Beberapa minggu yang lalu Jurusan
Sosiologi UNJ didatangi beberapa aparat kepolisian. Kedatangannya bukan karena ada
tindak kriminal yang dilakukan Jurusan Sosiologi UNJ ataupun mahasiswa/I nya,
melainkan dalam upaya sosialisasi kemanan dalam berkendara dan berlalu lintas. Acara
tersebut dibungkus dengan tajuk program pengabdian masyarakat.
Mengenai manusia berkendaraan yang melalu
lintas selalu tampil wajah-wajah arogan, baik dari pelanggar (agen) maupun kontribusi
aparat nakal (struktur). Perbincangan diskusi tersebut juga bermuara kepada perseteruan
siapa yang mendeterminir? Agen atau struktur? Dalam kosmos sosiologikal hal ini
telah menjadi perdebatan klasik, pemikir sosiologi makro juga banyak
terproblematisir dalam aras tersebut, Durkheim, Marx sebagai nabi strukturalis,
sementara Webber sebagai kafir yang membawa risalah pentingnya agensi.
Selanjutnya banyak yang masih merapal teks
suci Marx dan Durkheim, tak sedikit pula yang menyuburkan kekafiran Webber.
Dari dua kelompok ini kemudian muncul nabi-nabi sekuler yang berusaha
mendamaikan kedua kelompok ini. Agak jauh melompat, kita menemukan nama Anthony
Giddens walau bukan yang pertama namun ajaran mengenai sekularisasi agen dan
struktur cukup berpengaruh dan komplit.
Giddens terutama menolak determinisme
struktur, dalam istilahnya agensi dan struktur adalah dualitas yang mirip-mirip
dua sisi mata uang, yang meskipun berbeda ia ada dalam satu bagian. Struktur satu
hal yang diorganisasikan oleh aturan dan sumberdaya, lintas waktu dan ruang yang
disimpan atas proses institusi dan pengkoordinasian lewat melacak sejarah,
serta ditandai atas kehadiran subjek [i]
Kesan dialektis ingin ditampilkan Giddens
sebagai pertautan antara Agen dan Struktur. Ia menekankan pada praktik-praktik
manusia yang kemudian diinstitusikan dan kemudian menjadi sebuah hal yang harus
dilakukan oleh manusia-manusia lainnya. Namun, Giddens memang tidak ingin tertidak
mau terjebak dalam determinisme struktur, kemudian ia menekankan bahwa aktor
juga tidak hanya memantau secara berkelanjutan dari perkembangan aktifitas
mereka dan mengharapkan mereka melakukan hal yang sama. Aktor juga melihat
aspek sosial dan fisik dimana ia bergerak.
Lebih dari itu aktor juga dapat memonitor
proses monitoring tersebut dalam kesadaran diskursif. Skema interpretatif ini
merupakan modus dari basis-basis pengetahuan di dalam kesadaran diri aktor,
yang kemudian diaplikasikan secara reflektif dalam komunikasi berkelanjutan.[ii]
Dalam hal ini, secara lebih umum Giddens memerhatikan proses dialektis ketika
praktik, struktur dan kesadaran dihasilkan.
Corak teori strukturasinya Giddens sendiri
ingin memadupadankan antara kontirbusi agen dalam dinamika struktur dengan
upaya reflektif dari agen dalam monitoring struktur. Disini dapat didapati seorang
Giddens yang humanis, yang ingin menuju harmoni atas padu padannya dua kelompok
yang selama ini diyakini bersitegang hingga akhir zaman: agen dan strukturasi.
Secara khusus, Giddens meluangkan waktu
untuk menyelidiki pertentangan tersebut. Ia memulai dari termin Karl Marx yang akbar
dalam Brumiere XVIII Louis Bonaparte
(1852) : Manusia membuat sejarahnya
sendiri, tetapi mereka membuatnya tidak seperti yang mereka kehendaki. Marx
menulis demikian atas kondisi dimana manusia selalu hadir dalam bentuk yang
tidak orisinal, melainkan lahir atas dominasi yang berwatak eksploitatif dalam
kontradiksi simultan. Akumulasinya terwujud dalam Materialisme Historis Marx
yang meniscayakan komunisme sebagai jawaban pertentangan kelas borjuis dan
proletar.
Giddens tidak sepakat, ia menolak
mentah-mentah paket perkembangan masyarakat yang berkarakter kontradiksi kelas
macam ini, buatnya tendensi kepentingan kelas adalah hal yang superfisial dan relatif.
Sejarah apapun bukanlah berdasar dari sejarah perjuangan kelas (proletar), dan
dominasi tidak hadir secara general dari dominasi kelas (borjuis).[iii]
Dengan menolak Materialisme Historis,
seketika Giddens juga mereduksi dikotomi kelas menurut Marx. Satu sumbangan
khusus Giddens dalam mematahkan argument Materialisme Historis Marx ada dalam A Contemporary Critique of Historical
Materialism (1981). Ia menelusuri asal usul klasifikasi kelas menurut Marx,
Giddens menemukan bahwa surplus produksi yang mengkalaim adanya kepemilikan
alat produksi menjadi sumber munculnya dua bayi proletar dan borjuis. Gagasan
ini cocok dengan skema evolusi Marx sejak ekspansi kekuatan produksi membawa
penciptaan borjuis atas kekayaan materi, ini yang kemudian menentukan kepemilikan
pribadi oleh kelas penguasa[iv]
Mengenai surplus produksi Giddens punya
pendapat lain. Menurutnya surplus produksi tidak mesti berupa kekayaan material
dan berbuah eksploitasi atas satu kelas terhadap kelas lain. Surplus bisa saja
dijewantahkan melampaui apa yang dibutuhkan untuk menjaga sanksi dan atau
kebiasaan hidup manusia. Surplus produksi kadang bisa menciptakan kelas-kelas
baru atas fungsinya. Bahkan jika surplus ada hanya dalam bentuk materi, ia
hanya bisa didefinisikan dalam termin distribusi kekuatan yang asimetris dan
tidak satu arah.[v]
Konsep Marx tersebut menurut Giddens tidak
mampu untuk mengeneralisasi banyak konteks masyarakat, ia mencontohkan adanya
masyarakat ‘kelas-terpecah’[vi],
atau kelas masyarakat non-kapitalis. Artinya kelas masyarakat ini bukan hanya tidak
bersifat eksploitatif, melainkan karena memang mereka tidak memiliki kekuatan
yang cukup. Giddens mencontoh masyarakat yang punya basis ekonomi pertanian,
khususnya yang berskala kecil. kecuali dalam skema irigasi yang besar, di
masyarakat ‘kelas-terpecah’ ketergantungan ekonomi dari produsen agrarian pada
kelas dominan sebenarnya ringan atau ditiadakan.[vii]
Kemunculan masyarakat ‘kelas-terpecah’
versi Giddens dengan serta merta mengakhiri ramalan Marx akan kemunculan Komunisme.
Atas posisinya yang tidak bertendensi kepada pembagian menurut Marx Proletar-Borjuis,
masyarakat ‘kelas-terpecah’ menjadi satu entitas yang khas. Ada corak khas yang
melandasi kemunculan kelas baru versi Giddens ini. Sebelum berkesimpulan bahwa
yang utama adalah praktik-praktik manusia, Giddens sendiri banyak melakukan
riset kecil mengenai teori-teori yang memulai dengan agen atau masyarakat.
Namun dengan konklusi penolakan atas kedua kutub tersebut.[viii]
Dengan menekankan pada prkatik-praktik
manusis, Giddens merumuskan pembagian kelas atas hal yang sangat spesifik.
Kemudian disini kita dapat melihat kelemahan teori strukturasi Giddens melalui
spesfikasi pembagian kelas-kelas tersebut. Pertama tidak adanya signifikansi atas
beragam kelas-kelas baru yang diciptakannya, ia hanya memiliki fungsi dan peran
terhadap konteks.
Kelas-Kelas ciptaan Borjuasi
Sebelum meminta bantuan Karl Marx sebagai
dokter bedah atas penyakit kronis Giddens, ada baiknya kita memerhatikan
beberapa teks yang masih dalam semangat zaman yang sama dapat dijumpai pada
tulisan Harry Braverman (1974). Ihwal kelas yang lepas dari tendensi
Borjuis-Proletar, Braverman juga menyadari ada konteks dimana hadir kelompok-kelompok
menengah, namun dengan sigap ia kembali mensubjektifikasikan kelompok tersebut
dalam tendensi borjuasi-proletar .
Bila menurut Giddens ada masyarakat
‘Kelas-terbagi’ Braverman dengan contoh masyarakat non-kapitalis atas
tanda-tanda produksi agraris dalam sekala kecil, Bravermen beranggapan bahwa
kemunculan kelas menengah macam itu makin memudar atas hadirnya kapitalisme
monopoli. Kondisinya tidak seperti borjuis kecil pada awal kemunculan kelas
menengah yang menguap, kelas menengah menandakan korespondensi formal atas
definisi kelas pekerja.
kelas menengah tersebut menurut Braveman makin
tak memiliki kemandirian ekonomi atau pekerjaan, yang kemudian dipekerjakan
oleh modal dan turunannya, serta tidak memiliki akses ke dalam proses kerja
atau alat-alat produksi sembari terus-menerus memperbarui tenaganya dalam
rangka bertahan hidup.[ix]
Lantas bagaimana kelompok menengah dengan
kerja yang lebih spesifik hadir? Spesifikasi kerja dalam skema kapitalisme
monopoli, hadir atas proses hirarkis yang dibentuk kelompok borjuis. Pertama,
kapitalisme monopoli membongkar proses kerja dan kemudian memecah-mecah pekerja
dengan divisi-divisi dan subdivisi dari pekerjaan menjadi kegiatan yang seksama
dan sangat terspesialisasi.
Misalnya, eksekutif operasional dinilai
dari posisi manejerial mereka yang tinggi, portofolio investasi personal,
pengambil keputusan yang independen, kedudukan hirarki dalam proses
ketenagakerjaan, posisi dalam komunitas kapitalisme dalam skala besar
menempatkan mereka kepada posisi liyan dari
proletariat. Baraverman menganalisis bahwa kelompok macam ini sebenarnya
didasaari atas spesialisai kerja, dan sebenarnya, atribut formal tersebut
adalah memiliki skema gaji yang sama dengan pekerja-pekerja produksi.[x]
Pemecahan fungsi kerja ini menimbulkan
kesan baru yang independen, yang sering disebut pekerja kerah putih, yang punya
tingkat hirarki lebih tinggi ketimbang pekerja upahan. Dan oleh karenanya, ia
kemudian memisahkan diri atas gagasan proletarianisasi, dan cenderung kontra revolusioner
terhadap kelompok borjuis.
Lebih lanjut kemudian penemuan kelas-kelas
yang terfragmentasi juga telah disinggung oleh Karl Marx sendiri. Namun, Marx
sedari awal sudah mengantisipasi perkembangannya, dalam teks Manifesto Komunisme (1848) sisa-sisa
kelas dalam masa feodalisme disebutkan Marx ternyata semakin terkooptasi oleh Kapitalisme.
Industri modern telah mengubah bengkel kecil kepunyaan majikan patriarkal
menjadi pabrik besar kepunyaan kapitalis industri.[xi]
Atas konteks tersebut, ada kelas-kelas
yang makin terpolarisasi, dalam artian ia merupakan sebuah upaya defragmentasi.
Kelas-kelas yang tadinya ada sebagai kelas menengah atau diluar tendensi
borjuis-proletar makin tersungkur ke dalam dua kutub tersebut. Cirinya adalah
modus produksi yang mempresentasikan kelas. Kapitalisme sendiri sebagai kelas
dominan dengan borjuan-borjuan sebagai agensinya.
Hal ini dimungkinkan atas ide awal
Materialisme Dialektika Marx, yang menekankan bahwa kehadiran suprastruktur
mutlak ditentukan basis material. Bukan proses kesadaran kehidupan sosial,
politik, dan intelektual manusia yang membentuk kenyataan pada diri manusia,
melainkan sebaliknya kenyataan sosial manusia yang menentukan kesadarannya.[xii]
Seperti diungkap Bareverman awal bahwa
penjualan tenaga kerja atas apapun spesifikasi kerja dan posisinya adalah sama,
adalah sebuah pekerja. lebih kompleks seandainya ada eksistensi kelas menengah,
ia akan memadat menjadi proletar.[xiii]
Hal ini merupakan objektifikasi atas kontradiksi-kontradiksi kapitalisme; bahwa
selain dari revolusi komunis, Kapitalisme juga diniscayakan Marx akan hancur
dari kontradiksi internalnya, yakni dari persaingan antar kapitalisme dan
semakin menyuburkan jumlah proletariat.
Menyuburnya proletar dapat dimulai dari
ketidakmampuan kelas menengah itu dalam menghadapi persaingan kapitalisme
massif. Lapisan rendah dari kelas menengah semua ini berangsur-angsur jatuh
menjadi proletariat sebagian oleh karena kapitalnya yang kecil tidak cukup
untuk menjalankan industri besar dan menderita kekalahan dalam persaingan
dengan kaum kapitalis besar, sebagian oleh karena keahlian mereka menjadi tidak
berharga untuk cara-cara produksi yang baru. Begitulah proletariat terjadi dari
segala jenis penduduk[xiv]
Mereka yang tersisih ini yang kemudian
dimaknai Giddens sebagai masyarakat non-kapitalis yang mengembangkan sistem
ekonomi sendiri alias ‘masyarakat-terpecah’. Yang kemudian independen hadir.
Namun, Barverman turut menyempurnakan asumsi Marx tersebut. Bahwa lewat
spesialisasi kerja masyarakat residu tersebut masih digunakan kapitalisme dengan
keuntungan mendapatkan tenaga kerjanya yang murah, dan dalam jumlah banyak.[xv]
Dengen demikian bahwa konsepsi mengenai kelas
menengah-khususnya teori strukturasi Giddens-yang memungkin adanya kontirbusi
kelas menengah dalam dinamika masyarakat sebanarnya hanya jejaring ilusi yang
diciptakan oleh kelas dominan itu sendiri. Kebutuhan akan penciptaan
kelas-kelas baru yang sebenarya artifisial jelas dibutuhkan kelompok dominan
(Kapitalisme) agar menjaga eksistensinya. Terlepas dari kecenderuangan kekuatandan
eksploitatif.
Maka, dalam arti ini butuh upaya
defragmentasi atau konsepsi atas pemecahan kelas-kelas yang belakangan jadi barang
menarik dalam perdebatan sosiologis. Walau terkesan usang, namun signifikansi akan
hadirnya dua kutub kelas tersebut mampu mengembalikan fitrah teori-teori
sosiologi sebagai teori praxis, yang bukan hanya mengandalkan produksi
diskursus melainkan menyiapkan konteks dimana keterlibatan manusia secara aktif
atas menangani problem sosial.
[i] Anthony Giddens, The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (London:
Polity Press, 1984) hal. 25
[iv] Anthony Giddens, A Contemporary Crtique of Historical Materialism (California:
University of California Press, 1981) hal. 110.
[v] Berangkat dari kritik klasik Marx atas
ekonomi-politik, bahwa pertukaran tenaga kerja dan modal dalam kapitalisme menciptakan
kekuatan yang koersif melalui kerja upahan.
[vi] Bahasa Inggrisnya: tha ‘class-divided’
societies.
[viii] George Ritzer, Teori Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) hal.889.
[ix] Harry Braverman, Labor and Monopoly Capital of Work in Twentieth Century (New York:
Monthly Review Press, 1998) hal. 279
[x] Ibid, hal. 280. Lebih lanjut mengenai pemecahan
kerja, Braverman mengistilahkan adanya kendali menajerial-yang diposisikan
seperti penjelasan di atas-yang berfungsi sebagai kontrol bagi pekerja rendah,
Bareverman menyebutnya dengan ‘tentara pabrik’
[xi] Karl Marx, dan F. Engels, Manifesto Komunis. 1848.
[xiii] Dimana Giddens mampu menjelaskan kemunculan
kelas mengeah, sementara tidak berhasil merumuskan atas kemungkinan-kemungkinan
apa kelompok menengah mampu bertahan.
[xiv] Karl Marx, dan F. engels, Op cit.
[xv] George Ritzer, Op Cit, hal. 507.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar