Senin, 14 Januari 2013

Einsten, Bir, dan Kritik



Untuk ibu-ibu yang tak kuat digoda kritik: Merumuskan hal-hal negatif dari suatu masa transisi jauh lebih bermakna ketimbang karir akademis-Max Horkheimer


‘Little Boy’ dan ‘Fat Man’ memang bukan sembarang tamu, mereka berdualah yang datang tak diundang pada 6 dan 9 Agustus 1945 di Hiroshima dan Nagasaki. Setelah mereka berdua tiba, hampir dua ratus ribu manusia lenyap seketika, yang bersisa pun harus menanggung cacat seumur hidup. Peristiwa ini adalah salah satu bencana terbesar kreasi manusia.

Enam tahun sebelum Hiroshima dan Nagasaki kejatuhan ‘si anak kecil’ dan ‘si gendut’, Albert Einsten si jenius abad dua puluh mengirimi surat kepada Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt pada 2 Agustus 1939. Kurang lebih isi surat tersebut berisi: desakan kepada pemerintah AS untuk mengembangkan rumus mahsyur miliknya: E=M.C2 untuk menciptakan bom atom guna melumpuh pemerintah Nazi Jerman.

19 Oktober 1939, Presiden Roosevelt menandatangani proyek pengembangan bom dengan nama Manhattan Project sembari mengesahkan  Komite Pengembangan Senjata Atom dua hari setelahnya. Einsten sendiri kala itu sudah menetap di Amerika karena adanya pengusiran orang-orang Yahudi Jerman, ia salah seorang Yahudi yang terusir.

Entah apa yang ada di pikiran Einsten kala menyurati Roosevelt untuk bergegas mencipta bom atom. Yang ia tahu kala itu adalah Jerman lewat desas-desus telah memepersiapkan senjata super untuk memenangi Perang Dunia kedua. Einsten sendiri menyesal dan tidak mengira bahwa dampak dari bom atom tersebut sedemikian destruktif. ”Jika mengetahui akan menjadi sampai sedemikian akibatnya, lebih baik saya menjadi tukang reparasi arloji saja,” sesalnya.
Satu yang menarik adalah bahwa problem Einsten bisa dimaknai sebagai problem positivistik, secara vulgar bencana Hiroshima dan Nagasaki bisa ditelisik atas kecenderungan positivistik sebagai penyebabnya. Yakni, pemisahan antara pengetahuan dan kepentingan manusia. Buat orang-orang positivistik, pengetahuan adalah sebuah entitas mandiri yang tanpa campur tangan manusia ia bisa hidup dan bergerak. Sementara saat diturunkan kepada dunia manusia ia tidak akan merubah nilainya.

Ada salah satu lelucon menarik mengenai Einsten dari aktor dan sutradara Australia Greg Pead atau yang terkenal dengan nama beken Yahoo Serious. Dalam film besutannya Young Einsten(1988) ia memposisikan Einsten sebagai bocah eksentrik dari kepulauan Tasmania, Austalia. Einsten muda berasal dari keluarga petani Apel yang dituruni sebuah laboratorium rahasia untuk membuat bir yang memiliki gelembung.

Ceritanya si Eisnten muda mampu memecahkan teka-teki yang hingga lima generasi keluarga Einsten tak mampu membuat bir dengan gelembung. Ia menemukan bir versi gelembung dengan rumus yang baru saja ia ciptakan: energi sama dengan masa dikali kecepatan cahaya kuadrat. Setelah berhasil, ia berniat mematenkan rumus temuannya ke Sidney. Namun di tengah jalan rumus tersebut dicuri, dan oleh si pencuri rumus tersebut dijadikan dasar untuk membuat senjata nuklir yang dapat diperjualbelikan bagi negara yang doyan perang.

Niat si Eisnten muda sederhana, membuat bir bergelembung dengan memecah atom bir, namun menjadi malapetaka ketika rumus itu dicuri. Secara normatif, cerita ini akan menyimpulkan bahwa sifat manusia lah yang akan menyebabkan ilmu pengetahun berwatak baik atau jahat.  Namun, dalam sisi yang lain musti ditekankan bahwa ilmu pengetahuan sendiri memiliki kehendak. Sebuah netralitas dalam memandang ilmu pengetahuan adalah sebuah kenaifan.

Menyalahkan Einsten karena kontirbusinya membawa mudharat juga bukan sebuah tindakan arif, karena bagaimanapun lewat rumus energy relatifnya ia tetap berkontibusi mengantar manusia ke luar bumi. Lantas dengan bagaimana ilmu pengetahuan yang ternyata tidak berdiri mandiri musti dihadapi? Melalui Kritik!

Saudara satu pengusiran Einsten-ia juga diusir Nazi, Max Horkheimer mungkin banyak tahu. Sejak awal ia dengan Hermann Weil dan Felix Weil menginsisasi institut Frankfurt utnuk memproduksi kritik dan melawan kecenderungan positivis dalam masyarakat modern.

Mengapa positivisme dianggap sebagai bencana? Posisi memandang ilmu pengetahuan yang bebas nilai telah terbukti menjadi bumerang atas lahirnya ‘si anak kecil’ dan ‘si gendut’. Hal ini mampu dilakukan karena dalam positivisme atas kenetralannya, ilmu pengetahuan sebagai objek kemudian mampu dimanipulasikan.

Belum lagi via Auguste Comte yang beranak menjadi sosiologi, ia membawa positivisme dalam medan ilmu masyarakat yang memanipulasi manusia dan masyarakat sebagai objek. Maka kemudian sah  muncul istilah penindasan antar manusia, status quo, rekayasa sosial, dan hal beraroma negatif lainnya.

Makanya, ada keterdesakaan untuk terus memproduksi kritik. Kritik sendiri punya porsi untuk secara simultan memberikan refleksi-refleksi atas kehidupan yang telah ada, sedang berlangsung, dan akan muncul. Selain itu, kritik juga mampu meminimalisir dampak-dampak yang tidak diinginkan manusia: opresifitas, alienasi, dan kesenjangan manusia akan manusia lain dan alam.

Tak perlu jauh melancong ke Jerman, terlebih melewati Institut Frankfurt. Indonesia pun lahir atas sebuah kritik. Kritik atas kolonialisme yang menancap selama beratus tahun. Melihat Indonesia dari kacamata kritik kemudian akan ditemukan bahwa kritik itu sendiri tidak tunggang langgang berhasil dan stabil. artinya kritik tidak lahir sebagai bayi positivisme dengan watak universal dan saklek.

Indonesia hadir atas pergulatan menemukan kritik, ketika rakyat dipaksa menanam komoditi-komoditi khusus yang hanya dinikmati si penjajah, muncul kritik. Ketika sejumput manusia asing justru memiliki otoritas atas pribumi, Kritik diciptakan. Ketika Indonesia telah berhasil memenangkan Krtiik pun, kritik tak pernah lekang. Seperti wabah pes, kritik terus menerus menjangkiti manusia-manusia Indonesia.

Walau tak jarang Kritik malah mengundang sebuah kekejian, kenistaan, bahkan kematian. Namun, bukankah siap untuk menghadapi segala konsekuensi-konsekuensi logis adalah sebuah tantangan hidup yang buat hidup tak hitam putih. Alangkah indahnya hidup yang dipenuhi kritik sekaligus memenuhi hidup dengan kritik.

Istilah kritik sendiri dapat ditelusuri sejak penggunaanya di masa Rennaisance, dalam masa itu masyarakat Eropa membangkitkan kembali kebudayaan Yunani dan Romawi atas keperluan mengusir dogma Abad Kegelapan (Hardiman, 1991:51). Secara metodis kita dapat menelusuri karya Immanuel Kant atas penggunaan kritik secara metodis dalam Critique of Pure Reason (1781). Berikutnya hadir Hegel, Marx dan makin banyak lagi.

Kritik dikembangkan atas pergumulan manusia dengan realita, tidak pernah ada aturan main mengenai kritik dan mengkritik. Bila ada pihak yang naik pitam gara-gara satu kritik, toh ia bisa membalas dengan kritik-kritik lanjutan. Dan kemudian kritik sendiri akan berdialektika.

Selepas penjajahan di Indonesia anak-anak kritik jutsru makin menggila, dalam aras budaya dengan bermuatan politis hadir polemik kebudayaan antara Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dengan Manikebu (Manifesto Kebudayaan). Tak hanya terang-terangan mencaci maki lewat karya, aksi bakar-bakaran buku juga sering nampak sebagai sebuah kekejian, malah nyawa manusia kadang tidak jadi pertimbangan. Maklum, kala itu Indonesia sedang galau mencari identitasnya, dan paranoid bila muncul lagi hantu kolonialisme.

Walau demikian, hidup kritik di Indonesia tak selamanya berkembang. Puluhan tahun, kritik pernah sama sekali beringsut, mati sebelum berkembang. Ketika kritik harus melewati jembatan ringsek bernama Departemen Penerangan ia tak mampu menyebrang. Dalam waliyah yang lebih strategis: pendidikan, malah muncul kebijakan NKK/BKK yang jelas menganggap kritik sebagai anak haram yang lahir dari institusi pendidikan.

Beruntung jawara-jawara Reformasi hadir memanggil kritik dari lubang kubur. Dan untuk menghargai jasanya, maka perlu pula kita generasi pasca-reformasi melayangkan kritik kepada jawara-jawara tersebut. Belakangan, kritik memang dapat panggunya sendiri, walau melulu di ranah akademis.

Kini kritik hadir dengan cara yang manipulatif, misalnya: silakan mengkritik asal sopan dan santun, beramai-ramailah mengkritik tanpa melukai satu atau banyak hal. Sebelum subjek bergumul menemukan kritik, ia dipaksa untuk beraturan melahirkan kritik dalam bentuk yang telah dikomodifikasi. Lama-kelamaan aturan tersebut yang malah menjauhkan subjek atas pencarian kritik.

Terlihat ada ambiguitas antara mempersepsi mana yang instrumen dan mana yang jadi tujuan. Tujuan kritik jelas yaitu memperbaiki apa yang ada menjadi apa yang seharusnya ada. Ihwal pergeseran menjadi tetek bengek instrumental tadi yang kemudian banyak mengacaukan gerak kritik. Bila yang ditekankan adalah aturan, nilai, dan norma, kritik sendiri makin tereduksi nilainya. Ia mungkin akan tersesat menuju pembenahan konteks.

Lantas, penggunaan kritik akan menjadi ahistoris, karena tidak bertendensi apapun. Padahal penggunaan kritik awalnya jelas diposisikan untuk memiliki nilai tertentu sebagai counter attack atas positivisme. Bila sudah tak memiliki keberpihakan, bagaimana bisa membedakan antara kritik dan curahan hati (curhat) yang malah lebih bernilai emosionil belaka dan cenderung kontra-produktif? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar