Senin, 01 April 2013

Menunggu Mesias


Tanggapan atas Tulisan Ahmad Tarmiji Alkhudri; Menjadi Guru Tranformatif: Memformulasikan Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Inovatif dan Humanis.

Pendahuluan

Selain wacana perubahan kurikulum 2013, belakangan perbincangan profesi guru sering jadi buah bibir masyarakat. Hal ini karena sejak pertengahan 2012, ada tujuh mahasiswa yang menginginkan revisi dari Undang-undang Guru dan Dosen no. 14 tahun 2005. Mereka memersoalkan adanya lulusan non-LPTK yang disesejarkan dengan lulusan LPTK untuk memeroleh restu mengajar melalui PPG dari UUGD tersebut. Makanya tujuh mahasiswa itu kelimpungan dan berniat mengajukan gugatan judicial review atas UUGD untuk hal pasal tersebut. Usaha yang dimulai pada pertengahan 2012 ini akhirnya mentok pada kamis (28/3) ketika MK menolak gugatan ketujuh mahasiswa tersebut.[i]

Ada sesuatu yang menarik dari cerita di atas. Yakni konfrontasi antara kemampuan pedagogik seorang guru dan kemampuan keilmuan-misalnya guru fisika harus memiliki kemampuan yang setara dengan fisikawan-yang juga selalu jadi problem semenjak konversi IKIP menjadi sebuah universitas. Problem ini yang saya pikir juga dicoba dijawab Alkhudri dalam Menjadi Guru Tranformatif: Memformulasikan Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Inovatif dan Humanis.

Alkhudri mengandaikan ada satu lagi peran guru selain dalam fungsi mendidik (pedagogik) dan pengembangan keilmuan, yakni guru memegang peran penting dalam usaha transformasi sosial. Artinya setalah dua peran tersebut ditunaikan guru, ia berfungsi merangsang peserta didik agar mampu memiliki kecakapan sosial yang mampu menjawab zaman.

Walaupun demikian, secara epistemologis, tulisan Alkhudri memiliki kelemahan yang fundamental: pertama, ia mengandaikan guru transformatif hadir secara alamiah, maksudnya guru mampu menemukan sendiri semangat tranformasi yang dicita-citakan Alkhudri. Asumsinya guru mampu memiliki peran transformatif bila sadar akan posisinya sebagai khalifah di bumi dalam aras transenden. Masalahnya adalah kini guru hanya memiliki posisi sebagai operator kurikulum, tanpa adanya otonomi atas profesinya sebagai agen yang transformatif. Perihal ini Alkhudri sama sekali tidak menyinggung dalam tulisanya.

Kedua adalah, ihwal corak transformatif versi Alkhudri. Alkhudri membatasi peran transformasi guru hanya pada ruang lembaga pendidikan yang hanya terakumulasi lewat jam-jam mata pelajaran. Yang pada tahap selanjutnya terjadi proses internalisasi nilai-nilai transformatif tersebutkepada peserta didik. Alkhudri masih menggunakan perumpaman normative dari guru. Bila berangkat dari asumsi pendidikan adalah proses kehidupan, maka upaya transformasi dalam aras pendidikan juga wajib menjawab masalah sosial, menghimpun kekuatan sosial, hingga melakukan reformasi sosial. Artinya, determinasi tersebut tidak terputus dalam ruang dan waktu. Karena tanpa akumulasi tersebut upaya transformasi niscaya tidak memiliki signifikasi yang kuat.

Dengan bertujuan untuk member masukan kepada Alkhudri, tulisan ini bermaksud membahas kedua aspek barusan. Kedua aspek yang menurut penulis masih kurang diperhatikan dalam tulisan Alkhudri.

Guru Indonesia: Sebuah Entitas Non-Tunggal

Bagian ini akan dimulai dengan pertanyaan: bagaimana guru transformatif muncul?

Dalam tulisan Alkhudri, guru transformatif diyakini mampu didapat lewat usaha-usaha yang sifatnya imanen, atau mampu menemukan ke-transformatif-an itu sendiri. Makanya usaha turunanya adalah dengan mengadakan sebuah usaha membangun guru secara vertikal (ka atas) lewat beragam pendidikan lanjutan. Seminar-seminar dan pelatihan, guru diimani mampu mendapat wahyu tansformasi.

Problem ini sebenarnya sudah dibahas pada awal konturksi pendidikan guru secara nasional. Dalam Dewantara (1953) fokus pembangunan secara vertikal ini dirasa tidak potensial, karena rawan terjadi pelanggengan atas status quo. Dalam hal ini pembangunan vertikal hanya menopang kondisi yang sudah ada. bila ada ketidakadilan sosial, kemiskinan, pembodohan, pembangunan dengan  corak seperti ini dipercaya hanya memapankan kondisi tersebut. Karena mengandaikan corak seperti itu, maka pembangunan vertikal sendiri tidak mampu menghasilkan upaya-upaya transformasi sosial.

Selanjutnya, sekalipun lewat cara seperti ini dinilai berhasil menciptakan guru transformatif. Masalah selanjutnya adalah dalam domain praktik-praktik keguruan tersebut. Sebagaimana Apple (2000) yang memposisikan guru dalam domain pendidikan secara makro hanya sebagai operator kurikulum atau tukang ajar. Ketimbang bergerak pada arah peningkatan otonomi, pada banyak contoh kasus  di berbagai negara, keseharian guru di dalam kelas menjadi lebih banyak dikontrol, lebih banyak dijadikan subjek dalam logika administratif atas proses pengajaran dan kurikulum.

Mengharapkan guru untuk memiliki alternatif lain, inovasi lain di luar kurikulum formal juga serasa mencari jarum dalam tumpuk jerami. Apple (2004) juga turut menjelaskan bagiamana guru seperti itu sulit untuk ditemukan. Sejak transisi abad kesembilan belas menuju abad kedua puluh, buku teks yang disediakan sebagai intrumen kurikulum telah menjadi kekuatan yang sangat kuat. Di satu sisi hal ini memicu ketergantungan guru akan adanya ‘pengetahuan resmi’ dari permerintah. Hal ini kemudian menjadi manifestasi sejarah guru sebagai tenaga kerja, sebagai tukang ajar yang tinggal melaksanakan kerja (mengajar) sementara alat-alat produksi telah disiapkan (kurikulum, buku teks).

Makanya, memandang guru sebagai entitas yang berdiri secara imanen adalah sebuah kenaifan. Dan menginginkan kemunculan guru transformatif dengan skema seperti itu seperti menunggu mesias, yang entah kapan datangnya, tapi diyakini akan menjadi juru selamat bagi umat manusia.

Sebenarnya bila memosisikan guru dalam domain pendidikan yang lebih besar, akan terlihat jawaban-jawaban yang lebih potensial ketimbang apa yang disodor Alkhudri. Membahas guru tentunya tidak bisa dilepaskan dalam sirkuit produksi guru itu sendiri: LPTK. Hal ini menjadi krusial karena LPTK sendiri jadi rahim tumbuh kembangnya janin guru dalam banyak varian. Makanya, menjadi tak arif menyudutkan guru tanpa melihat niat LPTK dalam menciptakan guru.

Hal ini dapat dimulai dari riset kecil-kecilan yang dilakukan Buchari (2007) dalam bukunya Evolusi Pendidikan di Indonesia, Dari Kweekschool sampai ke IKIP: 1852-1998.dalam bukunya, Buchari memaparkan temuan keluhan masyarakat terhadap kondisi guru dalam dua periode: Orde Lama dan Orde Baru. Data ini diperoleh dari kliping Koran pada 1970-1975 dan 1991-1998. Hasilnya 56 persen mempersalahkan kesejahteraan guru yang sangat minim, 40% mengenai kinerja guru, atau mutu pendidikan yang diberikan guru kepada peserta didik, sisanya adalah sarana kerja guru.[ii]

Melalui  asumsi tersebut, paska reformasi kesejahteraan guru secara umum telah dijamin untuk diperbaiki, maka masalah yang masih menyisa untuk segera diperbaiki adalah mengenai mutu guru. Menganai mutu guru sendiri, terasa tidak lengkap bila tidak memasukkan LPTK dalam pembahasan. LPTK harus diposisikan sebagai  lokomotif dalam pendidikan guru. Ia rahim yang kelak melahirkan guru. Maka persoalan mutu guru harus dijawab dengan meningkatkan mutu LPTK itu sendiri.

Persoalannya adalah orientasi LPTK kini makin lama makin tidak jelas. Setelah 1998 mengalami konversi menjadi universitas umum yang menyediakan jurusan non kependidikan. Buchari sendiri menandai periode konversi ini sebagai masa dimana pendidikan guru mengalami ambivalensi. Artinya ada pemecahan antara kompetensi pedagogik dan kompetensi keilmuan yang selama ini dilakukan dngan metode kongruen (kebersatuan). Inovasi tersebut dinilai sebagai cikal bakal kemandekan mutu guru paska reformasi. Setelah dijamin kesejahteraannya, mutu tak juga mampu dipetik.

Asumsi awal mengenai konversi IKIP menjadi universitas adlah mengenai profesi guru yang makin lama makin dijauhi masyarakat karena tak mampu memberikan kesejahteraan dibanding pengabdiannya, serta mengenai repon IKIP atas pesatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan. Maka langkah konversi dinilai mampu menjawab sinergitas itu. Walaupun setelah lebih dari satu dekade, buah konversi malah jadi busuk. “Programnya banci. Pendidikannya tidak ada, ilmu murninya juga tidak ada,” ujar Tilaar.[iii]

Makanya, sebagai tambahan untuk tulisan Alkhudri, problematika sturktural produksi guru nampaknya mendesak untuk dibahas. Terlebih relasi guru dalam skema produksinya di LPTK, membenahi LPTK niscaya akan merubah mutu guru. Oleh karenanya guru transformatif lebih potensial untuk dimunculkan. Hal ini dirasa lebih rasional ketimbang menunggu guru penyelamat, jangan sampai seperti yang banyak tertera di kitab suci bahwa juru selamat akan datang menjelang hari akhir. Yang jelas tidak akan banyak dirasakan faedahnya untuk menusia apalagi untuk pendidikan nasional.

Setelah Kritis, Mau Apa?

Pakar-pakar sosiologi pendidikan mulai dari tahun 70-an mulai mencurigai kontestasi pendidikan yang dianggap murni dari kepentingan. Dari sana muncul paradgima sosiologi pendidikan yang menganggap domain pendidikan dalah arena non-etis. Artinya banyak berkelindan beragam kepentingan ekonomi-politik, budaya, dan sosial. Kenetralan pendidikan adalah salah satu konotasi fundamental atas visi pendidikan yang naïf (freire:2007).

Maka dengan asumsi tersebut kita akan beranjak pada signifikansi termin transfomatif yang diinginkan Alkhudri. Alkhudri memberikan paket lengkap bagaimana guru transfomatif melancarkan aksi-aksi pendidikannya dalam lembaga pendidikan. Mulanya adalah menanamkan karakter pada tingakatan Sekolah Dasar, serta mengembangkan pembelajaran kritis, inovatif, dan humanis dengan turunan model-model pembelajarannya.

Sengaja mengutip Freire untuk menekankan bahwa pembelajaran yang humanis yang dicitakan Alkhudri ternyata belum tuntas. Freire sendiri menyadari domain pendidikan diyakini berisi kekuasaan yang represif, yang mengebiri manusia dengan beragam dimensi kemanusiannya. Makanya pendidikan musti punya watak humanis, dan bertujuan menggulingkan kekuasaan itu, menggantikannya dengan tatanan sosial yang lebih setara.

Penjelasan yang diberikan Alkhudri hanya sebatas memahami (to understand) realitas sosial. Guru transformatif seharus memiliki determinasi untuk mengubah (to change). Hal ini dengan mudah dicari penyebabnya. Dalam tulisannya, Alkhudri jarang menyentuh bekal filosofis yang dibutuhkan seorang guru, yang sebenarnya merupakan bekal dasar untuk menjadi guru yang transformatif. Sekalinya dibahas, Alkhudri hanya mempersinggungnya dalam domain religi-dalam hal ini Islam-yang sebenarnya bernada rasial. Kebanyakan-bila tidak ingin disebut semuanya-Alkhudri hanya menjangkau instrumen seperti metode pembelajaran yang didasari atas kebutuhan yang sifatnya juga instrumental.

Landasan filosofis yang dimiliki guru menjadi hal yang mendesak dimiliki, hal ini juga mampu menumbuh kembangngkan kesadaran akan otoritas guru yang mana mampu diakumulasikan dalam tindakan-tindakan transformasi. Menurut Winarno (2009) kemampuan filosofis ini mampu membantu dalam pengembangan metode berpikir reflektif mengenai esensi kehidupan. Dengan batasan itu guru mampu memahami konteks kebenaran dalam kehidupan, dan mampu menerapkannya. Bila ada kondisi yang tidak sesuai kebenaran maka guru juga mampu untuk melakukan upaya perbaikan (to change).

Upaya transformasi musti diakumulaskan pada determinasi langsung, walaupun tentu harus ada landasan teoritik yang jelas. Metode yang dipaparkan Tarmiji memang sudah tepat, misalnya membahas masalah yang secara langsung menjadi masalah peserta didik. Hanya saja, disini peserta didik masih diposisikan sebagai objek pendidikan, karena tidak diajak untuk mengubah masalah tersebut. Upaya transformatif mengandaikan guru dan peserta didik muncul sebagai subjek yang aktif. Dengan begitu muncul manusia-manusia yang otonom terhadap dirinya sendiri, dan oleh karenanya mereka harus mampu menjadi agen perubahan (Nuryatno: 2008). Transformasi bukan sekadar berbeda, ia harus mengubah.

Makanya, dalam upaya transformasi tersebut, pendidikan mampu keluar dari ruang lembaga pendidikan itu sendiri. Maka sekolah bisa jadi insiator untuk menggalang solidaritas sosial. Jean Anyon (2011) professor pendidikan Amerika malah memposisikan sekolah sebagai ruang pengorganisiran, sebagai pusat gerakan transformasi sosial.[iv] Hal ini berguna untuk menumbuhkan kesadaran politik dari pederta didik, dalam rangka aransemen protes-protes sosial, yang pada akhirnya menginkan sebuah transformasi sosial.

Selain itu, para aktivis sosial turut diikutsertakan dalam memperluas gerakan tersebut. Dari semua elemen tersebut, kegiatan seperti diskusi, kampanye, dan provokasi mengenai kepentingan bersama digencarkan. Keterlibatan langsung dari elemen tersebut di dalam aksi-aksi protes yang nyata. Di sini, pedagogi kritis memiliki peran untuk menjadi pedoman dalam proses pendidikan, guru-guru transformatif yang kritis harus memberikan pengalaman langsung atas kerja-kerja keadilan sosial yang lebih luas.

Dengan demikian, upaya transformasi yang dicita-citakan tentunya akan memiliki signifikasnsi yang lebih berarti. Bukan hanya dalam menanamkan kesadaran kritis kepada peserta didik. Bila upaya ini konsisten, pendidika mampu jadi jalan untuk membenahi situasi sosial yang tidak beres.


[i] Salah satu dari ketujuh pemohon dari uji materi adalah Angga Damayanto, Mahasiswa PLB UNJ. Saya dan dia sering berdiskusi mengenai pengajuan judicial review tersebut. Mengenai pembatalan oleh MK lihat: http://m.metrotvnews.com/read/news/2013/03/29/142251/MK-Bolehkan-Sarjana-Nonkependidikan-Jadi-Guru  diakses 30 Maret 2013.

[ii] Pada masa Orla dan Orba, kesejahteraan guru memang kembang kempis, Hal ini menjadi wajar mengapa masalah mutu guru tidak jadi persolan utama, walaupun secara prosentase ia memiliki jumlah yang besar juga.

[iii] Perlu dicatat, disini Tilaar terkesan naïf. Ia juga turut menginisiasi konversi IKIP menjadi universitas. Kondisi-kondisi yang terjadi ini merupakan konsekuensi logis dari apa yang telah diinisiaskan dulu. Lihat: majalah Didaktika. konversi IKIP, Marginalisasi ilmu Pendidikan. Edisi 38, tahun 2009. Atau http://m.metrotvnews.com/read/news/2013/03/30/142505/IKIP-Dihapus-Mutu-Guru-Turun diakses 30 Maret 2013.

[iv] Saya pernah menulis review buku Jean Anyon. Marx and Education dan diterbikan dalam jurnal online www.indoprogress.com edisi November 2012. lihat Anggar Septiadi. Pendidikan dan Kebutuhan Kapitalisme. http://indoprogress.com/lbr/?p=394  


Referensi

Agus Nuryatno. 2008. Mazhab Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book.

Anggar Septiadi. 2012. Pendidikan dan Kebutuhan Kapitalisme. Indoprogress.com

Jean Anyon. 2011. Marx and Education. New York: Routledge Press.

Ki Hajar Dewantara. 1953. Buku 1: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis tinggi Taman Siswa.

Michael W Apple. 2000. Official Knowledge: Democratic Education in a Conservative Age. New York: Routledge.

______________ 2004. Ideology and Curriculum. New York: Routledge Falmer.

Muchtar Buchari. 2007. Evolusi Pendidikan di Indonesia, Dari Kweekschool sampai ke IKIP: 1852-1998. Yogyakarta: Insist Press.

Paulo Freire. 2007. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Winarno Surakhmad. 2009. Pendidikan Nasional, Strategi dan Tragedi.  Jakarta: Kompas.

Majalah Didaktika Edisi 38 tahun 2009


Tidak ada komentar:

Posting Komentar