Rabu, 24 Desember 2014

Komodifikasi Agama: Hutang Besar Agama terhadap Kapitalisme

Mengapa agama masih bertahan di tengah modernitas? 

Ada problem yang cukup kompleks ketika membahas agama dengan karakter irrasionalnya di tengah-tengah masyarakat yang menjunjung tinggi akal sehat. Untuk menjelaskannya ada tiga ihwal yang akan dibahas: konstruksi agama, modernitas, kebertahanan agama.

Pembahasan akan kita mulai dengan konstruksi agama dalam perspektif Berger. Dalam The Sacred Canopy (1967) secara sederhana agama didefinisikan Berger sebagai hasil dari dialektika masyarakat yang punya faedah sebagai ikhtiar menuju tatanan masyarakat yang lebih baik dan makin sempurna 

Agama dijadikan perpanjangtanganan atas eksplanasi-eksplanasi untuk apa-apa yang terjadi di luar dunia manusia, dan oleh karenanya di luar masyarakat. Hal ini terjadi karena manusia punya keterbatasan tertentu untuk berinteraksi dengan dunia. 

Sebab manusia tak sama dengan hewan maupun tumbuhan yang memiliki konfigurasi langsung dengan alam, manusia harus membentuk dirinya sedemikian mungkin agar cocok dengan konfigurasi alam. 

Dengan keterbatasan yang dimiliki itulah muncul konsepsi mengenai sebuah kekuatan yang Maha Dahsyat, yang dipercaya menjalankan semua operasi dunia. Sedangkan agama jadi jembatan untuk memahami yang Maha Dahsyat tadi.

Dari penjelasan di atas, satu kesimpulan singkat mampu diraih bahwa manusia jelas membutuhkan penjelasan-penjelasan mengenai apa-apa yang terjadi di luarnya. Penjelasan Berger tersebut mampu dipahami dalam konteks masyarakat tradisional dimana sarana IPTEK nya belum mampu mengakomodasi hal tersebut. 

Kesimpulan di muka juga akan membantu pertanyaan awal, namun sebelum itu kita akan beralih ke dalam kelahiran modernitas yang lebih kurangnya punya kontribusi besar membentuk masyarakat. 

Modernitas lahir dari sebuah kekecewan atas yang tradisional karena ketidakmampuannya menyelesaikan masalah saat itu. Hal ini disebabkan karena operasi tradisional yang di latar belakangi irrasionalitas melempem menghadapi realitas empiris manusia.

Karena yang tradisional tak mampu menghadapi menghadapi realitas empirik kemudian muncul pergesaran di dalam masyarakat. Apa-apa yang irrasionaln dibuang digantikan observasi empiris. Pun dengan dogma agama yang digusur oleh pendekatan saintifik.

Tujuh hari penciptaan bumi diganti dengan teori big bang yang menyatakan semesta merupakan perihal singularitas antara ledakan besar dengan penyusutan besar (big crunch) yang mensituasikan ledakan besar baru, begitu seterusnya. 

Sedangkan hal tersebut mampu tercipta tak serta merta karena dadu yang Maha Dahsyat, melainkan sebab adanya hukum-hukum alam seperti gravitasi, fisika kuantum, relativitas umum yang saling mempersyaratkan. Tak ada realitas di atas realitas. 

Mode operasi seperti inilah yang jadi landasan memahami semesta melalui modernitas. Oleh karenanya tak ada yang Maha Dahsyat sehingga agama harus dieliminasi. 

Lantas mengapa di dunia dimana Stephen Hawking telah merumus Theory of Everything hal yang irrasional seperti agama masih bertahan? Oleh karena itu selanjutnya kita akan meninggalkan domain fisika menuju ranah sosiologis. 

Namun, penjelasan kebertahanan agama ini tak langsung mengeneralisasi konteks-konteks lainnya. Penjelasan berikut hanya satu dari sekian banyak pandangan mengenai resistensi agama di pusaran modernitas. 

Selain kemajuan IPTEK, kehadiran modernitas oleh para sosiolog juga kerap ditandai oleh kemunculan kapitalisme. Konsep macam materialisme historis Marx maupun juggernaut Giddens cukup membuktikan argumen di atas. 

Kemunculan modernitas turut pula menyebabkan menciutnya aktivitas religi masyarakat. Misalnya bagaimana masyarakat memandang agama direpresentasikan otoritas agama hanya kumpulan omong kosong setelah Gallileo dan Copernicus membuktikan bahwa bumi itu bukat dan mengelilingi matahari. 

Hal tersebut muncul kian lama sebelum agama kembali dibangkitkan oleh kapitalisme. Namun, mengapa kapitalisme butuh memunculkan agama lagi 

Ada dua faktor yang melandasi: internal dan eksternal. Secara internal, selayaknya diramal Marx pada satu tingkat dimana kapitalisme berpenetrasi dengan dahsyat, di sisi lain menciptakan over produksi dan persaingan antar pemilik modal yang konon akan membuat kalitalisme hancur. 

Namun, Marx juga mengingatkan bahwa kapitalisme tak mudah goyah hanya karena dua sebab tadi, kapitalisme tak akan hancur bila alat produksi masih dimiliki secara privat. Oleh karenanya kapitalisme akan selalu melakukan revisi-revisi atas dirinya. 

Dengan hal di muka kita bisa masuk ke faktor eksternal mengapa agama dimunculkan kapitalisme. Dengan adanya overproduksi, kapitalisme harus mengubah nilai dan cara produksinya. Dan memilih agama sebagai komoditas barunya. 

Watak agama yang irrasional memudahkan kapitalisme untuk berpenetrasi mengomodifikasi agama, sehingga sulit melacaknya. Namun karena irrasionalitasnya pula, agama akan mencipta pasar yang potensial sebab manusia punya sejarah panjang terhadapnya. 

Namun bagaimana caranya kapitalisme mengomodifikasi agama yang tak memiliki nilai nilai fungsional yang rasional? Disini peran kapitalisme hadir untuk mereduksi agama ke dalam nilai simboliknya saja sehingga mampu di nikmati manusia secara konkret dan rasional. 

Hal ini sekaligus membawa warna baru atas pola produksi kapitalisme dimana komoditas dicipta tak berdasarkan nilai fungsional melainkan nilai simboliknya. 
Reduksi yang dicipta oleh kapitalisme pada agama kemudian membuat keimanan seorang bisa pula dinilai dari ihwal simbolisasinya. Lihat atribut agama jadi barang laris manis, atau seorang haji yang pasti diasosiasikan dengan keimanan yang paripurna padahal ia sekadar mampu membayar ongkos haji.

Saya kira kemudian perihal simbolik ini yang turut mensituasikan sengitnya identitas religi yang tersemat umat manusia. Yang kemudian turut pula menyebabkan ketegangan-ketegangan agama. Sebab nilai-nilai keimanan yang sangat abstrak kini mudah dievaluasi dari ihwal simboliknya oleh siapa-siapa saja. 

Namun karena reduksi ini pula lah agama mampu bertahan di tengah modernitas yang melindas apa yang ada di depannya, sebab agama mampu diwujud secara konkret dan luwes. Agama punya hutang besar terhadap kapitalisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar