Acara berkabung sudah selesai, Daya anak satu-satunya yang
telah resmi yatim piatu melipat karpet-karpet yang dipergunakan untuk kembali
ditaruh di loteng. Hari in merupakan 40 hari ia menjalani hidup seorang diri. Bapaknya,
satu-satunya orang yang menyayangi sekaligus paling dibenci untuk sisa hidupnya
harus pergi.
Ada sesak yang tak terkendali saat Daya memutar pandang di
loteng. Loteng itu sempat jadi sarana buat seorang bapak menjadikan anak
perempuannya sebagai kekasih keduanya, guna melakukan hal-hal yang tak kuasa ia
lakukan dengan istrinya. Meski di tempat itu pula, Daya harus bersumpah untuk
membenci bapaknya selama sisa hidup.
Tiga gulung karpet berketinggian 3 meter ia letakan di sudut
ruangan, loteng ini tak besar dengan bagian atap yang miring karena satu sudut
atap harus langsung bertemu dengan sudut lantai, tanpa ada sudut atap lainnya. Di
loteng seluruh perabot rumah yang tak berfaedah secara temporer dan enggan
dibuang disimpan.
Daya tak pernah ingat pada umur berapa loteng itu hadir. Tapi
ia tahu apa alasannya. Bapak Daya tak pernah suka ada hal terjadi tak sesuai
keinginannya, begitu juga dalam menata rumah. Ia tak suka misalnya melihat ada keranjang
bayi yang disimpan di ruang keluarga karena Daya yang sudah bisa tidur di kasur,
dan telah memiliki kamar mandiri. Mulanya keranjang itu disimpan di kamar Daya,
tapi bocah perempuan yang mulai bisa berjalan itu selalu mendorong keranjang tersebut
keluar kamar sebelum ia tidur. Daya seperti ingin menyebutkan jika ia telah
besar dan ia tak ingin ada simbol kekanak-kanakan di sekitarnya, atau setidaknya
di kamar miliknya, yang ia anggap adalah kuasanya.
Oleh karenanya bapak Daya memutuskan untuk membuat loteng.
***
Loteng baru selesai dibangun dua minggu lalu, keranjang milik
Daya jadi barang pertama yang menghuninya. Tapi bocah perempuan ini melihat hal
lain, mungkin karena hanya ada keranjang berkas miliknya saja yang ada sehingga
masih tersisa ruang kosong yang luas, ia kerap bermain di sana. ia membawa sedikit
demi sedikit bonekanya hingga tak ada yang tersisa hanya dalam waktu tiga
minggu atau satu bulan lebih seminggu setelah loteng selesai terbangun.
Ia membangun imajinasi di loteng dengan boneka miliknya. keranjang
bekas milknya juga tak lepas jadi properti imajinasi. Satu waktu saat keluarga Daya
telah sampai rumah sepulang rekreasi di kebun binatang, keranjang bekas jadi
kandang, sementara boneka singa hijau miliknya ia jadikan gorilla.
"Kakak singa kamu jadi gorilla ya, biar kamu hitam aku udah
ambil tinta punya bapak biar kamu bisa jadi gorilla,”
Pada bulan delapan minggu pertama lebih empat hari saat mereka
semua pulang dari planetarium seluruh boneka barbie yang ia namai mirip dengan
namanya dipatah-patahkan kepalanya agar bisa digantung di sela jeruji kayu
keranjang miliknya.
“Raya jadi matahari karena kamu yang paling tua, terus Kaya jadi
bumi aku udah ambil deterjen ibu biar kamu jadi bumi, Naya jadi Jupiter karena
kamu paling besar, kalau Gaya jadi Saturnus, nih aku kasih gelang aku biar ada cincinya.
Dan aku akan jadi astronot yang kelilingin kalian,”
Sebenarnya ada lima boneka barbie yang dimiliki Daya, tapi
ia hanya mengingat tiga planet serta satu bintang dari hasil kunjungannya
melihat proyeksi Bima Sakti. Sisanya, barbie bernama Saya dibiarkan berada di dalam
keranjang bayi bersama singa yang telah bermutasi jadi gorilla.
Tapi loteng Daya tak selamanya berwarna imajinasi, ia
sesekali pernah jadi seketat benteng yang menghalau pasukan mengerikan,
melindungi Daya dari sayuran, dari sepupunya Mara yang tak pernah menyediakan
wajah ramah padanya dan selalu merebut mainnnya.
Daya perah menolak dibawa ke kamar dari bentengnya, hingga
tidur menghabis malam di sana. Bapak Daya membiarkannya, ia justru senang bocah
perempuannya sejak kecil punye keteguhan, soal apa yang harus ia jalani serta dengan
berani dan lapang dada menerima konsekuensinya.
Sebelum kejadian ini, di ruang makan keluarga Daya sedang
makan malam dengan bermenu cap cay makanan laut. Daya tak pernah suka sayuran,
ia menyisihkan brokoli, sawi, kol, wortel dan semua sayuran. Lebih tepatnya ia
hanya mengambil udang, ayam, dan cumi dari mangkuk capcaynya ke piring nasi. Sisanya,
setelah seluruh sayuran ia pisah dengan apa yang ingin dia makan, kuah capcay dituang
ke piring nasinya dengan sendok sebagai penghalang agar tak satu sayuran pun
jatuh ke piring.
“Kenapa sayurannya ga dimakan?” tanya Bapak Daya.
“Bapak kan tahu aku gak suka sayuran!” muka Daya mengekerut
tapi masih mengunyah udang dan siap menyendok nasi dari piring.
“Makan Sayurannya!” Ibu Daya seperempat membentak
“Aku gamau!”
“Makan!” Ibu Daya menambah kekuatan bentaknya.
“Enggak!” Daya mulai terisak.
“Sayuran itu bagus buat anak kecil kaya Daya, jadi Daya harus
makan sayuran,” Jelas Bapak Daya.
“Aku bukan anak kecil, aku aja udah punya gorilla,”
“Makan!” Kali ini Ibu Daya penuh membentak.
Sembari terisak Daya undur diri dari ruang makan, naik ke ke
lantai dua rumah. Ibu Daya berniat mengejarnya namun dihalau oleh bapak Daya. Setelah
selesai makan malam dan membereskan ruang makan orangtua Daya bergerak ke kamar
Daya sekadar ingin mengintip apa yang sedang bocah perempuan mereka lakukan
ketika sedang kesal. Daya tidak berada di kamarnya.
Mereka kemudian bergegas menuju loteng, meski belum pernah
memasuki imajinasi warna yang dicipta di loteng daya, pasangan suami istri ini mengetahui
Daya kerap menghabis waktu di sana. Mereka melihat Daya belum tertidur, bocah
perempuan itu sedang menyentili kepala barbie yang tak keruan telah berubah
jadi planet.
Ibu Daya meminta Daya untuk kembali ke kamarnya, untuk
menunaikan tidur malam. Daya bersikeras menolak dan mengusir kedua orangtuanya
keluar dari pertahanan bentengnya. Ia mengancam akan mengeluarkan gorilla
peliharaanya untuk mengusir orangtuanya. Malam itu Daya ingin tidur di cincin Saturnus
katanya. Bapak Daya pergi, meninggalkan istri yang sedang membujuk dan bocah
perempuan keras kepala miliknya yang merajuk.
“Kamu apa-apan sih,” Ibu Daya melihat gelagat tak enak
setelah melihat suaminya kembali berpartisipasi dalam diplomasi ibu anak dalam
menentukan dimana bocah perempuannya harus tidur semalam ke depan.
“Daya, Saturnus itu dingin, apalagi kalau mau tidurnya di
cincin karena cincin Saturnus itu sebenarnya cuma bebatuan es. Jadi kamu harus
pakai selimut kalau mau tidur di sana, oke,” Bapak Daya berlagak bijak.
“Iya Makasih, bapak,”
“Aku ambil karpet juga ya buat alas, nanti kamu jadi Yeti kalau
kelamaan di es,” tambah bapak Daya.
“Besok aku ikut main ya Day di loteng kamu. Nanti lantai
lotengnya kita kasih karpet ya biar aku sama kamu bisa main bareng,” pinta
bapaknya.
“Gaboleh, ini tempat rahasia aku,”
“Tapi kan lotengnya cuma beda satu lantai sama kamar Bapak Ibu,
sama kamar Daya juga, terus masih ada di rumah kita, kan?”
“Pokoknya gaboleh, kalau bapak atau ibu maksa masuk aku
minta Gorilla aku buat makan Bapak,” Daya mengancam.
Bapak Daya menahan agar tak terkikik, sambil mencengkram tangan
istrinya yang sejak tadi sudah berancang-ancang bicara sekaligus mengisyaratkan
agar tak bicara satu patah kata pun.
Malam itu Benteng Daya resmi berdiri di tahun kedua bulan kesembilan
satu minggu lebih empat hari loteng itu hadir, diplomasi keluarga tersebut diakhiri
oleh dominasi bocah perempuannya.
“Yaudah nanti kalau sudah tidur jangan lupa diangkut
anaknya,” Ibu Daya bicara meninggalkan kemenangan Daya di bentengnya.
“Gausa biarin aja,”
“Kamu apa-apan sih,”
“Itu sebabnya kita beri nama bocah perempuan bengal itu
Daya,”
***
Sebelum Daya sempat menutup pintu untuk meninggalkan loteng satu
gulung karpet terjatuh, menimpa beberapa barang. Dibanding pertama kali, loteng
yang kini enggan dihitung Daya berapa lama telah berdiri sudah sangat sesak. Keranjang
bayi sebagai penghuni pertama berada di sudut ruangan, berada di tengah, menumpuk
di atas kursi dengan kaki yang patah satu serta di atasnya tertumpuk lampu meja
dan sebuah pajangan guna meletakkan pajangan. karpet yang terjatuh sendiri
bersama satu karpet lagi yang masih berdiri saat itu merupakan karpet yang
dahulu jadi alas di lantai loteng.
Karpet yang jatuh berada di sisi kiri tembok dari tumpukan
barang dimana keranjang bayi berada. Kejatuhan karpet itu menimpa sebuah meja
berlaci hingga jatuh. Daya sebenarnya tak berkenan untuk membereskannya, tapi
ia pikir mau tak mau ia akan tetap jadi orang yang bertugas membereskannya. Ia
kini sendiri.
Meja terjatuh menghamburkan beberapa buku yang yang
tersimpan. Kebanyakan memang catatan materi belajar bapak, meski terdapat
beberapa buku harian milik Bapak, milik Ibu Daya, juga berjilid milik Daya
sendiri.
Keluarga Daya memang suka menulis catatan harian, menulis
catatan harian, memang dibuat semacam kesengajaan oleh orangtua Daya. Sejak masih
berpacaran mereka sering bertukar buku catatan yang kini sedang berada di
tangan Daya. Dengan terkekeh Daya membaca satu persatu kisah cinta kedua orangtuanya.
Mulai dari hal sepele sekadar Ibu Daya yang mempersiapkan dua kaleng kopi untuk
kencan pertamanya.
“Aku ga tahu kenapa cuma bawa kopi aja, tapi kayanya
terlihat keren kalau kita kencan di taman sambil ngopi bareng menyaksikan senja
terbit,” tulis Ibu Daya.
Bapak Daya yang Ia kenal dahulu sebagai orang supel dan kemudian
menjadi seorang yang otoriter juga tak disangka ketika belum menikah dengan
ibunya adalah pria yang tak pedulian. Ada satu cerita dimana hubungan mereka
akan kandas sebab ibunya selalu mengeluh, tak pernah dipedulikan oleh Bapak Daya
muda. Ibu Daya tak kerauan merasakan perangai
Bapak Daya yang acuh terhadap dirinya, sekali Bapak Daya datang, ia akan datang
dengan segudang aturan yang wajib dipenuhi ibunya.
Tak ada lanjutan dari kisah ini, Daya juga bingung entah ia
harus bersyukur atau justru semakin marah kepada bapaknya karena jika mereka
berdua tak bisa menyelesaikan masalah yang ketika itu terjadi tentu dirinya tak
akan hadir.
Sebaliknya, “Jadi sebenarnya bapak memang punya perangai sok
mengatur,” gumam daya dalam hati.
Daya terus membaca buku catatan orangtuanya, mebalik halaman
menenggelamkan diri di kisah cinta kedua orangtuanya dan memulai menangis
ketika terselip sebuah kartu yang dicetak ayahnya. Kartu yang memulai
petualangan cinta seorang bapak dan anak perempuannya.
***
Hari itu dua minggu enam hari setelah resmi berdirinya
benteng Daya gencatan senjata telah dilakukan antara benteng Loteng Daya dengan
orangtuanya, Bapak Daya jadi orang asing pertama yang diterima oleh wilayah
kekuasaan Daya.
“Bapak, kenapa aku dikasih nama Daya?”
“Memang kenapa? Kok nanyanya begitu? Memang kamu gasuka?”
“Iya aku mau ganti nama ah jadi Eva,” tiga hari lalu di
rumah sepupunya Mara, bocah perempuan ini baru selesai menonton Wall-E. dan
yang ia maksud adalah tokoh Eve, robot feminim post-apocalypse yang kerap diucapkan
Eva oleh Wall-E.
Alih-alih menuruti permintaan gila anaknya sebab tak ada
urgensinya mengganti nama seorang bocah perempuan yang bahkan belum menstruasi,
Bapak Daya memberikan teka teki. Bapak Daya memberikan satu buah gambar pinokio
dengan sebuah tulisan berbahas inggris di atasnya.
“Kamu tau Pinokio, kan?”
“Iya yang hidungnya mancung kalau bohong, kan?”
“Panjang Day, ga ada yang bisa hidungnya mancung sampe lima
meter,”
“Hmmmm,” Daya menangguk antuasias.
“Nah kalau Pinokio bilang: Hidungku akan panjang sekarang. Apa
yang akan terjadi?”
“Ya bakal panjang pak hidungnya,”
“Kalau hidungnya panjang berarti dia tidak berbohong, dan
hidung pinokio hanya akan memanjang kalau dia berbohong,”
“Yaudah berarti hidungnya ga panjang,”
“Kalau hidungnya ga panjang berarti pinokio bohong? Dan kalau
dia bohong berarti hidungnya akan panjang dong,”
“haaaaah?” Daya habis pikir.
“Terus jawabannya apa?”
“Let’s say it’s a Super Duper Mega Epic Paradox Phinochio’s Case,”
Bapak Daya berlebihan.
Daya bersikeras bahwa harus ada jawaban atas permasalah
hidung pinokio. Ia kemudian memutuskan untuk kembali menghabiskan malam di
lotengnya. Keesokan harinya ketika Ibu Daya hendak membangunkannya untuk pergi
ke sekolah, Daya tak berada di kamarnya. Ia terlelap di loteng.
Ketika dibangunkan untuk bersiap-siap menuju sekolah ia
menolak. Ia tak bersemangat pergi ke sekolah. Katanya ia masih haru menemukan
solusi soal hidung pinokio. Ibu Daya jelas marah karena tabiat anak
perempuannya yang sulit sekali dikontrol dan semaunya. Suaminya juga tak luput
jadi sasaran amuknya. Hari itu Daya kembali memenangkan pertikaian di
lotengnya, ia mendesak orangtuanya agar ia tak perlu bersekolah hari itu, guna meyelidiki
distorsi hidung pinokio.
Semenjak kasus Pinokio, Bapak Daya jadi sering berikan
teka-teki buat Daya, hampir sebulan sekali ia beri teka-teki baru. Tentunya setelah
teka teki sebelumnya diketahui jawabannya oleh Daya, dan jelas hingga kelas 2 Sekolah
Menengah Pertama Daya Bapak Daya jadi orang yang memberikan teka-teki sekaligus
memberikan jawabannya. Daya tak pernah menjawab satu pun teka-teki bapaknya.
Jawaban itu pun didapat Daya lebih kurang tiga hingga empat
minggu dari waktu diberikan teka-tekinya, tentu Daya tak pernah sabar untuk
mengetahui jawabannya. Namun Bapak Daya selalu mengulur waktu agar bocah
perempuannya ini bisa menemukan jawabannya, atau paling tidak sekadar berusaha.
Di sela-sela gundah gulana Daya yang tak uknjung dapat
jawaban, ia bapak dan bapaknya kerap menghabis malam berdua di loteng, bapaknya
mulai mengajarkan bermain catur, bermain kartu, bahkan sekadar membuat pesawat
dari kertas warna-warni. Akan selalu ada aktivitas yang dilakukan oleh bapak
anak ini.
Jika Bapaknya sedang ada tugas ke luar kota sehingga tak
bisa menemani Daya melewati malam di loteng, ia akan mencoba memecahkan teka-teki
yang diberi bapak, bermain catur sendiri, bermain kartu soliter, memprediksi
kartu yang akan keluar dalam blackjack, atau sekadar menulis catatan hariannya.
Ia tak pernah kehabisan akal untuk menghabiskan waktu di loteng ciptaanya.
Satu waktu Daya pernah minta dibelikan untuk dibelikan
kembali barbie, bapak ibunya awalnya menolak karena ia sendiri tak pernah lagi bermain
barbie, pun karena seluruh barbie ciptaanya telah menjadi jadi planet-planet artifisialnya.
“Justru itu, aku sekarang sudah hafal nama-nama planet, dan
sekarang cuma kurang Uranus,” Daya baru mendapat pelajaran soal IPA soal Tata
Surya di sekolahnya.
“Yaudah diganti aja sekalian semuanya Day pake kelereng atau
bola kecil biar mirip planet,”
“Gak apa udah tanggung, bu. Tapi nanti aku juga minta beli tentara-tentaraan
kecil yah, pak,”
“Buat apa?”
“Buat jadi Komet sama Asteroid,”
***
Daya masih terisak melihat kartu lusuh bergambar Pinokio, ia
kini telah mengerti bahwa teka-teki yang dulu diajukan Bapaknya soal distorsi
hidung pinokio memang tak akan pernah punya jawaban. Daya semakin tak kuat
menahan diri, sebab mau tak mau ia harus merekoleksi memori yang ada di kepalanya.
Ia teka-teki yang ia jawab pertama kali karena tidak sengaja soal permen di
tiga toples dengan label yang berbeda.
“Day, kan ada tiga toples nih yang masing-masing ada
labelnya permen cokelat, perment mint, campuran permen cokelat dan mint. Tapi label
yang ada di toples ini palsu, jadi kalau labelnya tertulis permen cokelat
isinya bukan permen cokelat, entah dia permen mint atau campuran keduanya,
begitu juga dengan dua toples lainnya, ngerti?”
“Hmmmm” Daya optimis.
“Nah pertanyaanya, berapa banyak permen yang harus kamu
ambil buat menentukan keseluruhan isi toples tersebut?”
“Satu,”
“Wowwww, tumben anak bapak cerdas,langsung tahu jawabannya,”
“Lho memang jawabannya benar, pak? Aku cuma asal tebak,”
Daya ingat, setelahnya bapaknya tak karuan menahan tawa. Hal
itu yang kemudian membuat Daya makin tersedu. Ia kembali membalik buku catatan
bapak dan ibunya. Membaca kisah cinta mereka, namun lama kelamaan ia makin
merasa sedih dan memutuskan untuk menghentikan membacanya. Ia menutup buku
tebal itu dengan cukup keras, sekeras penyesalannya dan ketakterimaan sebab
harus ditinggalkan oleh Bapaknya dengan menyisakan satu masalah yang tak
selesai.
Sepucuk amplop jatuh dari buku yang baru saja ia tutup. Amplop
kecil namun tebal berwarna krem. Di bagian muka amplop tertulis: UNTUK DAYA, dan
di bagian kanan bawahnya tertulis: Mengapa Daya Drupadi?
6/3/2043
Buat Anak Perempuanku Tercinta
Daya Drupadi
Daya, jelas sebelumnya bapak harus minta
maaf sama kamu, tapi maaf bapak bukan karena bapak menolak kamu untuk tidak mau
melanjutkan kuliah yang kemudian buat hubungan kita tak lagi asyik seperti
dulu, yang membuat bapak dan kamu tak pernah lagi menghabis waktu berdua di
lotengmu, nak. Soal itu akan bapak bahas selanjutnya.
Bapak mau minta maaf karena masih ada satu
hal yang belum bapak selesaikan dengan kamu. Kamu ingat dulu saat kita sedang
intim berhubungan di lotengmu, kamu ingin mengganti namamu menjadi Eve yang
kamu sebut Eva? Dan mengapa kamu diberi nama Daya sampai hari ini bapak belum
pernah menjawabnya.
Mungkin kamu saat ini sudah tahu jawabannya
adalah karena bapak seorang guru Fisika? Mulanya memang sepesrti itu day. Memang
Daya dalam fisika adalah usaha persatuan waktu, dengan satuan Joule atau Watt.
Daya merepresentasikan paduan ikhtiar dalam memanfaatkan waktu. Itulah Daya. Sepertimu
yang selalu keras berkeinginan dan mampu menaklukan waktu dengan baik. Jadi tak
pernah ada yang salah dengan namamu, nak. Dan oleh karenanya kamu gaperlu jadi
robot post-apocalypse.
Tapi buat bapak, nama Daya lebih dari itu. Daya
adalah komponen yang ada di dalam nama kakek, dan buyut bapak. Kakek juga
menamai om kamu, dengan nama Daya. Jadi buat bapak, Daya semacam mewakili semangat
leluhurmu, nak. Kalau kamu mau tahu bapak bahkan iri dengan nama om kamu.
Tak pernah ada yang salah dengan nama Daya, Day.
Dengan nama itu pula kamu jadi punya kehendak menyulap kelima kembaran barbiemu
jadi planet, kan? Dan tentu kamu sudah sangat mewakili itu dalam keutuhanmu.
Dan sebenarnya bapak juga heran, kenapa kamu
tidak pernah menanyakan nama Drupadimu? Padahal nama itu juga yang mewujudkanmu
ke dunia. Agar lebih komperhensif, meski kamu belum sempat menanyakan bapak
akan beri jawabannya.
Drupadi merupakan nama yang ibumu beri. Ibumu
sejak dahulu terobsesi dengan Drupadi, istri dari pandawa. Kamu mungkin
sekelebat masih ingat sejak kamu bisa berkomunikasi secara manusiawi dengan
bapak, sebelum tidur bapak selalu menceritakan cerita mahabarata. Dan bapak
bersyukur kamu berada di pihak bapak yang menentang Drupadi sebagai seorang
perempuan yang kuat. Mungkin itu pula yang membuatmu lebih sering berseteru
dengan ibu meski tak sehebat perseteruan kita.
Dari Drupadi juga kita mulai menapak langkah
bersama untuk berada di satu pihak. Kita anggap Drupadi sebagai perempuan yang
selalu menyerah dengan kondisi, untuk kemudian mencela dunia sekuat tenaga. Bahkan
kita pernah diomelin ibu karena nyebut ibu sebagai Drupadi setelah ia harus bertengkar
dengan tante. We’re on same team, beauty.
Tapi ada satu hal yang perlu kamu ketahui, Day.
Ibu beri kamu nama Drupadi justru dengan harapan kamu bisa melampaui Drupadi,
atau bahkan ibumu. Kamu bisa jadi anak kami berdua yang bisa mengalahkan dunia
tentu dengan usaha maksimal serta mengatasi waktu.
Dan teryata harapan itu benar terjadi. Bapak
dan ibu memang telah memperhatikanmu sejak kecil. Tapi keputusanmu untuk tak
melanjutkan kuliah benar telah melampaui Drupadi. Alih-alih seperti Drupadi
yang hanya mengutuk perlakuan Kurawa setelah ia dipermalukan di meja judi, kamu
sejak awal sudah mempersiapkan masa depan dirimu sendiri dengan baik. Bahkan dengan
segala resiko yang telah kamu perhitungkan. Dibadning malu seperti Drupadi yang
menolak Karna hanya karena ia seorang anak sais kuda dalam lomba memanah bersama
Pandawa. Kamu bisa berani mengambil resiko tak membabi buta.
Meski jujur di lubuk hati bapak masih
tersimpan keenganan untuk menerima kenyataan bahwa kamu bahkan tak pernah jadi
sarjana, nak. Tapi kemudian bapak sadar, kebanggaan atas dirimu bisa
mengalahkan itu semuanya.
Dan pada akhirnya Drupadi memang pantas
jatuh dalam perjalanan moksanya bersama pandawa, dan karena itu pula kamu
sekarang masih kuat berdiri di atas pilihanmu, nak. Bapak dan ibu jelas bangga
sama kamu.
Dan yang terakhir, Day. Mungkin saat kamu
baca surat ini, bapak sudah tak ada di sampingmu. Bapak mungkin akan menyusul
ibu, entah ketika bertemu nanti ibu masih ingat atau tidak sama bapak. Dan mungkin
dunia kita akan jauh terpisah, meski kalau penasaran, kamu bisa pergunakan
rumus picisan bapak soal superfisial transportasi, :p
Tapi jika kamu masih mampu mempergunakan
akal sehatmu untuk tak mempergunakan rumus itu, kita bertiga masih akan hidup
di surat ini. Dan banggalah menjadi Daya Drupadi, nak sebab semesta pasti akan
memberkatimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar