagi Priyono[v] juga memandang kala itu FKIP tak mampu menyentuh kalangan grass root sebab mahasiswanya kebanyakan berasal dari kalangan elit. (Sirait, dkk, 2011: 87) gaji guru yang kecil ketika itu turut pula menyebabkan mengapa lulusan FKIP enggan menjadi guru.
Agar tak menjadi polemik berkepanjangan Presiden Soekarno langsung turun tangun membenahinya. Keluar Surat Keputusan Presiden No. 1/1963 yang menyatakan penggabungan IPG dengan FKIP menjadi Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) dan berada di bawah pengawasan Departemen PTIP.
Bisa dibilang IKIP merupakan LPTK paling mapan di Indonesia, selain soal umur kebetahanannya yang panjang IKIP nantinya juga akan menjadi pusat dari produksi guru di Indonesia. Sebab, IKIP mulai berdiri pada 1963 ketika itu masih ada sekolah-sekolah guru yang baru pada 1980-an semua sekolah guru dintegrasikan ke dalam IKIP.
KOMODIFIKASI GURU
Pada bagian ini penulis akan menjelaskan pergeseran posisi guru dari sebuah tenaga profesional dalam proses pendidikan menjadi sekadar buruh teknikal. Dan dalam konteks tulisan ini, penulis akan mengaitkannya dengan konteks produksi guru di LPTK. Maka dari itu kiranya penulis akan membuka bagian ini mengenai bagaimana penetrasi kapitalisme terhadap perguruan tinggi.
Menjelang abad ke-20, telah terjadi reformasi besar-besaran pada perguruan tinggi di berbagai belahan dunia. Hal ini terjadi dengan asumsi perguruan tinggi tak punya signifikansi atas sengitnya globalisasi kala itu.
Terlebih di negara-negara dunia ketiga, mayoritas peguruan tinggi terlalu menggantungkan dirinya terhadap subsidi pemerintah yang menyebabkan beban anggaran negara sangat besar (World Bank, 1994: 60). Di sisi lain konteks seperti ini juga tak memberikan timbal balik langsung secara ekonomi terhadap negara.
Oleh karenanya perguruan tinggi butuh reformasi sistem dengan prinsip efisiensi dan konektivitas langsung terhadap kapitalisme. Untuk meningkatkan efisiensi tersebut maka dibutuhkan separasi yang jelas antara dunia akademik dan negara khususnya dalam hal finansial. Pemerintah diminta untuk tidak terlalu ikut campur dalam ranah tersebut, untuk kemudian membiarkannya berdinamika dengan mekanisme pasar (World Bank, 1994: 61).
Konteks ini yang kemudian mempersilakan kapitalisme untuk berpentrasi secara langsung terhadap perguruan tinggi. Dan pada tingkat selanjutnya membawa perguruan tinggi untuk beroperasi berdasar mekanisme pasar.
Perguruan tinggi kini berperan sekadar menjadi penyokong status quo, tak lagi memiliki misi keadilan, tradisi, imajinasi kesejahteraan manusia bahkan sebagai pencipta visi alternatif untuk masa depan (Eagleton: 2010). Digantikan dengan logika-logika korporasi seperti standardisasi, indikator tes yang tinggi, akuntabilitas dan privatisasi (Giroux, 2005: 210).
It also aggresively attempts to break the power of unions, decouple income from productivity, subordinate the needs of society to the market, reduce civic education to job training, and render public service and amenities an unconscionable luxury (Giroux, dan giroux, 2004: 249)
Dalam ranah LPTK, penetrasi kapitalisme jelas tergambar dalam konteks konversi IKIP menjadi universitas yang dimulai pada 1999 yang pada akhirnya turut mengubah peta produksi guru. Meskipun kondisi-kondisi seperti minimnya minat masuk IKIP hingga terbatasnya ruang yang tersedia pada lulusan IKIP turut mendorong konversi IKIP menjadi universitas. Namun, penulis mengira bahwa konteks tersebut sebenarnya erat kaitannya dengan intervensi ekonomi yang dilakukan oleh Washington Concensus.
Pertama, IKIP menjelang 1990-an jelas bukan sebuah perguruan tinggi yang memberikan keuntungan secara ekonomi. Sebab sistem pendidikan yang dianggap terlalu menekankan kompetensi pedagogik tak akan banyak berguna dalam industri. Di sisi lain, rekrutmen guru juga sangat terbatas yang menjadikan banyak lulusan IKIP menjadi pengangguran terdidik, yang tentunya malah membebankan negara.
Perguruan tinggi model IKIP jelas tidak masuk mekanisme pasar yang mempersyaratkan kebertahanan perguruan tinggi terhadap sejauh mana ia mampu menghasilkan keuntungan ekonomi (Giroux, 2004: 255). Sehingga IKIP butuh diubah atau bahkan ditutup.
Kedua, selain pinjaman sebesar 100 juta Dollar[vi] untuk mendorong konversi IKIP menjadi universitas, Bank Dunia juga turut merumuskan formula ideal kebutuhan guru nasional. Formulasi ini sendiri disebabkan oleh kenyataan bahwa selama ini sistem rekrutmen guru di Indonesia terjadi secara serampangan yang menyebabkan overload guru di sekolah.
Overload guru di sekolah ini yang kemudian membuat anggaran pendidikan negara menjadi bengkak. Pemerintah harus menanggung lebih dari 30 persen untuk gaji guru di sekolah-sekolah yang berlebihan dibanding yang tidak (World Bank, 1998: 129). Untuk lebih mengefisienkan penggunaan jasa guru di sekolah, Bank Dunia malah menyarankan agar guru mampu mengajar lebih dari satu mata pelajaran.
Relaxing the restriction that teachers teach only one subject would result in a reduction of 10 percent in the number of teacher required to deliver the curriculum. Training teachers in other combinations of subject specialities would give rise to different savings (World Bank, 1998: 133-4).
Formulasi ini yang kemudian dijadikan acuan pemerintah untuk menentukan kebutuhan guru yang ketika itu dijadikan alasan mengapa IKIP harus dikonversi menjadi univeritas. Sedangkan untuk kondisi guru yang berlebihan tersebut, atau untuk rekrutmen guru nantinya bila dibutuhkan, Bank Dunia menyatakan bahwa sebaiknya guru seperti ini dijadikan guru kontrak karena tak akan membebani anggaran negara (World Bank, 1998: 133).
Untuk menyukseskan anjuran Bank Dunia, IKIP butuh direstrukturisasi dengan bentuk baru sebagai univeritas. Restrukturisasi terhadap lembaga pendidikan guru sebenarnya juga terjadi di negara-negara maju seperti Amerika, Kanada, Australia dan Inggris. Yaitu dengan mengatur kualitas guru melalui regulasi dan kontrol yang lebih ketat terhadap pendidikan guru pra-jabatan (Maguire, 2010:60).
Regulasi dan kontrol yang ketat terhadap LPTK dilakukan dalam upaya memastikan bahwa calon-calon guru ini memenuhi syarat-syarat yang mendukung konfigurasi kapitalisme. Sehingga ketika mengajar, praktik-praktik pendidikan yang dilakukan lulusan LPTK ini terarah untuk melegitimasi status quo. Singkatnya guru menjadi sekadar teknisi terlatih untuk menyampaikan kurikulum negara di sekolah.
Konsekuensinya adalah pendidikan guru di LPTK diarahkan kepada metode pengajaran ketimbang belajar itu sendiri; praktik-praktik tanpa landasan berpikir yang jelas; lebih menghargai keterampilan daripada nilai-nilai pendidikan itu sendiri (Maguire, 2010: 61). Kemampuan teknis ini diarahkan untuk menyukseskan indikator-indikator kualitas pendidikan di sekolah misalnya melalui metode pembelajaran, manajemen sikap, dan tentunya sesuai dengan rezim test.
Di sisi lain penekanan terhadap kemampuan teknikal ini sendiri mengafirmasi mekanisme pasar tenaga kerja melalui model yang fleksibel dengan indikator adanya kontrak individu, negosiasi gaji, termasuk menggunakan guru yang tak berkualifikasi atau asisten mengajar (guru kontrak) (Maguire, 2010: 61).
Micahel Apple (2000) menyebut apa yang terjadi di dalam LPTK ini sebagai sebuah upaya Deskilling Teacher. Dimana guru tak lagi diposisikan sebagai agen pendidikan, melainkan sekadar operator kurikulum. Sebelas dua belas dengan buruh pabrik yang menjalankan rutinitas kerjanya dengan kontrol yang kuat.
Rather than moving in the direction of increased autonomy, in all too many instances the daily lives of teachers in classrooms in many nations are becoming ever more controlled, ever more subject to administrative logics that seek to thigten the reins on the processes of teaching and curriculum. Teacher development, cooperation, and ‘empowerment’ may be the talk, but centralization, standardization, and rationalization may be the strongest tendencies, even with the increasing media focus on privatization, marketization, and decentralization (Apple, 2000:114).
Ada dua konsekuensi atas bergesernya posisi guru menjadi buruh semata menurut Apple. Pertama adalah apa yang disebut Apple sebagai separation of conception from execution. Yakni upaya pemisahan antara kerja-kerja konseptual dan teknikal. Ketika kurikulum disusun oleh para ahli yang jauh dari lapangan sekolah misalnya, guru-guru hanya bertindak sebagai pelaksana teknis tanpa berkontribusi menyusunnya.
The first is what we shall call the separation of conception from execution. When complicated jobs are broken down into atomistic elements, the person doing the job loses control over her on his labor since someone outside immediate situation now has greater control over both planning and what is actually go on (Apple, 2000:116).
Kenyataan ini yang kemudian menyebabkan bagaimana guru-guru di sekolah juga menjadi sangat memiliki ketergantungan terhadap pengetahuan-pengetahuan yang disediakan pemerintah. Sehingga turut menumpulkan improvisasi aktif yang seharusnya dilakukan guru di sekolah.
Yang kedua adalah akibat dari pemisahan ihwal konseptual dan teknikal, pada akhirnya memunculkan sebuah upaya deskilling. Upaya ini pun tak hadir serta merta, deskilling hadir atas niat menghadirkan kontrol yang lebih ketat atas kerja-kerja para buruh. Sehingga ukuran keberhasilan-keberhasilan yang ada adalah sejauh mana buruh mampu melaksanakan tugas-tugasnya yang telah dipecah-pecah ini.
The second consequence is related, but adds a further debilitating characteristic. This is known as deskilling. As employees lose control over their own labor the skill that they have developed over the years atrophy. They are slowly lost thereby making it easier for management to control even more of one's job because the skills of planning and controlling it yourself are no longer available (Apple, 2000:116).
Dalam konteks guru, keberhasilan-keberhasilannya adalah dengan sejauh mana ia mampu mengadopsi  kurikulum yang ada dan kemudian mengaplikasikannya di sekolah. Pendidikan yang berjalan seperti ini jelas berjalan tanpa dialektika. Dan kita tentunya sulit mengharapkan adanya perubahan yang signifikan dari guru-guru yang seperti ini.
SEBUAH CATATAN KECIL
Pada Bagian ini penulis akan mengelaborasi penjelasan-penjelasan sebelumnya dengan konteks kekinian. Pertama, kita akan melacak konstruksi guru serta perangkat-perangkat yang membentukanya melalui penerbitan Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD).
UUGD hadir sebagai reaksi atas pengalaman puluhan tahun terhadap kinerja guru yang buruk. Beleid tersebut berisi terutama soal peningkatan kualifikasi akademik dan pegagodik bagi tenaga kependidikan di sekolah maupun universitas. Disebut pula soal peningkatan status guru sebagai profesi sehingga perlu pendapatan yang layak.
Perlu pula dicatat, UUGD adalah peraturan pertama yang membuat separasi antara guru dan dosen secara yuridis. Salah satu substansi utamanya adalah hak dan kewajiban untuk melaksanakan penelitian. Beleid ini menyatakan bahwa guru tak perlu melakukan penelitian, sebab tugas utama guru adalah pelaksana rangkaian kegiatan belajar mengajar di dalam kelas, sedangkan kerangkanya telah disusun pemerintah dengan ketat.
Ada tiga poin penting dalam upaya peningkatan guru dalam Beleid tersebut. Yaitu Guru harus memiliki kualifikasi S1/D4 dan bersertifikat pendidik; pendidikan (profesi) guru yang semula terintegrasi (konkuren) dikembangkan menjadi berlapis (konsekutif)[vii]; pemerintah menetapkan Program Sertifikasi Guru.
Ketiga poin ini kemudian dirumus secara teknis operasional melalui program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Ada dua jenis PPG yang dilaksanakan. PPG Dalam Jabatan untuk meningkatkan kualitas guru yang sudah mengajar. Dan PPG Pra-Jabatan untuk mengontrol kualitas calon guru sebelum resmi menjadi guru.
PPG Dalam Jabatan terwujud dalam Program Sertifikasi Guru yang berlangsung sejak 2005. Program ini dilakukan dengan memastikan minimum kualifikasi S1/D4 telah terpenuhi. Jika belum, guru harus berkuliah kembali. Ditambahkan pula upaya-upaya peningkatan kompetensi pedagogik berupa pelatihan satu minggu oleh Dinas terkait. Dan pada fase akhir akan diadakan uji sertifikasi yang diselenggarakan LPTK yang dipilih dari Kemdikbud.

Sumber: Bintoro (2011)
Dari gambar di atas kita dapat melihat bahwa kurikulum yang disediakan pada PPG Dalam Jabatan sangat menitikberatkan instrumen pembelajaran (Workshop C). Hal ini sekaligus mengafirmasi penjelasan sebelumnya bahwa pendidikan guru kini lebih mementingkan metode pengajaran dibanding belajar itu sendiri.
Hal ini semakin diperparah dengan adanya kongkalingkong penyelenggara uji sertifikasi dengan guru.[viii] Sehingga menjadi tak aneh, meski hampir 10 tahun dilaksanakan, Program Sertifikasi Guru tak memperlihatkan kualitas guru yang meningkat.
Menurut surakhmad (2005) Program Sertifikasi Guru dengan formula-fomulanya jelas tak dapat membantu peningkatan kualitas guru, satu-satunya hal yang dibantu adalah birokrasi pendidikan. Sebab melalui Program Sertifikasi Guru-sebagai alat, birokrasi mampu mengevaluasi kualitas guru secara tertulis. Sekaligus jadi instrumen kelayakan guru guna mendapat tunjangan berlebih.
Di beberapa negara yang menerapkan sistem konsekutif sertifikasi ini sebenarnya sekadar legitimasi untuk menjadi guru. bukan sebagai alat ukur kualitas guru. dan tanpa reposisi guru untuk lebih memberdayakan dirinya sendiri, sertifikasi jelas sebuah ilusi untuk meninigkatkan kualitas guru.
Sayangnya, program sertifikasi ini nampaknya masih akan terus dilakukan dalam beberapa tahun ke depan sehingga sangat potensial dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi-JK Hal ini seturut dengan anjuran Bank Dunia yang sekaligus membuktikan bahwa Program Sertifikasi Guru sebenarnya sekadar ilusi peningkatan kualitas guru:
·         Memanfaatkan Proses Sertifikasi untuk mengidentifikasi guru yang efektif dan kompeten, dan menyisakan yang tidak kompeten. Saat ini dari semua guru yang mengikuti proses sertifikasi, hampir 100 persen lulus. Sekiranya standar yang lebih tinggi diterapkan, sertifikasi guru akan mampu menjamin kualitas guru yang tinggi, dan juga mengurangi ongkos yang terkait dengan tunjangan profesional guru
·         Merevisi instrumen-instrumen sertifikasi. Mekanisme portofolio tidaklah cukup untuk mengidentifikasi guru-guru yang tidak efektif dan kompeten; mekanisme tambahan, seperti tes kompetensi mata pelajaran yang dilaksanakan secara imparsial, juga dibutuhkan
·         Re-sertifikasi periodik dibutuhkan. Sertifikasi guru tidak selayaknya menjadi proses satu kali saja; guru-guru yang telah disertifikasi perlu disertifikasi ulang secara berkala, atau diwajibkan menunjukan kinerja yang baik sebagai syarat sertifikasinya tetap berlaku (World Bank, 2011: 8)
Berikutnya, kita akan membahas PPG Pra-Jabatan. PPG Pra-Jabatan dilakukan dengan melaksanakan kuliah selama 2 hingga 4 semester bagi sarjana yang berminat menjadi guru. hal ini didasarkan dari kenyataan bahwa guru-guru lulusan LPTK masih dirasa tak berkualitas, dan oleh karenanya sistem pendidikan IKIP yang tidak bermutu. Sehingga dibutuhkan sebuah program lagi untuk menyaringnya.
PPG Pra-Jabatan bisa jadi sebuah program yang tidak kontekstual.[ix] Sebab kita masih memiliki LPTK utama (eks IKIP) yang meskipun sudah berperan ganda-sebagai universitas-ia masih punya tugas memproduksi guru. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dari 342 LPTK yang ada, 338 diantaranya merupakan LPTK swasta yang tidak terkontrol mutunya oleh Pemerintah. Sedangkan LPTK utama juga mengalami ambivalensi setelah berkonversi menjadi sebab Ilmu Pendidikannya berkurang dan ilmu murninya tak mampu dikuasai dengan baik.[x]
Namun PPG Pra-Jabatan tetap menjadi sebuah kemubaziran, yang harus dilakukan bukanlah sebuah program ekstensi, melainkan sebuah reposisi dan pembenahan dari LPTK itu sendiri. LPTK harus dijadikan center of excelent dalam memproduksi guru. LPTK harus merangkai keterkaitan antara teori pendidikan dan praktik-peaktik pendidikan
Pertama, dalam tataran akar rumput LPTK harus menjadikan sekolah sebagai diskursus praktik pendidikan sehingga ia harus memiliki konektivitas langsung dengan sekolah. Ia bisa melakukan ujicoba teori-teori pendidikan di sekolah langsung sekaligus menjadi evaluator dalam praktik-praktik pendidikan yang berlangsung.
Kedua, di  tingkat pembuat kebijaksanaan pendidikan, LPTK jelas harus berpartisipasi aktif. Sebab selain sebagai sirkuit produksi guru, LPTK harus jadi medium antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan. Hal ini dilakukan demi adanya ketersambungan dua arah, agar kebijaksanaan tersebut mampu mengakomodir kebutuhan dari bawah serta mengontrol implementasinya.
Ketiga, LPTK harus turut aktif dalam organisasi profesi guru. Selain berguna bagi internal LPTK dalam menyempurnakan mekanisme-mekanisme sistem produksi guru miliknya. Hal ini juga berguna untuk secara konsisten mengonsolidasikan kekuatan sekaligus posisi guru dalam medan pendidikan.
Hal-hal tersebut baru akan terjadi bila LPTK berhasil diperkuat atau memperkuat dirinya sendiri. Karena hampir tidak mungkin mengharapkan guru berkualitas lahir dari LPTK yang begini-begini aja. Sulit mengharap guru menjadi messias ketika masih banyak guru Bahasa Indonesia yang tak kenal Pram, sebagaimana guru Seni yang hanya memaknai Woodstok sekadar festival ugal-ugalan.
Anggar Septiadi, Mahasiswa Tingkat Akhir Jurusan Sosiologi UNJ
Kurnia Yunita Rahayu, Mahasiswa Tingkat Akhir Jurusan Sejarah UNJ.

Referensi
Dedi Supriadi (editor). Guru di Indonesia: Pendidikan, Pelatihan, dan Perjuangannya sejak Zaman Kolonial hingga era Reformasi. (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2003)
Henry A. Giroux, dan Susan Giroux. Take Back Higher Education. (New York: Palgrave Macmillian, 2004)
Henry A. Giroux. Border Crossing: Cultural Workers and The Politics of Education. (New York: Routledge, 2005)
Meg Maguire. Towards Sociology of Global Teacher dalam Micahel W. Apple (editor) The Routledge International Handbook of The Sociology of Education. (New York: Routledge, 2010)
Michael Apple. Official Knowledge: Democratic Education in conservative age (New York: Routledge, 2000)
Mochtar Buchori. Evolusi Pendidikan di Indonesia, dari Kweekschool Sampai Ke IKIP: 1852-1998. (Yogyakarta: Insist Press, 2007).
Rudini Sirait, dkk. Dari Isola ke Bumi Siliwangi: Menyusuri Jejak-Jejak PTPG, FKIP Unpad, IKIP Bandung hingga Universitas Negeri Bandung. (Depok: Komodo Books, 2011)
S. Nasution. Sejarah Pendidikan Indonesia. (Jakarta: Bumi Aksara, 2008)
Terry Eagleton. The Death of Universities (2010) diakses dari http://www.theguardian. com/commentisfree/2010/dec/17/death-universities-malaise-tuition-fees diakses pada 4 Januari 2015 Pukul 23.08
Totok Bintoro. Kebijakan Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) dan Kaitannya dengan Peningkatan Keprofesian Pendidik Berkelanjutan (Presentasi: 2011). Diunduh dari https://www.scribd.com/doc/ 70141232/Dr-Totok-Bintoro  pada 18 Desember 2014 pukul 22.35.
World Bank. Higher Education: The Lessons of Experience (Washington: World Bank, 1994)
_______________. Education in Indonesia from Crisis to Recovery. (Washington: World Bank, 1998)
_______________. Mentransformasikan Tenaga Pendidikan Indonesia Volume II. (Jakarta: World Bank, 2011)
Winarno Surakhmad. Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi. (Jakarta: Kompas, 2009).
Majalah DIDAKTIKA Edisi 38, Tahun 2009.
Harian Kompas, 4 Januari 1996
Harian Suara Karya, 4 Januari 1996




[i] Hal ini juga yang nampaknya menjadi landasan dari beberapa literatur mengenai pendidikan guru sebab Kweekschool memang ditujukan untuk mengajar di sekolah rendah pribumi.
[ii] Perlu pula dicatat bahwa perdebatan kompetensi guru ini pula yang jadi salah satu alasan terhadap konversi IKIP menjadi universitas. sebuah alasan yang masih digunakan hingga 70 tahun lebih.
[iii] Untuk melihat perkembangan pendidikan guru lebih lanjut lihat Buchori (2004); dan Nasution (2008)
[iv] Hal ini menarik sebab Pemerintahan Jokowi-JK juga memiliki konteks serupa: Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah; dan Kementerian Riset dan Perguruan Tinggi
[v] Konstelasi Politik yang sengit kala itu sebenarnya jadi satu alasan Priyono mendirikan IPG. Meski bukan anggota resmi PKI, Priyono dikenal sangat dekat PKI bahkan ia sempat mendapat semacam Penghargaan Stalin dari Uni Soviet. (Sirait, dkk, 2011:88) pendirian IPG pun turut didukung oleh eksponen-eksponen PKI terutama PGRI Non Vak Sentral yang merupakan hasil infiltrasi PKI terhadap PB PGRI (Buchori, 2004: 81)
[vi] Harian Kompas, 4 Januari 1996; Harian Suara Karya, 4 Januari 1996
[vii] Hal ini jelas menjadi kritik terhadap konversi IKIP menjadi universitas, sebab salah satu proyeksi menjadi universitas adalah dengan menguatkan kompetensi keilmuan di Eks-IKIP karena IKIP di masa lampau terlalu menekankan kompetensi pedagogoik dan dianggap mengabaikan kompetensi keilmuan.
[ix] PPG Pra-Jabatan dapat diikuti Mahasiswa Jurusan Non-Kependidikan
[x] Hal ini kerap diucapkan oleh H.A.R. Tilaar lihat Majalah DIDAKTIKA Edisi 38, Tahun 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar