Oleh: Anggar Septiadi dan Kurnia Yunita Rahayu*
PENGANTAR
Bisa jadi tulisan ini telat muncul di tengah arus utama berita
Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang sedang didesak menuntaskan beragam kisruh
politik serta aplikasi kebijakan ekonominya. Meski demikian, hal-hal tersebut juga yang
mendorong tulisan ini dibuat.
Ada beberapa kenyataan sekaligus pertanyaan yang melandasi tulisan
ini. Khususnya soal mengapa porsi diskursus guru dalam mengurai persoalan pendidikan selalu menjadi pertimbangan kesekian
setelah problem kurikulum, dana pendidikan, partisipasi pendidikan, hingga
persoalan konfigurasi mata pelajaran apa yang seharusnya diberlakukan untuk
menjadikan seorang menjadi seorang Indonesia. Padahal semua hal tersebut (seharusnya)
dirangkai oleh seorang guru.
Sekalipun ada, ihwal guru akan selalu berkutat pada masalah
eksternalisasinya yakni kesejahteraan, kualitas, hingga moral guru. Terlebih
belakangan juga Menteri Anies Baswedan kerap bicara soal peningkatan
kualitas guru tapi sama sekali tak menyentuh bagaimana operasi sirkuit
produksinya: Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa ada urgensi untuk
membahas bagaimana posisi LPTK kekinian sebagai rahim lahirnya guru. Sehingga pada
tahap berikutnya kita bisa sedikit memprediksikan bagaimana program pendidikan
Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla mampu untuk dilaksanakan dengan meneropong konfigurasi
guru yang seperti apa yang coba diciptakan oleh Pemerintahan Jokowi-JK.
Tulisan ini sendiri akan dibagi ke beberapa bagian, pertama
menyoal bagaimana sejarah singkat lembaga pendidikan guru Indonesia. Bagian
kedua akan memperlihatkan bagaimana konstruksi guru yang diposisikan sebagai
buruh. Sedangkan bagian ketiga akan mengontekstualisasikan dua soal tersebut
dengan kebutuhan sekarang.
KRONIK PENDIDIKAN GURU DI INDONESIA
Pendidikan guru di Indonesia telah dimulai sejak 1852 yang ditandai dengan hadirnya Kweekschool . Kweekschool sendiri berarti: sekolah pembibitan atau sekolah persemaian yang bermakna sebagai arena untuk menyemai bibit-bibit guru (Buchori, 2007:12). Kweekschool dihadirkan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda dengan melihat kebutuhan pendidikan bagi pribumi yang cukup banyak sekaligus menjadi aplikasi kebijakan Politik Etis kala itu.
Pendidikan guru di Indonesia telah dimulai sejak 1852 yang ditandai dengan hadirnya Kweekschool . Kweekschool sendiri berarti: sekolah pembibitan atau sekolah persemaian yang bermakna sebagai arena untuk menyemai bibit-bibit guru (Buchori, 2007:12). Kweekschool dihadirkan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda dengan melihat kebutuhan pendidikan bagi pribumi yang cukup banyak sekaligus menjadi aplikasi kebijakan Politik Etis kala itu.
Sebab, selain Kweekschool sendiri, sudah ada beberapa sekolah guru
yang diperuntukan khusus menurut segregasi sosial yang kala itu ada. misalnya
ada Sekolah Guru untuk masyarakat Tionghoa, pun dengan Sekolah Guru untuk
masyarakat Eropa. Sedangkan Kweekschool sendiri ditujukan untuk sekolah
rendahan pribumi. [i]
Durasi studi Kweekschool ini
berlangsung selama empat tahun, dengan siswa yang berasal dari tamatan kelas
VII Hollandsch Inlandsche School
(HIS) ditambah satu tahun terakhir berupa praktik mengajar. Berikut adalah
kurikulum yang diterapkan dalam Kweekschhol
Mata Pelajaran Kweekschool
Mata
Pelajaran
|
Jumlah
Pertemuan Perminggu
|
||
Kelas 1
|
Kelas 2
|
Kelas 3
|
|
1.
Bahasa
Melayu
2.
Bahasa Sunda
3.
Menulis
4.
Berhitung
5.
Ilmu Ukur
6.
Ilmu Bumi
7.
Sejarah
8.
Ilmu Alam
9.
Menggambar
10.
Ilmu
Mendidik
11.
Bernyanyi
|
7
7
4
7
2
3
1
1
4
-
1
|
7
6
3
7
2
4
2
2
3
-
1
|
5
5
2
6
2
5
3
3
2
3
1
|
Jumlah
|
37
|
37
|
37
|
Sumber:
S. Nasution (2008)
Sedangkan untuk menyediakan guru pada sekolah pribumi dengan yang
lebih tinggi ada Hogere Kweekschool
(HKS) yang pada 1927 direorganisasi menjadi Hogere
inlandsche School (HIS). Penataan ulang yang menyebabakan HKS menjadi HIS
disebabkan karena ketika itu mulai muncul perdebatan kompetensi guru yang
seperti apa yang pantas untuk mengajar. (Buchori, 2004: 12-3)
Pada waktu itu, ada dua tolak ukur mengenai kepantasan seorang
guru yaitu bekwaamheid yang berarti
kemampuan dan kecakapan nyata yang diperlihatkan seorang guru dan bevoegdheid pernyataan resmi dari suatu
pihak yang berwenang mengenai kecakapan yang dimiliki seorang guru. Ijazah
sekolah guru merupakan suatu pernyataan bevoegdheid.
(Buchori, 2007: 14)
Satu perubahan yang jelas terlihat adalah HKS menjadikan Bahasa
Belanda sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran, sedangkan HIS memposisikan
Bahasa Belanda sebagai mata pelajaran.
Perubahan ini sendiri dilakukan sebab Bahasa Belanda yang
dijadikan sebagai bahasa pengantar terlalu menekankan bagaimana cara mengajar
alias kompetensi pedagogik dari seorang calon guru. Konteks ini dirasakan mengabaikan
kompetensi keilmuan yang dimiliki seorang calon guru. Sehingga dilakukan
perubahan sistem pendidikan pada HKS.[ii]
Perlu pula dicatat, bahwa kemunculan pendidikan guru kala itu
kerap dijadikan ajang aji mumpung bagi bagi golongan Priyayi yang mampu
mengenyam bangku Kweekschool. Para
priyayi ini menjadikan profesi guru sebagai batu loncatan untuk mendapatkan
posisi yang lebih tinggi di kantor-kantor Pemerintahan Kolonial Belanda yang
lebih terhormat.
Sebab para lulusan Kweekschool ini berhak menyandang gelar Manteri Guru, dan juga diperbolehkan membawa
simbol-simbol kehormatan ketika itu: payung, tikar, kotak sirih yang
masing-masing simbol itu dibawakan oleh seorang pembantu yang digaji oleh
pemerintah. Pada 1878 sendiri gaji guru yang berwenang mencapai 150 Gulden
(Nasution, 2008:40-1).
Untuk menyingkat pembahasan kiranya kita harus melompat agak jauh[iii] ketika
pendidikan guru mulai dilaksanakan dalam tingkat perguruan tinggi yang ditandai
dengan didirikannya Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) pada 1954.
Dinamika Pendidikan Guru di Tingkat Universitair
PTPG didirikan seiring dengan semangat Indonesia yang sedang giat
menyiapkan segala perangkat kehidupan bernegaranya, salah satunya pendidikan. Sedangkan
pendidikan guru yang kala itu hanya bersumber dari SGA maupun SGB dirasakan tak
memuaskan dan diproyeksikan tidak akan banyak memberikan kemajuan terhadap anak-anak
bangsa. Sehingga dibutuhkan pendidikan guru yang lebih mapan. Dan karena sebab
itu pula, pendidikan guru Indonesia semakin mulai memiliki dinamika pada
saat-saat tersebut
Ada tiga PTPG awal yang didirikan yaitu PTPG Bandung, PTPG Malang,
dan PTPG Batusangkar. Namun PTPG tak punya umur panjang. Sebab, pada 1957 terjadi
pemecahan struktural di tubuh Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebuayaan
(PP dan K) menjadi Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PDK) serta
Departemen Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan (PTIP).
Pemecahan ini juga disebabkan oleh mulai banyaknya perguruan
tinggi di Indonesia pada awal 1950-an. Misalnya pada 1954 didirikan Universitas
Airlangga; 1955 Universitas Andalas dan Universitas Hassanudin; 1956
Universitas Dipenogoro dan Universitas Padjajaran. Banyaknya kelahiran
universitas ini kemudian membutuhkan sebuah koordinasi yang lebih intens dan fokus
sehingga Departemen PTIP didirikan.
Dalam upaya merapikan struktur perguruan tinggi di Indonesia ini,
kemudian PTPG diintegrasikan kepada universitas-universitas Ibu Kota Provinsi
menjadi sebuah Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP). Hingga 1961 FKIP-FKIP
lain juga turut didirikan di universitas yang di kotanya tak memiliki PTPG. FKIP
ini cenderung berasal dari integrasi antara Fakultas Pedagogik/Psikologi dengan
Kursus B-I dan B-II yang. FKIP yang tidak berasal dari PTPG ini misalnya dicontohkan
oleh FKIP Universitas Gadjah Mada serta FKIP Universitas Indonesia. (Supriadi,
2003: 65)
Sama seperti pendahulunya, FKIP juga tak mampu bertahan lama. Mulanya
dengan dimunculkannya Institut Pendidikan Guru (IPG) oleh Menteri PDK Priyono. Priyono
memandang FKIP seharusnya berada dalam koordinasi Departemen PDK sebab lulusan
FKIP pada akhirnya akan menjadi guru yang di sekolah yang merupakan wewenang Departemen
PDK.[iv] Sehingga
persoalan produksi guru harusnya berada dalam jangkauan Departemen PDK (Buchori,
2004:82)
Akibat dikoordinir oleh Departemen PTIP, rekrutmen guru menjadi
tidak terkoordinir. Sebab banyak lulusan FKIP yang jutsru tak bekerja menjadi
guru. Belum lagi Priyono[v] juga
memandang kala itu FKIP tak mampu menyentuh kalangan grass root sebab mahasiswanya kebanyakan berasal dari kalangan elit.
(Sirait, dkk, 2011: 87) gaji guru yang kecil ketika itu turut pula menyebabkan mengapa
lulusan FKIP enggan menjadi guru.
Agar tak menjadi polemik berkepanjangan Presiden Soekarno langsung
turun tangun membenahinya. Keluar Surat Keputusan Presiden No. 1/1963 yang
menyatakan penggabungan IPG dengan FKIP menjadi Institut Keguruan Ilmu
Pendidikan (IKIP) dan berada di bawah pengawasan Departemen PTIP.
Bisa dibilang IKIP merupakan LPTK paling mapan di Indonesia,
selain soal umur kebetahanannya yang panjang IKIP nantinya juga akan menjadi pusat
dari produksi guru di Indonesia. Sebab, IKIP mulai berdiri pada 1963 ketika itu
masih ada sekolah-sekolah guru yang baru pada 1980-an semua sekolah guru
dintegrasikan ke dalam IKIP.
KOMODIFIKASI GURU
Pada bagian ini penulis akan menjelaskan pergeseran posisi guru dari
sebuah tenaga profesional dalam proses pendidikan menjadi sekadar buruh
teknikal. Dan dalam konteks tulisan ini, penulis akan mengaitkannya dengan
konteks produksi guru di LPTK. Maka dari itu kiranya penulis akan membuka bagian ini mengenai
bagaimana penetrasi kapitalisme terhadap perguruan tinggi.
Menjelang abad ke-20, telah
terjadi reformasi besar-besaran pada perguruan tinggi di berbagai belahan
dunia. Hal ini terjadi dengan asumsi perguruan tinggi tak punya
signifikansi atas sengitnya globalisasi kala itu.
Terlebih di negara-negara dunia ketiga, mayoritas peguruan tinggi terlalu menggantungkan dirinya terhadap subsidi
pemerintah yang menyebabkan beban anggaran negara sangat besar (World Bank,
1994: 60). Di sisi lain konteks seperti ini juga tak memberikan timbal balik
langsung secara ekonomi terhadap negara.
Oleh karenanya perguruan tinggi butuh reformasi sistem dengan
prinsip efisiensi dan konektivitas langsung terhadap kapitalisme. Untuk
meningkatkan efisiensi tersebut maka dibutuhkan separasi yang jelas antara dunia
akademik dan negara khususnya dalam hal finansial. Pemerintah diminta untuk
tidak terlalu ikut campur dalam ranah tersebut, untuk kemudian
membiarkannya berdinamika dengan mekanisme pasar (World Bank, 1994: 61).
Konteks ini yang kemudian mempersilakan kapitalisme untuk
berpentrasi secara langsung terhadap perguruan tinggi. Dan pada tingkat
selanjutnya membawa perguruan tinggi untuk beroperasi berdasar mekanisme pasar.
Perguruan tinggi kini berperan sekadar menjadi penyokong status
quo, tak lagi memiliki misi keadilan, tradisi,
imajinasi kesejahteraan manusia bahkan sebagai pencipta visi alternatif untuk
masa depan (Eagleton: 2010). Digantikan dengan logika-logika korporasi seperti
standardisasi, indikator tes yang tinggi, akuntabilitas dan privatisasi (Giroux,
2005: 210).
It also
aggresively attempts to break the power of unions, decouple income from
productivity, subordinate the needs of society to the market, reduce civic
education to job training, and render public service and amenities an
unconscionable luxury (Giroux, dan giroux, 2004: 249)
Dalam ranah LPTK, penetrasi kapitalisme jelas tergambar dalam
konteks konversi IKIP menjadi universitas yang dimulai pada 1999 yang pada
akhirnya turut mengubah peta produksi guru. Meskipun kondisi-kondisi seperti
minimnya minat masuk IKIP hingga terbatasnya ruang yang tersedia pada lulusan
IKIP turut mendorong konversi IKIP menjadi universitas. Namun, penulis
mengira bahwa konteks tersebut sebenarnya erat kaitannya dengan intervensi
ekonomi yang dilakukan oleh Washington Concensus.
Pertama, IKIP menjelang 1990-an jelas bukan sebuah perguruan
tinggi yang memberikan keuntungan secara ekonomi. Sebab sistem pendidikan yang
dianggap terlalu menekankan kompetensi pedagogik tak akan banyak berguna dalam
industri. Di sisi lain, rekrutmen guru juga sangat terbatas yang menjadikan
banyak lulusan IKIP menjadi pengangguran terdidik, yang tentunya malah membebankan
negara.
Perguruan tinggi model IKIP jelas tidak masuk mekanisme pasar yang
mempersyaratkan kebertahanan perguruan tinggi terhadap sejauh mana ia mampu
menghasilkan keuntungan ekonomi (Giroux, 2004: 255). Sehingga IKIP butuh diubah
atau bahkan ditutup.
Kedua, selain pinjaman sebesar 100 juta Dollar[vi] untuk
mendorong konversi IKIP menjadi universitas, Bank Dunia juga turut merumuskan
formula ideal kebutuhan guru nasional. Formulasi ini sendiri disebabkan oleh
kenyataan bahwa selama ini sistem rekrutmen guru di Indonesia terjadi secara
serampangan yang menyebabkan overload
guru di sekolah.
Overload guru di sekolah ini yang kemudian membuat anggaran pendidikan negara
menjadi bengkak. Pemerintah harus menanggung lebih dari 30 persen untuk gaji
guru di sekolah-sekolah yang berlebihan dibanding yang tidak (World Bank, 1998:
129). Untuk lebih mengefisienkan penggunaan jasa guru di sekolah, Bank Dunia
malah menyarankan agar guru mampu mengajar lebih dari satu mata pelajaran.
Relaxing the
restriction that teachers teach only one subject would result in a reduction of
10 percent in the number of teacher required to deliver the curriculum.
Training teachers in other combinations of subject specialities would give rise
to different savings (World Bank, 1998: 133-4).
Formulasi ini yang kemudian dijadikan acuan pemerintah untuk
menentukan kebutuhan guru yang ketika itu dijadikan alasan mengapa IKIP harus dikonversi
menjadi univeritas. Sedangkan untuk kondisi guru yang berlebihan tersebut, atau
untuk rekrutmen guru nantinya bila dibutuhkan, Bank Dunia menyatakan bahwa sebaiknya
guru seperti ini dijadikan guru kontrak karena tak akan membebani anggaran
negara (World Bank, 1998: 133).
Untuk menyukseskan anjuran Bank Dunia, IKIP butuh
direstrukturisasi dengan bentuk baru sebagai univeritas. Restrukturisasi terhadap
lembaga pendidikan guru sebenarnya juga terjadi di negara-negara maju seperti
Amerika, Kanada, Australia dan Inggris. Yaitu dengan mengatur
kualitas guru melalui regulasi dan kontrol yang lebih ketat terhadap pendidikan
guru pra-jabatan (Maguire, 2010:60).
Regulasi dan kontrol yang ketat terhadap LPTK dilakukan dalam
upaya memastikan bahwa calon-calon guru ini memenuhi syarat-syarat yang mendukung
konfigurasi kapitalisme. Sehingga ketika mengajar, praktik-praktik pendidikan
yang dilakukan lulusan LPTK ini terarah untuk melegitimasi status quo.
Singkatnya guru menjadi sekadar teknisi terlatih untuk menyampaikan kurikulum
negara di sekolah.
Konsekuensinya adalah pendidikan guru di LPTK diarahkan kepada metode
pengajaran ketimbang belajar itu sendiri; praktik-praktik tanpa landasan
berpikir yang jelas; lebih menghargai keterampilan
daripada nilai-nilai pendidikan itu sendiri (Maguire, 2010: 61). Kemampuan
teknis ini diarahkan untuk menyukseskan indikator-indikator kualitas pendidikan
di sekolah misalnya melalui metode pembelajaran, manajemen sikap, dan tentunya sesuai
dengan rezim test.
Di sisi lain penekanan terhadap kemampuan teknikal ini sendiri
mengafirmasi mekanisme pasar tenaga kerja melalui model yang fleksibel dengan
indikator adanya kontrak individu, negosiasi gaji, termasuk
menggunakan guru yang tak berkualifikasi atau asisten mengajar (guru kontrak)
(Maguire, 2010: 61).
Micahel Apple (2000) menyebut apa yang terjadi di dalam LPTK ini
sebagai sebuah upaya Deskilling Teacher.
Dimana guru tak lagi diposisikan sebagai agen pendidikan, melainkan sekadar
operator kurikulum. Sebelas dua belas dengan buruh pabrik yang menjalankan rutinitas
kerjanya dengan kontrol yang kuat.
Rather than
moving in the direction of increased autonomy, in all too many instances the
daily lives of teachers in classrooms in many nations are becoming ever more
controlled, ever more subject to administrative logics that seek to thigten the
reins on the processes of teaching and curriculum. Teacher development,
cooperation, and ‘empowerment’ may be the talk, but centralization,
standardization, and rationalization may be the strongest tendencies, even with
the increasing media focus on privatization, marketization, and
decentralization (Apple, 2000:114).
Ada dua konsekuensi atas bergesernya posisi guru menjadi buruh
semata menurut Apple. Pertama adalah apa yang disebut Apple sebagai separation of conception from execution.
Yakni upaya pemisahan antara kerja-kerja konseptual dan teknikal. Ketika
kurikulum disusun oleh para ahli yang jauh dari lapangan sekolah misalnya,
guru-guru hanya bertindak sebagai pelaksana teknis tanpa berkontribusi
menyusunnya.
The first is
what we shall call the separation of conception from execution. When
complicated jobs are broken down into atomistic elements, the person doing the
job loses control over her on his labor since someone outside immediate
situation now has greater control over both planning and what is actually go on
(Apple, 2000:116).
Kenyataan ini
yang kemudian menyebabkan bagaimana guru-guru di sekolah juga menjadi sangat memiliki
ketergantungan terhadap pengetahuan-pengetahuan yang disediakan pemerintah.
Sehingga turut menumpulkan improvisasi aktif yang seharusnya dilakukan guru di
sekolah.
Yang kedua adalah akibat dari pemisahan ihwal konseptual dan
teknikal, pada akhirnya memunculkan sebuah upaya deskilling. Upaya ini pun tak hadir serta
merta, deskilling hadir atas niat
menghadirkan kontrol yang lebih ketat atas kerja-kerja para buruh. Sehingga ukuran
keberhasilan-keberhasilan yang ada adalah sejauh mana buruh mampu melaksanakan
tugas-tugasnya yang telah dipecah-pecah ini.
The
second consequence is related, but adds a further debilitating characteristic. This is known
as deskilling. As employees lose control over their own labor the skill that they
have developed over the years atrophy. They are
slowly lost thereby making it easier for management to control even more of
one's job because the skills of planning and controlling it yourself are no
longer available (Apple, 2000:116).
Dalam konteks guru, keberhasilan-keberhasilannya adalah dengan
sejauh mana ia mampu mengadopsi
kurikulum yang ada dan kemudian mengaplikasikannya di sekolah. Pendidikan
yang berjalan seperti ini jelas berjalan tanpa dialektika. Dan kita tentunya
sulit mengharapkan adanya perubahan yang signifikan dari guru-guru yang seperti
ini.
SEBUAH CATATAN KECIL
Pada Bagian ini penulis akan mengelaborasi penjelasan-penjelasan
sebelumnya dengan konteks kekinian. Pertama, kita akan melacak konstruksi guru
serta perangkat-perangkat yang membentukanya melalui penerbitan Undang-undang
No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD).
UUGD hadir sebagai reaksi atas pengalaman puluhan tahun terhadap
kinerja guru yang buruk. Beleid tersebut berisi terutama soal peningkatan
kualifikasi akademik dan pegagodik bagi tenaga kependidikan di sekolah maupun
universitas. Disebut pula soal peningkatan status guru sebagai profesi sehingga
perlu pendapatan yang layak.
Perlu pula dicatat, UUGD adalah peraturan pertama yang membuat
separasi antara guru dan dosen secara yuridis. Salah satu substansi utamanya
adalah hak dan kewajiban untuk melaksanakan penelitian. Beleid ini menyatakan
bahwa guru tak perlu melakukan penelitian, sebab tugas utama guru adalah
pelaksana rangkaian kegiatan belajar mengajar di dalam kelas, sedangkan
kerangkanya telah disusun pemerintah dengan ketat.
Ada tiga poin penting dalam upaya peningkatan guru dalam Beleid
tersebut. Yaitu Guru harus memiliki kualifikasi S1/D4 dan bersertifikat
pendidik; pendidikan (profesi) guru yang semula terintegrasi (konkuren)
dikembangkan menjadi berlapis (konsekutif)[vii];
pemerintah menetapkan Program Sertifikasi Guru.
Ketiga poin ini kemudian dirumus secara teknis operasional melalui
program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Ada dua jenis PPG yang dilaksanakan. PPG
Dalam Jabatan untuk meningkatkan kualitas guru yang sudah mengajar. Dan PPG
Pra-Jabatan untuk mengontrol kualitas calon guru sebelum resmi menjadi guru.
Sumber: Bintoro (2011)
Dari gambar di atas kita dapat melihat bahwa kurikulum yang
disediakan pada PPG Dalam Jabatan sangat menitikberatkan instrumen pembelajaran
(Workshop C). Hal ini sekaligus mengafirmasi penjelasan sebelumnya bahwa
pendidikan guru kini lebih mementingkan metode pengajaran dibanding belajar itu
sendiri.
Hal ini semakin diperparah dengan adanya kongkalingkong
penyelenggara uji sertifikasi dengan guru.[viii]
Sehingga menjadi tak aneh, meski hampir 10 tahun dilaksanakan, Program
Sertifikasi Guru tak memperlihatkan kualitas guru yang meningkat.
Menurut surakhmad (2005) Program Sertifikasi Guru dengan
formula-fomulanya jelas tak dapat membantu peningkatan kualitas guru,
satu-satunya hal yang dibantu adalah birokrasi pendidikan. Sebab melalui
Program Sertifikasi Guru-sebagai alat, birokrasi mampu mengevaluasi kualitas
guru secara tertulis. Sekaligus jadi instrumen kelayakan guru guna mendapat
tunjangan berlebih.
Di beberapa negara yang menerapkan sistem konsekutif sertifikasi
ini sebenarnya sekadar legitimasi untuk menjadi guru. bukan sebagai alat ukur
kualitas guru. dan tanpa reposisi guru untuk lebih memberdayakan dirinya
sendiri, sertifikasi jelas sebuah ilusi untuk meninigkatkan kualitas guru.
Sayangnya, program sertifikasi ini nampaknya masih akan terus
dilakukan dalam beberapa tahun ke depan sehingga sangat potensial dilakukan
oleh Pemerintahan Jokowi-JK Hal ini seturut dengan anjuran Bank Dunia yang sekaligus
membuktikan bahwa Program Sertifikasi Guru sebenarnya sekadar ilusi peningkatan
kualitas guru:
·
Memanfaatkan Proses Sertifikasi
untuk mengidentifikasi guru yang efektif dan kompeten, dan menyisakan yang
tidak kompeten. Saat ini dari semua guru yang mengikuti proses sertifikasi,
hampir 100 persen lulus. Sekiranya standar yang lebih tinggi diterapkan,
sertifikasi guru akan mampu menjamin kualitas guru yang tinggi, dan juga
mengurangi ongkos yang terkait dengan tunjangan profesional guru
·
Merevisi instrumen-instrumen
sertifikasi. Mekanisme portofolio tidaklah cukup untuk mengidentifikasi
guru-guru yang tidak efektif dan kompeten; mekanisme tambahan, seperti tes
kompetensi mata pelajaran yang dilaksanakan secara imparsial, juga dibutuhkan
·
Re-sertifikasi periodik
dibutuhkan. Sertifikasi guru tidak selayaknya menjadi proses satu kali saja;
guru-guru yang telah disertifikasi perlu disertifikasi ulang secara berkala,
atau diwajibkan menunjukan kinerja yang baik sebagai syarat sertifikasinya
tetap berlaku (World Bank, 2011: 8)
Berikutnya, kita akan membahas PPG Pra-Jabatan. PPG Pra-Jabatan
dilakukan dengan melaksanakan kuliah selama 2 hingga 4 semester bagi sarjana
yang berminat menjadi guru. hal ini didasarkan dari kenyataan bahwa guru-guru
lulusan LPTK masih dirasa tak berkualitas, dan oleh karenanya sistem pendidikan
IKIP yang tidak bermutu. Sehingga dibutuhkan sebuah program lagi untuk
menyaringnya.
PPG Pra-Jabatan bisa jadi sebuah program yang tidak kontekstual.[ix] Sebab
kita masih memiliki LPTK utama (eks IKIP) yang meskipun sudah berperan
ganda-sebagai universitas-ia masih punya tugas memproduksi guru. Memang tidak
bisa dipungkiri bahwa dari 342 LPTK yang ada, 338 diantaranya merupakan LPTK
swasta yang tidak terkontrol mutunya oleh Pemerintah. Sedangkan LPTK utama juga
mengalami ambivalensi setelah berkonversi menjadi sebab Ilmu Pendidikannya
berkurang dan ilmu murninya tak mampu dikuasai dengan baik.[x]
Namun PPG Pra-Jabatan tetap menjadi sebuah kemubaziran, yang harus
dilakukan bukanlah sebuah program ekstensi, melainkan sebuah reposisi dan
pembenahan dari LPTK itu sendiri. LPTK harus dijadikan center of excelent dalam memproduksi guru. LPTK harus merangkai
keterkaitan antara teori pendidikan dan praktik-peaktik pendidikan
Pertama, dalam tataran akar rumput LPTK harus menjadikan sekolah
sebagai diskursus praktik pendidikan sehingga ia harus memiliki konektivitas
langsung dengan sekolah. Ia bisa melakukan ujicoba teori-teori pendidikan di
sekolah langsung sekaligus menjadi evaluator dalam praktik-praktik pendidikan
yang berlangsung.
Kedua, di tingkat pembuat
kebijaksanaan pendidikan, LPTK jelas harus berpartisipasi aktif. Sebab selain
sebagai sirkuit produksi guru, LPTK harus jadi medium antara pembuat kebijakan
dan pelaksana kebijakan. Hal ini dilakukan demi adanya ketersambungan dua arah,
agar kebijaksanaan tersebut mampu mengakomodir kebutuhan dari bawah serta
mengontrol implementasinya.
Ketiga, LPTK harus turut aktif dalam organisasi profesi guru.
Selain berguna bagi internal LPTK dalam menyempurnakan mekanisme-mekanisme
sistem produksi guru miliknya. Hal ini juga berguna untuk secara konsisten
mengonsolidasikan kekuatan sekaligus posisi guru dalam medan pendidikan.
Hal-hal tersebut baru akan terjadi bila LPTK berhasil diperkuat
atau memperkuat dirinya sendiri. Karena hampir tidak mungkin mengharapkan guru
berkualitas lahir dari LPTK yang begini-begini
aja. Sulit mengharap guru menjadi messias ketika masih banyak guru Bahasa
Indonesia yang tak kenal Pram, sebagaimana guru Seni yang hanya memaknai
Woodstok sekadar festival ugal-ugalan.
Anggar Septiadi, Mahasiswa Tingkat
Akhir Jurusan Sosiologi UNJ
Kurnia Yunita Rahayu, Mahasiswa Tingkat Akhir Jurusan Sejarah UNJ.
Referensi
Dedi Supriadi (editor). Guru
di Indonesia: Pendidikan, Pelatihan, dan Perjuangannya sejak Zaman Kolonial
hingga era Reformasi. (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2003)
Henry A. Giroux, dan Susan Giroux. Take Back Higher Education. (New York: Palgrave Macmillian, 2004)
Henry A. Giroux. Border
Crossing: Cultural Workers and The Politics of Education. (New York:
Routledge, 2005)
Meg Maguire. Towards
Sociology of Global Teacher dalam Micahel W. Apple (editor) The Routledge International Handbook of The
Sociology of Education. (New York: Routledge, 2010)
Michael Apple. Official
Knowledge: Democratic Education in conservative age (New York: Routledge,
2000)
Mochtar
Buchori. Evolusi Pendidikan di Indonesia,
dari Kweekschool Sampai Ke IKIP: 1852-1998. (Yogyakarta: Insist Press,
2007).
Rudini
Sirait, dkk. Dari Isola ke Bumi
Siliwangi: Menyusuri Jejak-Jejak PTPG, FKIP Unpad, IKIP Bandung hingga
Universitas Negeri Bandung. (Depok: Komodo Books, 2011)
S. Nasution. Sejarah
Pendidikan Indonesia. (Jakarta: Bumi Aksara, 2008)
Terry Eagleton. The Death of Universities (2010) diakses dari http://www.theguardian.
com/commentisfree/2010/dec/17/death-universities-malaise-tuition-fees
diakses pada 4 Januari 2015 Pukul 23.08
Totok Bintoro.
Kebijakan Program Pendidikan Profesi Guru
(PPG) dan Kaitannya dengan Peningkatan Keprofesian Pendidik Berkelanjutan (Presentasi:
2011). Diunduh dari https://www.scribd.com/doc/
70141232/Dr-Totok-Bintoro pada 18 Desember 2014 pukul 22.35.
World Bank. Higher
Education: The Lessons of Experience (Washington: World Bank, 1994)
_______________. Education
in Indonesia from Crisis to Recovery. (Washington: World Bank, 1998)
_______________. Mentransformasikan
Tenaga Pendidikan Indonesia Volume II. (Jakarta: World Bank, 2011)
Winarno Surakhmad. Pendidikan
Nasional: Strategi dan Tragedi. (Jakarta: Kompas, 2009).
http://www.antaranews.com/berita/351820/delapan-lptk-masuk-daftar-hitam diakses pada
6 Januari pukul 5.09
Majalah DIDAKTIKA Edisi 38, Tahun 2009.
Harian Kompas, 4 Januari
1996
Harian Suara Karya, 4
Januari 1996
[i]
Hal ini juga yang nampaknya menjadi landasan dari beberapa literatur mengenai
pendidikan guru sebab Kweekschool memang ditujukan untuk mengajar di sekolah
rendah pribumi.
[ii] Perlu pula
dicatat bahwa perdebatan kompetensi guru ini pula yang jadi salah satu alasan
terhadap konversi IKIP menjadi universitas. sebuah alasan yang masih digunakan
hingga 70 tahun lebih.
[iii] Untuk melihat
perkembangan pendidikan guru lebih lanjut lihat Buchori (2004); dan Nasution (2008)
[iv] Hal ini
menarik sebab Pemerintahan Jokowi-JK juga memiliki konteks serupa: Kementerian Kebudayaan
dan Pendidikan Dasar Menengah; dan Kementerian Riset dan Perguruan Tinggi
[v] Konstelasi
Politik yang sengit kala itu sebenarnya jadi satu alasan Priyono mendirikan
IPG. Meski bukan anggota resmi PKI, Priyono dikenal sangat dekat PKI bahkan ia
sempat mendapat semacam Penghargaan Stalin dari Uni Soviet. (Sirait, dkk,
2011:88) pendirian IPG pun turut didukung oleh eksponen-eksponen PKI terutama
PGRI Non Vak Sentral yang merupakan hasil infiltrasi PKI terhadap PB PGRI
(Buchori, 2004: 81)
[vi] Harian Kompas, 4 Januari 1996; Harian Suara Karya, 4 Januari 1996
[vii] Hal ini
jelas menjadi kritik terhadap konversi IKIP menjadi universitas, sebab salah
satu proyeksi menjadi universitas adalah dengan menguatkan kompetensi keilmuan
di Eks-IKIP karena IKIP di masa lampau terlalu menekankan kompetensi pedagogoik
dan dianggap mengabaikan kompetensi keilmuan.
[viii] http://www.antaranews.com/berita/351820/delapan-lptk-masuk-daftar-hitam diakses pada
6 Januari pukul 5.09
[ix] PPG
Pra-Jabatan dapat diikuti Mahasiswa Jurusan Non-Kependidikan
[x] Hal ini kerap
diucapkan oleh H.A.R. Tilaar lihat Majalah DIDAKTIKA
Edisi 38, Tahun 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar