Untuk ibu-ibu yang tak kuat digoda kritik: Merumuskan hal-hal negatif dari suatu masa transisi jauh lebih bermakna ketimbang karir akademis-Max Horkheimer
‘Little Boy’ dan ‘Fat Man’ memang
bukan sembarang tamu, mereka berdualah yang datang tak diundang pada 6 dan 9
Agustus 1945 di Hiroshima dan Nagasaki. Setelah mereka berdua tiba, hampir dua
ratus ribu manusia lenyap seketika, yang bersisa pun harus menanggung cacat
seumur hidup. Peristiwa ini adalah salah satu bencana terbesar kreasi manusia.
Enam tahun sebelum Hiroshima dan Nagasaki
kejatuhan ‘si anak kecil’ dan ‘si gendut’, Albert Einsten si jenius abad dua
puluh mengirimi surat kepada Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt pada 2
Agustus 1939. Kurang lebih isi surat tersebut berisi: desakan kepada pemerintah
AS untuk mengembangkan rumus mahsyur miliknya: E=M.C2 untuk
menciptakan bom atom guna melumpuh pemerintah Nazi Jerman.
19 Oktober 1939, Presiden Roosevelt
menandatangani proyek pengembangan bom dengan nama Manhattan Project sembari mengesahkan Komite Pengembangan Senjata Atom dua hari
setelahnya. Einsten sendiri kala itu sudah menetap di Amerika karena adanya
pengusiran orang-orang Yahudi Jerman, ia salah seorang Yahudi yang terusir.
Entah apa yang ada di pikiran Einsten
kala menyurati Roosevelt untuk bergegas mencipta bom atom. Yang ia tahu kala
itu adalah Jerman lewat desas-desus telah memepersiapkan senjata super untuk
memenangi Perang Dunia kedua. Einsten sendiri menyesal dan tidak mengira bahwa dampak
dari bom atom tersebut sedemikian destruktif. ”Jika mengetahui akan
menjadi sampai sedemikian akibatnya, lebih baik saya menjadi tukang reparasi
arloji saja,” sesalnya.
Satu yang menarik adalah bahwa problem
Einsten bisa dimaknai sebagai problem positivistik, secara vulgar bencana
Hiroshima dan Nagasaki bisa ditelisik atas kecenderungan positivistik sebagai
penyebabnya. Yakni, pemisahan antara pengetahuan dan kepentingan manusia. Buat orang-orang
positivistik, pengetahuan adalah sebuah entitas mandiri yang tanpa campur
tangan manusia ia bisa hidup dan bergerak. Sementara saat diturunkan kepada
dunia manusia ia tidak akan merubah nilainya.
Ada salah satu lelucon menarik
mengenai Einsten dari aktor dan sutradara Australia Greg Pead atau yang
terkenal dengan nama beken Yahoo Serious.
Dalam film besutannya Young Einsten(1988) ia memposisikan Einsten sebagai bocah
eksentrik dari kepulauan Tasmania, Austalia. Einsten muda berasal dari keluarga
petani Apel yang dituruni sebuah laboratorium rahasia untuk membuat bir yang
memiliki gelembung.
Ceritanya si Eisnten muda mampu memecahkan
teka-teki yang hingga lima generasi keluarga Einsten tak mampu membuat bir
dengan gelembung. Ia menemukan bir versi gelembung dengan rumus yang baru saja
ia ciptakan: energi sama dengan masa dikali kecepatan cahaya kuadrat. Setelah berhasil,
ia berniat mematenkan rumus temuannya ke Sidney. Namun di tengah jalan rumus
tersebut dicuri, dan oleh si pencuri rumus tersebut dijadikan dasar untuk
membuat senjata nuklir yang dapat diperjualbelikan bagi negara yang doyan
perang.
Niat si Eisnten muda sederhana, membuat
bir bergelembung dengan memecah atom bir, namun menjadi malapetaka ketika rumus
itu dicuri. Secara normatif, cerita ini akan menyimpulkan bahwa sifat manusia
lah yang akan menyebabkan ilmu pengetahun berwatak baik atau jahat. Namun, dalam sisi yang lain musti ditekankan bahwa
ilmu pengetahuan sendiri memiliki kehendak. Sebuah netralitas dalam memandang
ilmu pengetahuan adalah sebuah kenaifan.
Menyalahkan Einsten karena
kontirbusinya membawa mudharat juga bukan sebuah tindakan arif, karena
bagaimanapun lewat rumus energy relatifnya ia tetap berkontibusi mengantar
manusia ke luar bumi. Lantas dengan bagaimana ilmu pengetahuan yang ternyata
tidak berdiri mandiri musti dihadapi? Melalui Kritik!
Saudara satu pengusiran Einsten-ia juga
diusir Nazi, Max Horkheimer mungkin banyak tahu. Sejak awal ia dengan Hermann Weil
dan Felix Weil menginsisasi institut Frankfurt utnuk memproduksi kritik dan melawan kecenderungan
positivis dalam masyarakat modern.
Mengapa positivisme
dianggap sebagai bencana? Posisi memandang ilmu pengetahuan yang bebas nilai telah
terbukti menjadi bumerang atas lahirnya ‘si anak kecil’ dan ‘si gendut’. Hal ini
mampu dilakukan karena dalam positivisme atas kenetralannya, ilmu pengetahuan sebagai
objek kemudian mampu dimanipulasikan.
Belum lagi via
Auguste Comte yang beranak menjadi sosiologi, ia membawa positivisme dalam
medan ilmu masyarakat yang memanipulasi manusia dan masyarakat sebagai objek. Maka
kemudian sah muncul istilah penindasan
antar manusia, status quo, rekayasa sosial, dan hal beraroma negatif lainnya.
Makanya, ada
keterdesakaan untuk terus memproduksi kritik. Kritik sendiri punya porsi untuk secara
simultan memberikan refleksi-refleksi atas kehidupan yang telah ada, sedang
berlangsung, dan akan muncul. Selain itu, kritik juga mampu meminimalisir dampak-dampak
yang tidak diinginkan manusia: opresifitas, alienasi, dan kesenjangan manusia
akan manusia lain dan alam.
Tak perlu jauh
melancong ke Jerman, terlebih melewati Institut Frankfurt. Indonesia pun lahir
atas sebuah kritik. Kritik atas kolonialisme yang menancap selama beratus tahun.
Melihat Indonesia dari kacamata kritik kemudian akan ditemukan bahwa kritik itu
sendiri tidak tunggang langgang berhasil dan stabil. artinya kritik tidak lahir
sebagai bayi positivisme dengan watak universal dan saklek.
Indonesia hadir
atas pergulatan menemukan kritik, ketika rakyat dipaksa menanam
komoditi-komoditi khusus yang hanya dinikmati si penjajah, muncul kritik. Ketika
sejumput manusia asing justru memiliki otoritas atas pribumi, Kritik diciptakan.
Ketika Indonesia telah berhasil memenangkan Krtiik pun, kritik tak pernah
lekang. Seperti wabah pes, kritik terus menerus menjangkiti manusia-manusia
Indonesia.
Walau tak
jarang Kritik malah mengundang sebuah kekejian, kenistaan, bahkan kematian. Namun,
bukankah siap untuk menghadapi segala konsekuensi-konsekuensi logis adalah
sebuah tantangan hidup yang buat hidup tak hitam putih. Alangkah indahnya hidup
yang dipenuhi kritik sekaligus memenuhi hidup dengan kritik.
Istilah kritik
sendiri dapat ditelusuri sejak penggunaanya di masa Rennaisance, dalam masa itu masyarakat Eropa membangkitkan kembali
kebudayaan Yunani dan Romawi atas keperluan mengusir dogma Abad Kegelapan
(Hardiman, 1991:51). Secara metodis kita dapat menelusuri karya Immanuel Kant atas
penggunaan kritik secara metodis dalam Critique
of Pure Reason (1781). Berikutnya hadir Hegel, Marx dan makin banyak lagi.
Kritik dikembangkan
atas pergumulan manusia dengan realita, tidak pernah ada aturan main mengenai
kritik dan mengkritik. Bila ada pihak yang naik pitam gara-gara satu kritik,
toh ia bisa membalas dengan kritik-kritik lanjutan. Dan kemudian kritik sendiri
akan berdialektika.
Selepas penjajahan
di Indonesia anak-anak kritik jutsru makin menggila, dalam aras budaya dengan bermuatan
politis hadir polemik kebudayaan antara Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat)
dengan Manikebu (Manifesto Kebudayaan). Tak hanya terang-terangan mencaci maki lewat
karya, aksi bakar-bakaran buku juga sering nampak sebagai sebuah kekejian,
malah nyawa manusia kadang tidak jadi pertimbangan. Maklum, kala itu Indonesia
sedang galau mencari identitasnya, dan paranoid bila muncul lagi hantu
kolonialisme.
Walau demikian,
hidup kritik di Indonesia tak selamanya berkembang. Puluhan tahun, kritik
pernah sama sekali beringsut, mati sebelum berkembang. Ketika kritik harus melewati
jembatan ringsek bernama Departemen Penerangan ia tak mampu menyebrang. Dalam
waliyah yang lebih strategis: pendidikan, malah muncul kebijakan NKK/BKK yang
jelas menganggap kritik sebagai anak haram yang lahir dari institusi pendidikan.
Beruntung jawara-jawara
Reformasi hadir memanggil kritik dari lubang kubur. Dan untuk menghargai
jasanya, maka perlu pula kita generasi pasca-reformasi melayangkan kritik
kepada jawara-jawara tersebut. Belakangan, kritik memang dapat panggunya
sendiri, walau melulu di ranah akademis.
Kini kritik hadir
dengan cara yang manipulatif, misalnya: silakan mengkritik asal sopan dan santun,
beramai-ramailah mengkritik tanpa melukai satu atau banyak hal. Sebelum subjek
bergumul menemukan kritik, ia dipaksa untuk beraturan melahirkan kritik dalam
bentuk yang telah dikomodifikasi. Lama-kelamaan aturan tersebut yang malah
menjauhkan subjek atas pencarian kritik.
Terlihat ada
ambiguitas antara mempersepsi mana yang instrumen dan mana yang jadi tujuan. Tujuan
kritik jelas yaitu memperbaiki apa yang ada menjadi apa yang seharusnya ada. Ihwal
pergeseran menjadi tetek bengek instrumental tadi yang kemudian banyak
mengacaukan gerak kritik. Bila yang ditekankan adalah aturan, nilai, dan norma,
kritik sendiri makin tereduksi nilainya. Ia mungkin akan tersesat menuju pembenahan
konteks.
Lantas, penggunaan
kritik akan menjadi ahistoris, karena tidak bertendensi apapun. Padahal penggunaan
kritik awalnya jelas diposisikan untuk memiliki nilai tertentu sebagai counter attack atas positivisme. Bila sudah
tak memiliki keberpihakan, bagaimana bisa membedakan antara kritik dan curahan
hati (curhat) yang malah lebih
bernilai emosionil belaka dan cenderung kontra-produktif?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar