Selasa, 12 Februari 2013

Rasa Muak


Tiba-tiba saja, ada yang mengetuk pintu kos. Padahal saat ini sudah jam dua dini hari. Ini jarang kudapati, karena kos miliku selain si Ruki sahabatku tidak pernah ada yang datang kemari. Kulihat dari jendela, ada sosok ber-jas merah dengan dasi garis-garis berwarna biru dongker dan ungu. Sepatunya sangat mengkilap hingga aku yakin mampu bercermin di sepatunya, celananya katun hitam halus tanpa ada satu lekukan lecek. Baru kusadari ia adalah Rudolf teman kelasku.

Aku heran bukan main dari mana ia tahu kosku? Ada urusan apa ia menemuiku? Aku tahu aku satu kelompok dalam presentasi mata kuliah teknik penyulingan besok pagi, tapi aku juga tahu persis selama tiga tahun kami kuliah, ia dan aku tidak pernah satu kali pun mengundang obrolan bersama.

Setelah mempersilakan ia masuk, ia mengutarakan niatnya: ia mau pinjam buku penyulingan air, sembari katakanlah sebuah kegiatan belajar bersama. Di kelas memang cuma aku yang memiliki buku ini, dan bukunya memang sangat berguna. Beberapa kali aku bisa mengetahui apa yang akan dibicarakan dosen sebelum ia memaparkan penjelasan. Bahkan, aku tak jarang membantah dosen berkat buku yang kubaca ini. Buku itu sendiri kudapat dari kakekku, seorang professor terkenal dalam bidang fisika kinetik. Buku ini memang untuk kalangan terbatas, tapi mengetahui minatku yang tinggi terhadap fisika, kakek memberikannya kepadaku.

Tapi aku masih tak habis pikir mengapa si Rudolf mau kemari, menemuiku. Sebelum aku berspekulasi macam-macam kuberi saja Rudolf buku itu. Hematku, paling tidak aku sudah mendistribusikan ilmu. Barangkali nanti kalo si Rudolf sukses, aku akan memiliki  kontribusi akan kesuksesannya.

Aku beri buku tersebut, Rudolf juga tak serta merta pergi dari kosku. Ia membacanya sedikit demi sedikit. Beberapa yang tidak ia mengerti ditanyakan kepadaku. Misalnya mengenai purifikasi kinetik ia benar tidak mengerti, buatnya dengan kemampuan otak yang cekak lebih baik menyediakan saringan dengan lubang kerapatan yang kecil untuk mendapatkan air yang lebih bersih. Kuberi penjelasan: penyaringan memang lumayan berguna untuk benda-benda padat, namun teknik ini kurang berpengaruh untuk memisahkan air dari zat cair ataupun gas yang berbahaya bagi tubuh. Kujelaskan lagi: salah satu cara sederhana adalah dengan mengocok air dengan konstan, malah lebih baik bila sirkulasinya berbentuk lingkaran, walaupun tetap dibutuhkan material khusus dan lebih kompleks untuk hasil yang maksimal. Mendengar banyak penjelasan ia yang juga sadar punya otak tak mumpuni mencatatnya. Kupikir, serius sekali Rudolf ini. Selesai mencatat ia pulang, dan berterima kasih.

“sekarang gua mengerti, paling tidak ini cukup untuk bekal besok. Terima kasih banget, bro, kalo bukan lu, gua pasti bakal megap-megap besok.”

“hahahaha, bisa aja lu.”

Ia pergi, kubukakan pintu. Ada yang aneh, setelah jarak 10 meter membelakangiku, tiba-tiba saja kulihat ia hanya bersarung, dan mengenakan singlet. Mungkin aku terlalu ngantuk.

Keesokan harinya, tibalah giliran kelompokku bersama Rudolf berpresentasi. Kali ini si Rudolf yang banyak mengambil tempat, baik dalam penyajian makalah maupun menjawab pertanyaan-pertanyaan. Walau aku sempat melihat, ia jelas membaca catatan yang kemarin ia buat di kamar kosku. Biarlah, buatku mungkin ini permulaan bagi si Rudolf. Setelah presentasi selesai, semua bertepuk tangan. Si dosen malah bilang untuk menambahkan tepuk tangan bagi Rudolf yang gilang gemilang dalam presentasi tersebut.

“hebat kamu Rudolf, dari mana kamu mengetahui itu semua?”

“ah, biasa aja pak, saya cuma baca buku ini.” Rudolf menunjukkan buku milikku. “ini buku sulit sekali saya dapat, pak. Ini buku untuk terbatas untuk kalangan peneliti saja, saya mendapatkannya dari seorang professor fisika kinetik terkenal. Awalnya saya cuma meminjam, namun professor itu melihat ketertarikan saya yang besar terhadap fisika, kemudian ia memberinya kepada saya.”

Bajingan ini Rudolf, tidak kusangka pertemuan semalam ternyata diniati busuk olehnya. Aku tidak mempersoalkan pengakuannya terhadap buku itu. Aku hanya merasa bangunan pengetahuanku dirusak olehnya, ini sebuah pencurian hak cipta terhadap pengetahuan, dalam presentasi barusan, ia bahkan menggunakan kalimatku dalam menjawab pertanyaan yang kemarin ia lontarkan kepadaku. Terlebih dia menggunakannya untuk memperoleh kesempatan-kesempatan politis yang menguntungkan dirinya.

Mendengar apa yang diucapkan Rudolf saya langsung pukul dia, “Bicara apa lu, ini buku gua, bangsat!” Aku yang menjadi sangat reaksioner, kemudian dapat hardikan oleh dosen yang kemudian memarahiku. Aku jelaskan mengenai kejadian semalam, namun aku yang terlanjur mempresentasikan kebrutalan di depan dosen tak sekalipun digubris. Si dosen malah mencaciku.

“Sudah, pak tidak apa-apa. Mungkin karena terlalu lama saya meminjami buku ini kepadanya, jadi ia menganggap ini buku miliknya.”

“oh, jadi kamu sempat meminjami buku ini kepadanya?”

“iya, pak, selama ini ia aktif di kelas, karena belajar kepada saya. ia bisa bergumen panjang lebar juga karena penjelasan saya yang ia catat. Bahkan awalnya ia mengambil buku ini tanpa sepengetahuan saya, setalah saya tahu maka saya pinjami saja dengan saya nasihati, bila ilmu memang tidak bisa dikuasai sendiri.”

Rudolf bajingan! Kupukul lagi ia. Ia terjatuh

“Berhenti! Kamu setelah jam pelajaran ini selesai silakan menemui saya di ruangan saya!.” kata si dosen kepadaku.

Dasar hipokrit bajingan, tahu ceritanya seperti ini jangankan kupinjami buku ini, kupersilakan masuk, memegang tuas pintuku saja akan kuhajar kau semalam. Rudolf kemudian bangun, sembari mengeraskan suaranya ia menyodor buku itu kepadaku, “bila ingin pinjam bilang saja, jangan mengaku-ngaku seperti itu.” Kemudian suaranya ia pelankan: baik dan buruk cuma interpretasi, hati-hatilah!

Anjing!


Aku tak lagi berniat memukul Rudolf,  karena memang waktu mata kuliah ini telah selesai, dan aku harus ke ruangan si dosen. Di ruangannya aku tetap menjelaskan apa yang seharusnya ada. Bahwa Rudolf lah yang meminjam buku itu dariku, bahwa sebenarnya ia yang telah mencuri bangunan pengetahuan yang kubangun. Tapi si dosen tidak mengubris sama sekali, buatnya aku adalah salah, dan Rudolf benar. Sebagai hukumannya aku nicaya tidak akan diberi nilai dalam mata kuliah ini.

Sebenarnya mengenai nilai aku tidak terlalu mengurusi amat, buatku ada hal yang lebih luhur ketimbang nilai di lembar KHS. Tapi kali ini aku mempermasalahkannya, memang bukan mengenai nilai. Aku merasa memiliki hak untuk mendapat nilai. Aku terus saja membuat argumentasi yang paling sahih dan logis. Tapi si dosen hirau, giliran si dosen yang bicara aku balas menghiraukannya. Sambil menghiraukanya, mata dan telingaku malah sengaja ku ajak berkeliling ruangan.

Di meja samping kudapati Yuri sedang berbincang dengan salah satu dosen lain. Dosen tua yang dungu, yang satu kelas dibenci mahasiswanya, bukan saja karena kedunguannya, melainkan terlalu banyak bicara hal-hal yang tidak penting di kelas. Lantas untuk apa si Yuri menemuinya, aku tahu betul, ia penggunjing nomor satu. Satu waktu beberapa teman-temanku, termasuk aku pernah hampir tiga jam mebicarakan dosen ini, dan Yuri lah yang membuka pergunjingan tersebut, serta paling aktif dalam mempergunjingkannya.

Brakkkkkk!

Dosen di depanku menghentak meja. Ia tahu aku tidak mendengarkanya. Lama-kelamaan dosen ini manjadi dungu juga karena lebih memercayai Rudolf, aku juga menjadi muak dengan dosen ini, setelah muak pertama hari ini kuberikan kepada Rudolf. Aku tetap pada pendirianku. Bahwa aku, tidak salah awalnya. Rudolf sendiri yang membuatku memukulnya. Untuk membuktikan kecerdasanku aku berani beradu pengetahuanku dengan si Rudolf, bahkan aku berani adu argumen dengan si dosen. Aku sebutkan niatku tersebut, tapi si dosen malah menyuruhku keluar ruangan, dan aku diberitahu bahwa aku baru bisa memasuki kelasnya dalam mata kuliah yang sama tahun depan. Bajingan!

Aku keluar ruangan yang tak lama disusul dengan Yuri, yang kemudian menertawaiku atas kejadian tadi di kelas. Tapi sebelum kubiarkan ia melanjutkan, aku ambil kesempatan bertanya mengapa ia menemui dosen tua dungu itu? Bukankah justru kau yang paling membencinya? Ia dengan enteng menjawab untuk mendapatkan nilai yang bagus. Bagaimana caranya? untuk apa juga? Kami mahasiswanya tahu persis ia benar tidak mumpuni dalam bidang yang diampu, lantas mengapa mengemis nilai kepada seorang yang jelas tidak menguasai? Lagi-lagi ini perihal sepele buat Yuri, dia dosennya secara administratif. Masa bodo dengan kualitas yang diajarkan, yang penting adalah kuantitas yang diperoleh darinya, toh ia juga tidak akan bertanggung jawab atas ilmu yang saya peroleh untuk apa.

Yuri, aku tak menyangka ia punya pandangan yang sangat rendah atas ilmu pengetahuan, kupikir ia adalah penggunjing yang intelektuil, nyatanya ia cuma sekadar pemabawa acara gosip! Ia melanjutkan bahwa cara termudah mendapat nilai dengan menyanjung-nyanjung si dosen, sesekali dibutuhkan korban katanya. Misalnya waktu Jurusan sedang dalam proses menuju akreditasi, ia menjelek-jelekkan ketua jurusan, bahwa ketua jurusan kami bukan orang yang sigap, dan mampu melobi banyak pihak kementerian untuk mendapat akreditasi yang baik. Inisiasi akreditasi memang datang dari si dosen dungu. Aku tahu ia bersemangat, supaya setelah akreditasi ia akan mampu mendapat banyak proyek penelitian yang menggiurkan. Mirisnya informasi ini kudapat dari Yuri, dan untuk menghadapi si dosen dungu ia menggunakannya dalam kemasan lain.

Aku pikir selama ini Yuri adalah orang yang mampu berpikir rasional, seorang yang mencintai ilmu dan pengetahuan, seorang orator ulung yang bersandar atas realitas yang logis. Tidak, ia tetap seorang orator ulung, tapi saking ulungnya hingga orasinya seperti kotoran babi! Setelah Rudolf, Yuri akan masuk daftar orang yang tak akan ku ajak bicara, semuanya brengsek.

Aku sebenarnya tahu, institusi pendidikan memang tidak berguna, apalagi di negara ini, tapi aku juga masih yakin paling tidak ada beberapa orang mau membuatnya beguna. Tapi Rudolf, dua dosen dungu, dan Yuri nampaknya mereka tak mencoba mencoba kampus ini berguna, mengapa mereka cuma menambah ketidakbergunannya. Ah, mereka semua memang tidak berguna. Dan memikirkan mereka memang sungguh kesia-siaan. Jadi buat apa aku buang waktu membicarakan mereka panjang-panjang. Cukup saja bahwa mereka tidak akan pernah merasa bahagia seperti yang aku rasakan, karena pikiran mereka terlalu picik, dan licik untuk hidup. Dan benar aku tidak ingin lagi membahasnya. Sebuah pembahasan akan hal yang tidak berguna juga merupakan sebuah kemubaziran, Lebih baik aku memikirkan bagaimana aku membangun pengetahuan-pengetahuan yang sedang kuhidupi. Memikirkan mereka hanya membuatku muak. Semakin muak. Aku tahu si dua dosen dungu itu tidak pernah punya kemampuan keilmuan yang lebih dibandingku. Dan entah mengapa kampus ini mau memperkerjakan dosen-dosen dungu macam itu. Oh, iya aku lupa, kampus ini juga memang tidak berguna, makanya mereka memperkejakan sesuatu yang tidak berguna juga. Lantas bagaimana nasibku? Ruki? Kami sama-sama sadar akan ketidakbergunaan ini dan mau membuatnya berguna, apa memang cuma aku dan dia yang paling tidak mau membuat kampus ini berfaedah? Apa perlu kuurung niat untuk membuat kampus ini berguna? Mengapa ada sesuatu yang tidak berguna? Apa mereka sedari awal sudah tidak berguna? Aku meyakini sebenarnya tidak demikian, tapi, apa yang ada benar membuatku muak akan ketidakbergunaannya  yang hakiki. Dan membicarakannya panjang lebar jelas tidak berguna dan memuakkan!

Gara-gara terlampau muak, kuliah selanjutnya aku lewati. Karena aku juga tak mau untuk lebih lanjut merasa muak. Karena kelas selanjutnya akan kuyakini hanya akan menambah kemuakanku. Ya, walaupun memang dua tingkat dibawahku, dan aku tidak perlu sebutkan mengapa aku mengulang mata kuliah ini, penyebabnya cuma satu: dosen dungu! Dan kedunguannya itu ia tularkan kepada mahasiswa-mahasiswa yang sebentar lagi juga akan menjadi dungu. Si dosen menganggap bahwa fisika adalah tetapan yang kekal, universal, serta adiluhung di antara semua ilmu yang pernah ada dan direncanakan ada. Fisika adalah puncak dari keberhasilan manusia. Dan saat fisika telah dikuasai, semua kesuksesan hidup akan digapai. Ia kemudian mencontohkan banyak fisikawan yang sukses, makmur, karena keberhasilannya menjadi fisikawan. Atau sekalipun tidak menjadi fisikawan, pasti perusahaan-perusahaan teknologi besar akan mengantri mendapatkanmu.

Mendengar penjelasannya saja sudah sangat memuakkan. Aku jelas tidak setuju. Buatku, logikanya tebalik, bukan alam yang harus menerapkan konsekuensi-konsekuensi logis atas kekalnya fisika, melainkan fisika cuma representasi alam. Manakala alam berubah, fisika yang akan patuh dengan alam. Aku bahkan berkata padanya seorang fisikawan tidak ubahnya seorang dukun modern, yang membedakan adalah fisika berangkat dari hal yang rasional, dan mampu ditangkap logis oleh manusia, sementara dukun-dukun konvensional hanya menggunakan keyakinan-keyakinan metafisik tanpa ada metode yang dapat dipertanggungjawabkan. Menanggapiku, si dosen malah menyuruhku keluar dari kampus ini dan bertapa di puncak merapi.

“kamu tidak bisa memandang remeh fisika, ia adalah kekuatan yang agung. Bahkan para fisikawan belakangan sedang meneliti partikel Tuhan, sebentar lagi perdebatan mengenai eksistensi Tuhan akan dijelaskan oleh Fisika. Fisika akan mengalahkan Tuhan konservatif yang ada di dalam kitab-kitab suci.” Si dosen yang dungu menjelaskannya padaku waktu itu.

“justru, bapak yang memandang remeh fisika, untuk apa mengagungkan fisika bila akumulasinya hanya menjadi sekrup pada korporasi-korporasi besar, yang menjadikan manusia sebagai instrumen dengan balasan uang yang banyak. dan menjadikan uang, kedudukan, bahkan nobel sebagai tujuan,” aku membela diri.

Salah satu mahasiswa mencoba membela si dosen, aku tahu tindakannya memang sekadar usaha menjilat. Ia bilang memang hal-hal yang aku sebut di atas memang kini adalah tujuan bagi ilmu manapun. Ia menyuruhku agar tidak munafik, katanya niat dia masuk berkuliah fisika memang untuk mendapatkan itu semua, dan hal itu disepakati oleh yang mahasiswa lainnya. Buat mereka aku terlalu mengawang-awang karena fisika sebenarnya adalah hal-hal teknis belaka.

“saya pernah baca satu esai Albert Einsten, dia sendiri sebenarnya mendambakan sebuah tatanan masyarakat yang sosialis, tanpa ada instrumen-instrumen yang mengasingkan diri seperti uang, tahta, jabatan. Sebuah tatanan social yang harmonis, dengan relasi yang sederhana,”

“kalo kamu ingin menjadi Einsten yang seperti itu, silakan keluar kelas saya! Karena disini saya mengajarkan Einsten sebagai penemu yang mampu menemukan rumusan, dan alat canggih.” Si dosen secara implisit mengusirku. “Siapa lagi yang mau jadi Einsten yang sosialis?”

“Tidak ada, pak!” satu kelas menjawab serempak, kecuali aku.

Keputusan untuk tidak masuk kelas selanjutnya adalah tepat, buatku.

Aku putuskan untuk berkeliling kampus saja. Kampus ini cukup luas, mungkin ada yang bisa kuajak untuk mejadi berguna. Walaupun demikian aku tidak tahu akan kemana, selama di kampus aku memang lebih banyak menghabiskan waktu di fakultas, sama sekali tidak pernah peduli dengan hal-hal yang terjadi di luar fakultasku. Sebanarnya aku takut, takut untuk mengetahuinya, takut untuk mendapatkan lebih banyak rasa takut. Terlebih atas rasa muak.

Satu waktu hal lucu pernah kudapati ketika banyak rombongan mahasiswa menuntut perdamaian di Palestina. Seluruh sudut kampus dijelajah, siapapun yang ditemui di ajaknya untuk menyelamatkan masyarakat Palestina. Silih berganti pengeras suara digunakan banyak orator. Waktu berhenti di salah satu gedung, salah satu orator menghimbau untuk kampus ini mendukung perjuangan rombongan ini untuk Palestina, mereka menyerukan pihak rektorat sebagai hirarki tertinggi dari kampus untuk turun tangan langsung dalam menjaga kedamaian di Palestina. Si orator malah menyuruh pihak Rektorat keluar sekarang juga untuk turun ke jalan, berdemontrasi membela Palestina, beberapa kali malah Rektorat disebut sebagai pendukung Israel karena tidak memiliki sikap yang jelas atas konflik Israel. Tapi Rektorat juga tak kunjung keluar, aku hanya melihat seorang satpam yang keluar dari gedung tersebut. Si satpam merebut pengeras suara, dan berteriak:

“Ini Gedung Adminitrasi, Rektorat itu di depan, Goblok!”

Akhirnya aku tiba di Fakultas Ilmu Budaya, jaraknya lumayan jauh dari fakultasku. Aku berhenti karena di sebuah taman fakultas ada sebuah panggung kecil, entah apa yang mereka lakukan. Saat aku baru datang aku hanya melihat seorang membaca di atas panggung, nampaknya puisi lengkap dengan mimik, gestur yang aku tidak mengerti, apa yang diucapkannya juga tidak membuatku mengerti. Mungkin karena disiplin ilmuku berbeda. Tapi aku tak patah semangat, aku mendekati kerumunan itu, hingga aku berada di bibir panggung.

Satu… dua…. Tiga…. Orang-orang berganti membaca puisi, dan aku masih tidak mengerti. Ada satu puisi yang kuingat, bukan karena aku meresapinya, tapi Karena memang puisi itu singkat sekali, begini bunyinya:

Ini sebuah puisi!

Selanjutnya, terserah anda.

Bajingan! Apa-apaan ini, kupikir mereka bisa merangkai kata-kata indah, yang seperti itu aku juga bisa. Bahkan anak Sekolah Dasar juga bisa melakukannya. Untuk apa dia bayar kuliah sastra mahal-mahal bila cuma menghasilkan hal macam itu. Tapi yang kuheran semua hadirin bertepuk tangan. Aih, memang batas antara yang kompleks dan yang remeh temeh memang tipis. Aku mengharap mendapat gairah setelah datang kemari, tapi justru hal ini membuatku datar, bimbang. Bajingan!

Aku menjauhi kerumunan tersebut, walau dalam jarakku kini aku masih mampu melihat panggung itu dengan jelas. Kemudian aku nyalakan rokokku, masih memandangi kerumunan absurd itu. Baru saja rokok kumatikan seseorang datang menghampiriku. Ia lelaki kurus, mengenakan flanel kotak-kotak abu-abu hitam, jeans bolong besar di dengkul, rambutnya ikal, gondrong sepunggung.

Ia menanyakankanku apakah memiliki korek. Aku beri dia korek. Ia memperkenalkan diri, namanya Rigi, mahasiswa filsafat semester akhir, tapi bukan akhir pada mahasiswa kebanyakan, ia sudah tiga belas semester berada di kampus tidak berguna ini. Aku juga memperkenal diri. Dengan sekejap ia tahu menagapa kehadiranku disini.

“tumben ada orang eksak muak sama kampus, biasanya mereka lurus-lurus aja. Dan karena kelurusannya mereka justru tersesat,” katanya.

Aku sebenarnya tidak mengerti apa yang ia bicarakan, aku jelasakan saja kejadian hari ini mulai dari kunjungan Rudolf malam tadi, Yuri, dosen-dosen dungu, mahasiswa bodoh. Dia tertawa. Dia bicara banyak. Dia juga bicara mengenai kejijikannya tentang kampus, dosen-dosen itu, mahasiswa bedebah itu. Aku merasa menemukan kawan, paling tidak kawan yang juga merasa bising atas suara-suara busuk yang ada di kampus. Ia menjelaskan problem rasionalisasi instrumental yang memang menjangkiti bukan hanya kampus ini, melainkan seluruh dimensi hidup manusia, dunia ini. tujuan hidup manusia adalah menuju kebahagiaan, meraih kebahagian memang punya beragam cara, butuh banyak alat, dan sarana, atau perihal lain yang mendukung terciptanya kebahagiaan tersebut. Tapi tetap tujuan akhirnya adalah bahagia, walau ukuran bahagia pun tiap orang berbeda.

Aku manggut-manggut sedikit tidak mengerti, tapi yang kutahu adalah orang ini ternyata menyadari ketiada bergunanya kampus ini, bahkan ia lebih luas pikiraannya, ia menganggap hidup ini lebih banyak tidak bergunanya. Walaupun aku tidak sependapat pada bagian akhir, tapi aku menerima pernyataannya bahwa belakangan kusadari ternyata ada kerancuan dalam menerapkan tujuan hidup oleh manusia. Apa-apa yang sebenarnya kupikir hanya fase kini jadi titik akhir.

“Lantas apa lu sekarang bahagia?”

“Iya, jelas,”

“bagaimana bisa? Barusan lu banyak kritik kampus. Artinya lu sendiri merasa ternyata ada banyak masalah,”

“memang, terus apa masalahnya atas masalah yang gak pernah gua masalahkan?”

“ya, lantas bagaimana lu bisa bahagia?”

“diam.”

“apa?”

“diam. Dengan tidak melakukan apapun.”

“maksudnya gimana? Lu gak melakukan apapun kok bahagia? Bagaimana lu bisa diam sedangkan jelas ada sesuatu yang lu anggap bermasalah?”

“tidak pernah ada cara untuk diam sebagaimana banyak cara untuk diam,”

Bajingan! Aku pikir dia akan mampu ku ajak berkoalisi untuk membuat kampus ini berguna, ternyata cuma salah satu orang gila yang mampu berkuliah. Pergi ke tampat seperti ini ternyata tidak membantu, dan malah membuat muakku bergairah kembali. Sebelum aku pergi, dia memberikanku beberapa penjelasan mengenai pemikiran filsuf-filsuf yang namanya saja tak pernah kudengar, apalagi filsafatnya.

“kemenangan filsafat adalah, saat lu mampu diam. Dan gua yakin satu-satunya universalitas dalam filsafat adalah diam.”

“ehmm, gua gak mengerti,”

“coba lu liat panggung itu,”

Di panggung kudapati seorang memakai jubah putih, namun dikenakan dengan gaya biksu. Di kepalanya ada peci, yang dilingkari belukar berduri. Ia membacakan sesuatu yang kali ini benar tidak kumengerti, bukan karena diksinya yang aneh-aneh seperti bahasa planit mars, melainkan karena kata-kata yang diucap seakan tidak memiliki kesatuan kalimat yang bermakna. Si filsuf gila ini memberitahuku, bahwa orang di atas panggung itu sedang membangun kebahagiaannya, lari dari dunia sini dan membangun dunia baru.

“lu mengerti apa yang diucapkan, gesturnya, mimik?”

“enggak.”

“nah itu kesalahannya, ia mencoba mengajak orang lain masuk ke dunianya, sedangkan orang lain tidak mengerti dunia macam apa yang ingin dibuatnya. Ia mencuri kata-kata dari langit untuk manusia-manusia bumi yang bodoh, ia menyewa gestur dewa-dewa Olympus untuk dipertontonkan kepada domba!” jelas si filsuf gila. “sedangkan diam itu bahasa universal, dan sederhana.”

Sudah tidak ada yang perlu dilakukan disini ternyata. Filsuf gila, penyair blasteran dewa dan sitolol.

Aku pergi.

Kuputuskan untuk kembali ke kos, berhubung sekarang juga sudah hampir sore, lebih baik aku tidur. Ketimbang mencari pelarian dari muak yang kutemukan adalah keengganan untuk hidup. Bisa-bisa aku bunuh diri.

Aku tiba di kos, langsung menuju kamar, karena niatku memang ingin tidur, dan sedikit beristirahat atas kemuakkan hari ini. Tapi alangkah terkejutnya aku saat aku masuk kamar, ternyata ada si penyair yang barusan kulihat di panggung bersama si filsuf gila. Aku tidak punya prasangka buruk, menganggap ia mau mencuri, atau berbuat aneh-aneh lainnya. Aku tetap kaget karena ia masih mengenakan pakaian yang dipakai saat tadi pentas. Tanpa basa-basi kutanya niatnya datang kemari. Ia bicara dengan bahasa yang tidak kumengerti. Tapi jelas ini bukan bahasa asing dari negara manapun, mungkin semacam bahasa yang digunakan suku-suku pedalaman antah berantah . Aku tidak mengerti. Ia masih saja bicara dengan bahasa aneh. Aku terus menanyakan apa tujuanya ada disini. Hampir lima belas menit, kami bicara. Mungkin ini yang dimaksud si filsuf gila, mungkin si penyair ini mau mengajakku ke dunianya, mungkin ia datang karena mengetahui akan rasa muak yang aku alami hari ini. tapi bagaimana bisa aku hidup bila aku saja tidak mampu berkomunikasi, jangan-jangan nanti ada manusia yang bersuara seperti cacing di dunianya. Ah idenya mencipta dunia baru lama-lama membuatku muak juga. apa yang dunia baru bila justru yang diciptakan jauh mundur dari peradaban hari ini? Absurd.

Tapi entah kenapa aku malah bersemangat, dan terus menanyainya mengenai tujuannya datang. Padahal bisa saja aku usir dia, toh ini kos milikku, dia cuma orang asing. Aku bahkan tidak menyadari, mungkin sudah lma menit ada yang mengetuk kos milikku. Aku berteriak mempersilakan masuk, aku tidak peduli mungkin yang datang si filsuf gila, atau mungkin Rudolf, atau Yuri, atau dosen-dosen dungu itu, atau mahasiswa bodoh yang lain, atau bahkan mereka semua, mereka sumber kemuakan yang kudapat hari ini datang bersamaan. Aku tidak peduli karena terlalu keranjingan menanyakan tujuan si penyair ini, walau sama sekali aku tidak mengerti apa yang diucap. Tapi setelah seseorang masuk, kudapati Ruki yang datang, sahabatku satu-satunya. Aku mempersilakan masuk ke kamarku. Siapa tahu ia bisa membantu aku berkomunikasi dengan si penyair ini. Atau bila aku kelewat muak dengan si penyair, si Ruki bisa kumintai pertolongan untuk mengambil pisau guna menusuk si penyair.

“Gua gak tahu apa yang lu omongin! Sebanarnya lu mau apa datang kesini?” aku membentak si penyair.

Si penyair masih tidak mempergunakan bahasa yang kumengerti. Kadang ia terlihat cuma komat-kamit tanpa mengeluarkan suara. Ia memang tidak bergerak, atau bermimik. Datar saja, tapi mulutnya tidak berhenti bicara, dan bicaranya tidak henti membingungkanku. Dalam hati aku berpikir, mungkin ini saatnya aku menyuruh Ruki mengambil pisau. Kutinggalkan si penyair. Aku menuju Ruki. Belum sempat aku memintanya mengambil pisau, Ruki langsung bicara:

“belakangan, gua perhatikan, lu jadi sering bercermin deh,”

“hah?”

“iya, gila lu ya? Gua udah ketok pintu hampir sepuluh menit, sekalinya gua masuk gua lihat lu cuma bercermin daritadi, tapi gua dicuekin aja.”

Tidak mungkin! Daritadi aku berhadapan dengan si penyair dari Fakultas Ilmu Budaya dengan bahasa aneh. Mendengar Ruki, aku langsung memeriksa si penyair. Ia hilang.



Bekasi-Rawamangun, Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar