Tanggapan atas Tulisan Ahmad Tarmiji Alkhudri; Menjadi Guru Tranformatif: Memformulasikan Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Inovatif dan Humanis.
Pendahuluan
Selain wacana perubahan kurikulum 2013, belakangan
perbincangan profesi guru sering jadi buah bibir masyarakat. Hal ini karena sejak
pertengahan 2012, ada tujuh mahasiswa yang menginginkan revisi dari
Undang-undang Guru dan Dosen no. 14 tahun 2005. Mereka memersoalkan adanya
lulusan non-LPTK yang disesejarkan dengan lulusan LPTK untuk memeroleh restu
mengajar melalui PPG dari UUGD tersebut. Makanya tujuh mahasiswa itu
kelimpungan dan berniat mengajukan gugatan judicial
review atas UUGD untuk hal pasal tersebut. Usaha yang dimulai pada pertengahan
2012 ini akhirnya mentok pada kamis (28/3) ketika MK menolak gugatan ketujuh
mahasiswa tersebut.[i]
Ada sesuatu yang menarik dari cerita di atas. Yakni konfrontasi antara
kemampuan pedagogik seorang guru dan kemampuan keilmuan-misalnya guru fisika harus
memiliki kemampuan yang setara dengan fisikawan-yang juga selalu jadi problem
semenjak konversi IKIP menjadi sebuah universitas. Problem ini yang saya pikir juga
dicoba dijawab Alkhudri dalam Menjadi
Guru Tranformatif: Memformulasikan Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran
Inovatif dan Humanis.
Alkhudri mengandaikan ada satu lagi peran guru selain dalam
fungsi mendidik (pedagogik) dan pengembangan keilmuan, yakni guru memegang
peran penting dalam usaha transformasi sosial. Artinya setalah dua peran
tersebut ditunaikan guru, ia berfungsi merangsang peserta didik agar mampu
memiliki kecakapan sosial yang mampu menjawab zaman.
Walaupun demikian, secara epistemologis, tulisan Alkhudri
memiliki kelemahan yang fundamental: pertama, ia mengandaikan guru transformatif
hadir secara alamiah, maksudnya guru mampu menemukan sendiri semangat
tranformasi yang dicita-citakan Alkhudri. Asumsinya guru mampu memiliki peran
transformatif bila sadar akan posisinya sebagai khalifah di bumi dalam aras
transenden. Masalahnya adalah kini guru hanya memiliki posisi sebagai operator
kurikulum, tanpa adanya otonomi atas profesinya sebagai agen yang transformatif.
Perihal ini Alkhudri sama sekali tidak menyinggung dalam tulisanya.
Kedua adalah, ihwal corak transformatif versi Alkhudri. Alkhudri
membatasi peran transformasi guru hanya pada ruang lembaga pendidikan yang
hanya terakumulasi lewat jam-jam mata pelajaran. Yang pada tahap selanjutnya
terjadi proses internalisasi nilai-nilai transformatif tersebutkepada peserta
didik. Alkhudri masih menggunakan perumpaman normative dari guru. Bila
berangkat dari asumsi pendidikan adalah proses kehidupan, maka upaya
transformasi dalam aras pendidikan juga wajib menjawab masalah sosial, menghimpun
kekuatan sosial, hingga melakukan reformasi sosial. Artinya, determinasi tersebut
tidak terputus dalam ruang dan waktu. Karena tanpa akumulasi tersebut upaya
transformasi niscaya tidak memiliki signifikasi yang kuat.
Dengan bertujuan untuk member masukan kepada Alkhudri,
tulisan ini bermaksud membahas kedua aspek barusan. Kedua aspek yang menurut
penulis masih kurang diperhatikan dalam tulisan Alkhudri.
Guru Indonesia: Sebuah
Entitas Non-Tunggal
Bagian ini akan dimulai dengan pertanyaan: bagaimana guru transformatif
muncul?
Dalam tulisan Alkhudri, guru transformatif diyakini mampu didapat
lewat usaha-usaha yang sifatnya imanen, atau mampu menemukan ke-transformatif-an
itu sendiri. Makanya usaha turunanya adalah dengan mengadakan sebuah usaha
membangun guru secara vertikal (ka atas) lewat beragam pendidikan lanjutan.
Seminar-seminar dan pelatihan, guru diimani mampu mendapat wahyu tansformasi.
Problem ini sebenarnya sudah dibahas pada awal konturksi
pendidikan guru secara nasional. Dalam Dewantara (1953) fokus pembangunan secara
vertikal ini dirasa tidak potensial, karena rawan terjadi pelanggengan atas
status quo. Dalam hal ini pembangunan vertikal hanya menopang kondisi yang
sudah ada. bila ada ketidakadilan sosial, kemiskinan, pembodohan, pembangunan
dengan corak seperti ini dipercaya hanya
memapankan kondisi tersebut. Karena mengandaikan corak seperti itu, maka pembangunan
vertikal sendiri tidak mampu menghasilkan upaya-upaya transformasi sosial.
Selanjutnya, sekalipun lewat cara seperti ini dinilai
berhasil menciptakan guru transformatif. Masalah selanjutnya adalah dalam
domain praktik-praktik keguruan tersebut. Sebagaimana Apple (2000) yang
memposisikan guru dalam domain pendidikan secara makro hanya sebagai operator
kurikulum atau tukang ajar. Ketimbang bergerak pada arah peningkatan otonomi,
pada banyak contoh kasus di berbagai negara,
keseharian guru di dalam kelas menjadi lebih banyak dikontrol, lebih banyak
dijadikan subjek dalam logika administratif atas proses pengajaran dan
kurikulum.
Mengharapkan guru untuk memiliki alternatif lain, inovasi
lain di luar kurikulum formal juga serasa mencari jarum dalam tumpuk jerami. Apple
(2004) juga turut menjelaskan bagiamana guru seperti itu sulit untuk ditemukan.
Sejak transisi abad kesembilan belas menuju abad kedua puluh, buku teks yang
disediakan sebagai intrumen kurikulum telah menjadi kekuatan yang sangat kuat.
Di satu sisi hal ini memicu ketergantungan guru akan adanya ‘pengetahuan resmi’
dari permerintah. Hal ini kemudian menjadi manifestasi sejarah guru sebagai
tenaga kerja, sebagai tukang ajar yang tinggal melaksanakan kerja (mengajar) sementara
alat-alat produksi telah disiapkan (kurikulum, buku teks).
Makanya, memandang guru sebagai entitas yang berdiri secara
imanen adalah sebuah kenaifan. Dan menginginkan kemunculan guru transformatif
dengan skema seperti itu seperti menunggu mesias, yang entah kapan datangnya,
tapi diyakini akan menjadi juru selamat bagi umat manusia.
Sebenarnya bila memosisikan guru dalam domain pendidikan
yang lebih besar, akan terlihat jawaban-jawaban yang lebih potensial ketimbang
apa yang disodor Alkhudri. Membahas guru tentunya tidak bisa dilepaskan dalam
sirkuit produksi guru itu sendiri: LPTK. Hal ini menjadi krusial karena LPTK
sendiri jadi rahim tumbuh kembangnya janin guru dalam banyak varian. Makanya,
menjadi tak arif menyudutkan guru tanpa melihat niat LPTK dalam menciptakan
guru.
Hal ini dapat dimulai dari riset kecil-kecilan yang
dilakukan Buchari (2007) dalam bukunya Evolusi
Pendidikan di Indonesia, Dari Kweekschool sampai ke IKIP: 1852-1998.dalam
bukunya, Buchari memaparkan temuan keluhan masyarakat terhadap kondisi guru
dalam dua periode: Orde Lama dan Orde Baru. Data ini diperoleh dari kliping
Koran pada 1970-1975 dan 1991-1998. Hasilnya 56 persen mempersalahkan
kesejahteraan guru yang sangat minim, 40% mengenai kinerja guru, atau mutu
pendidikan yang diberikan guru kepada peserta didik, sisanya adalah sarana
kerja guru.[ii]
Melalui asumsi
tersebut, paska reformasi kesejahteraan guru secara umum telah dijamin untuk
diperbaiki, maka masalah yang masih menyisa untuk segera diperbaiki adalah
mengenai mutu guru. Menganai mutu guru sendiri, terasa tidak lengkap bila tidak
memasukkan LPTK dalam pembahasan. LPTK harus diposisikan sebagai lokomotif dalam pendidikan guru. Ia rahim yang
kelak melahirkan guru. Maka persoalan mutu guru harus dijawab dengan
meningkatkan mutu LPTK itu sendiri.
Persoalannya adalah orientasi LPTK kini makin lama makin
tidak jelas. Setelah 1998 mengalami konversi menjadi universitas umum yang menyediakan
jurusan non kependidikan. Buchari sendiri menandai periode konversi ini sebagai
masa dimana pendidikan guru mengalami ambivalensi. Artinya ada pemecahan antara
kompetensi pedagogik dan kompetensi keilmuan yang selama ini dilakukan dngan
metode kongruen (kebersatuan). Inovasi tersebut dinilai sebagai cikal bakal kemandekan
mutu guru paska reformasi. Setelah dijamin kesejahteraannya, mutu tak juga
mampu dipetik.
Asumsi awal mengenai konversi IKIP menjadi universitas adlah
mengenai profesi guru yang makin lama makin dijauhi masyarakat karena tak mampu
memberikan kesejahteraan dibanding pengabdiannya, serta mengenai repon IKIP
atas pesatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan. Maka langkah konversi dinilai
mampu menjawab sinergitas itu. Walaupun setelah lebih dari satu dekade, buah
konversi malah jadi busuk. “Programnya banci. Pendidikannya tidak ada, ilmu
murninya juga tidak ada,” ujar Tilaar.[iii]
Makanya, sebagai tambahan untuk tulisan Alkhudri,
problematika sturktural produksi guru nampaknya mendesak untuk dibahas.
Terlebih relasi guru dalam skema produksinya di LPTK, membenahi LPTK niscaya
akan merubah mutu guru. Oleh karenanya guru transformatif lebih potensial untuk
dimunculkan. Hal ini dirasa lebih rasional ketimbang menunggu guru penyelamat, jangan
sampai seperti yang banyak tertera di kitab suci bahwa juru selamat akan datang
menjelang hari akhir. Yang jelas tidak akan banyak dirasakan faedahnya untuk
menusia apalagi untuk pendidikan nasional.
Setelah Kritis, Mau
Apa?
Pakar-pakar sosiologi pendidikan mulai dari tahun 70-an mulai
mencurigai kontestasi pendidikan yang dianggap murni dari kepentingan. Dari
sana muncul paradgima sosiologi pendidikan yang menganggap domain pendidikan
dalah arena non-etis. Artinya banyak berkelindan beragam kepentingan
ekonomi-politik, budaya, dan sosial. Kenetralan pendidikan adalah salah satu
konotasi fundamental atas visi pendidikan yang naïf (freire:2007).
Maka dengan asumsi tersebut kita akan beranjak pada
signifikansi termin transfomatif yang diinginkan Alkhudri. Alkhudri memberikan
paket lengkap bagaimana guru transfomatif melancarkan aksi-aksi pendidikannya
dalam lembaga pendidikan. Mulanya adalah menanamkan karakter pada tingakatan
Sekolah Dasar, serta mengembangkan pembelajaran kritis, inovatif, dan humanis
dengan turunan model-model pembelajarannya.
Sengaja mengutip Freire untuk menekankan bahwa pembelajaran
yang humanis yang dicitakan Alkhudri ternyata belum tuntas. Freire sendiri menyadari
domain pendidikan diyakini berisi kekuasaan yang represif, yang mengebiri
manusia dengan beragam dimensi kemanusiannya. Makanya pendidikan musti punya watak
humanis, dan bertujuan menggulingkan kekuasaan itu, menggantikannya dengan
tatanan sosial yang lebih setara.
Penjelasan yang diberikan Alkhudri hanya sebatas memahami (to understand) realitas sosial. Guru
transformatif seharus memiliki determinasi untuk mengubah (to change). Hal ini dengan
mudah dicari penyebabnya. Dalam tulisannya, Alkhudri jarang menyentuh bekal
filosofis yang dibutuhkan seorang guru, yang sebenarnya merupakan bekal dasar
untuk menjadi guru yang transformatif. Sekalinya dibahas, Alkhudri hanya
mempersinggungnya dalam domain religi-dalam hal ini Islam-yang sebenarnya
bernada rasial. Kebanyakan-bila tidak ingin disebut semuanya-Alkhudri hanya
menjangkau instrumen seperti metode pembelajaran yang didasari atas kebutuhan yang
sifatnya juga instrumental.
Landasan filosofis yang dimiliki guru menjadi hal yang
mendesak dimiliki, hal ini juga mampu menumbuh kembangngkan kesadaran akan
otoritas guru yang mana mampu diakumulasikan dalam tindakan-tindakan
transformasi. Menurut Winarno (2009) kemampuan filosofis ini mampu membantu
dalam pengembangan metode berpikir reflektif mengenai esensi kehidupan. Dengan
batasan itu guru mampu memahami konteks kebenaran dalam kehidupan, dan mampu
menerapkannya. Bila ada kondisi yang tidak sesuai kebenaran maka guru juga
mampu untuk melakukan upaya perbaikan (to change).
Upaya transformasi musti diakumulaskan pada determinasi
langsung, walaupun tentu harus ada landasan teoritik yang jelas. Metode yang
dipaparkan Tarmiji memang sudah tepat, misalnya membahas masalah yang secara
langsung menjadi masalah peserta didik. Hanya saja, disini peserta didik masih
diposisikan sebagai objek pendidikan, karena tidak diajak untuk mengubah
masalah tersebut. Upaya transformatif mengandaikan guru dan peserta didik muncul
sebagai subjek yang aktif. Dengan begitu muncul manusia-manusia yang otonom
terhadap dirinya sendiri, dan oleh karenanya mereka harus mampu menjadi agen
perubahan (Nuryatno: 2008). Transformasi bukan sekadar berbeda, ia harus
mengubah.
Makanya, dalam upaya transformasi tersebut, pendidikan mampu
keluar dari ruang lembaga pendidikan itu sendiri. Maka sekolah bisa jadi
insiator untuk menggalang solidaritas sosial. Jean Anyon (2011) professor pendidikan
Amerika malah memposisikan sekolah sebagai ruang pengorganisiran, sebagai pusat
gerakan transformasi sosial.[iv]
Hal ini berguna untuk menumbuhkan kesadaran politik dari pederta didik, dalam
rangka aransemen protes-protes sosial, yang pada akhirnya menginkan sebuah
transformasi sosial.
Selain
itu, para aktivis sosial turut diikutsertakan dalam memperluas gerakan
tersebut. Dari semua elemen tersebut, kegiatan seperti diskusi, kampanye, dan
provokasi mengenai kepentingan bersama digencarkan. Keterlibatan langsung dari elemen
tersebut di dalam aksi-aksi protes yang nyata. Di sini, pedagogi kritis
memiliki peran untuk menjadi pedoman dalam proses pendidikan, guru-guru
transformatif yang kritis harus memberikan pengalaman langsung atas kerja-kerja
keadilan sosial yang lebih luas.
Dengan
demikian, upaya transformasi yang dicita-citakan tentunya akan memiliki
signifikasnsi yang lebih berarti. Bukan hanya dalam menanamkan kesadaran kritis
kepada peserta didik. Bila upaya ini konsisten, pendidika mampu jadi jalan untuk
membenahi situasi sosial yang tidak beres.
[i]
Salah satu dari ketujuh pemohon dari uji materi adalah Angga Damayanto,
Mahasiswa PLB UNJ. Saya dan dia sering berdiskusi mengenai pengajuan judicial review tersebut. Mengenai
pembatalan oleh MK lihat: http://m.metrotvnews.com/read/news/2013/03/29/142251/MK-Bolehkan-Sarjana-Nonkependidikan-Jadi-Guru diakses 30 Maret 2013.
[ii] Pada
masa Orla dan Orba, kesejahteraan guru memang kembang kempis, Hal ini menjadi
wajar mengapa masalah mutu guru tidak jadi persolan utama, walaupun secara
prosentase ia memiliki jumlah yang besar juga.
[iii]
Perlu dicatat, disini Tilaar terkesan naïf. Ia juga turut menginisiasi konversi
IKIP menjadi universitas. Kondisi-kondisi yang terjadi ini merupakan
konsekuensi logis dari apa yang telah diinisiaskan dulu. Lihat: majalah
Didaktika. konversi IKIP, Marginalisasi
ilmu Pendidikan. Edisi 38, tahun 2009. Atau http://m.metrotvnews.com/read/news/2013/03/30/142505/IKIP-Dihapus-Mutu-Guru-Turun
diakses
30
Maret 2013.
[iv]
Saya pernah menulis review buku Jean Anyon. Marx
and Education dan diterbikan dalam jurnal online www.indoprogress.com edisi November
2012. lihat Anggar Septiadi. Pendidikan
dan Kebutuhan Kapitalisme. http://indoprogress.com/lbr/?p=394
Referensi
Agus Nuryatno. 2008. Mazhab Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan
Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book.
Anggar Septiadi. 2012. Pendidikan dan Kebutuhan Kapitalisme. Indoprogress.com
Jean Anyon. 2011. Marx
and Education. New York: Routledge Press.
Ki Hajar
Dewantara. 1953. Buku 1: Pendidikan.
Yogyakarta: Majelis tinggi Taman Siswa.
Michael
W Apple. 2000. Official Knowledge:
Democratic Education in a Conservative Age. New York: Routledge.
______________
2004. Ideology and Curriculum. New
York: Routledge Falmer.
Muchtar
Buchari. 2007. Evolusi Pendidikan di Indonesia, Dari Kweekschool
sampai ke IKIP: 1852-1998.
Yogyakarta: Insist Press.
Paulo Freire. 2007. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan.
Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Winarno Surakhmad. 2009. Pendidikan Nasional, Strategi
dan Tragedi. Jakarta: Kompas.
Majalah Didaktika Edisi 38 tahun 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar