Rabu, 02 Januari 2013

Defragmentasi Kelas: Upaya Revitalisasi Konsep Kelas Karl Marx


Beberapa minggu yang lalu Jurusan Sosiologi UNJ didatangi beberapa aparat kepolisian. Kedatangannya bukan karena ada tindak kriminal yang dilakukan Jurusan Sosiologi UNJ ataupun mahasiswa/I nya, melainkan dalam upaya sosialisasi kemanan dalam berkendara dan berlalu lintas. Acara tersebut dibungkus dengan tajuk program pengabdian masyarakat.
Mengenai manusia berkendaraan yang melalu lintas selalu tampil wajah-wajah arogan, baik dari pelanggar (agen) maupun kontribusi aparat nakal (struktur). Perbincangan diskusi tersebut juga bermuara kepada perseteruan siapa yang mendeterminir? Agen atau struktur? Dalam kosmos sosiologikal hal ini telah menjadi perdebatan klasik, pemikir sosiologi makro juga banyak terproblematisir dalam aras tersebut, Durkheim, Marx sebagai nabi strukturalis, sementara Webber sebagai kafir yang membawa risalah pentingnya agensi.
Selanjutnya banyak yang masih merapal teks suci Marx dan Durkheim, tak sedikit pula yang menyuburkan kekafiran Webber. Dari dua kelompok ini kemudian muncul nabi-nabi sekuler yang berusaha mendamaikan kedua kelompok ini. Agak jauh melompat, kita menemukan nama Anthony Giddens walau bukan yang pertama namun ajaran mengenai sekularisasi agen dan struktur cukup berpengaruh dan komplit.
Giddens terutama menolak determinisme struktur, dalam istilahnya agensi dan struktur adalah dualitas yang mirip-mirip dua sisi mata uang, yang meskipun berbeda ia ada dalam satu bagian. Struktur satu hal yang diorganisasikan oleh aturan dan sumberdaya, lintas waktu dan ruang yang disimpan atas proses institusi dan pengkoordinasian lewat melacak sejarah, serta ditandai atas kehadiran subjek [i]
Kesan dialektis ingin ditampilkan Giddens sebagai pertautan antara Agen dan Struktur. Ia menekankan pada praktik-praktik manusia yang kemudian diinstitusikan dan kemudian menjadi sebuah hal yang harus dilakukan oleh manusia-manusia lainnya. Namun, Giddens memang tidak ingin tertidak mau terjebak dalam determinisme struktur, kemudian ia menekankan bahwa aktor juga tidak hanya memantau secara berkelanjutan dari perkembangan aktifitas mereka dan mengharapkan mereka melakukan hal yang sama. Aktor juga melihat aspek sosial dan fisik dimana ia bergerak.
Lebih dari itu aktor juga dapat memonitor proses monitoring tersebut dalam kesadaran diskursif. Skema interpretatif ini merupakan modus dari basis-basis pengetahuan di dalam kesadaran diri aktor, yang kemudian diaplikasikan secara reflektif dalam komunikasi berkelanjutan.[ii] Dalam hal ini, secara lebih umum Giddens memerhatikan proses dialektis ketika praktik, struktur dan kesadaran dihasilkan.
Corak teori strukturasinya Giddens sendiri ingin memadupadankan antara kontirbusi agen dalam dinamika struktur dengan upaya reflektif dari agen dalam monitoring struktur. Disini dapat didapati seorang Giddens yang humanis, yang ingin menuju harmoni atas padu padannya dua kelompok yang selama ini diyakini bersitegang hingga akhir zaman: agen dan strukturasi.
Secara khusus, Giddens meluangkan waktu untuk menyelidiki pertentangan tersebut. Ia memulai dari termin Karl Marx yang akbar dalam Brumiere XVIII Louis Bonaparte (1852) : Manusia membuat sejarahnya sendiri, tetapi mereka membuatnya tidak seperti yang mereka kehendaki. Marx menulis demikian atas kondisi dimana manusia selalu hadir dalam bentuk yang tidak orisinal, melainkan lahir atas dominasi yang berwatak eksploitatif dalam kontradiksi simultan. Akumulasinya terwujud dalam Materialisme Historis Marx yang meniscayakan komunisme sebagai jawaban pertentangan kelas borjuis dan proletar.
Giddens tidak sepakat, ia menolak mentah-mentah paket perkembangan masyarakat yang berkarakter kontradiksi kelas macam ini, buatnya tendensi kepentingan kelas adalah hal yang superfisial dan relatif. Sejarah apapun bukanlah berdasar dari sejarah perjuangan kelas (proletar), dan dominasi tidak hadir secara general dari dominasi kelas (borjuis).[iii]
Dengan menolak Materialisme Historis, seketika Giddens juga mereduksi dikotomi kelas menurut Marx. Satu sumbangan khusus Giddens dalam mematahkan argument Materialisme Historis Marx ada dalam A Contemporary Critique of Historical Materialism (1981). Ia menelusuri asal usul klasifikasi kelas menurut Marx, Giddens menemukan bahwa surplus produksi yang mengkalaim adanya kepemilikan alat produksi menjadi sumber munculnya dua bayi proletar dan borjuis. Gagasan ini cocok dengan skema evolusi Marx sejak ekspansi kekuatan produksi membawa penciptaan borjuis atas kekayaan materi, ini yang kemudian menentukan kepemilikan pribadi oleh kelas penguasa[iv]
Mengenai surplus produksi Giddens punya pendapat lain. Menurutnya surplus produksi tidak mesti berupa kekayaan material dan berbuah eksploitasi atas satu kelas terhadap kelas lain. Surplus bisa saja dijewantahkan melampaui apa yang dibutuhkan untuk menjaga sanksi dan atau kebiasaan hidup manusia. Surplus produksi kadang bisa menciptakan kelas-kelas baru atas fungsinya. Bahkan jika surplus ada hanya dalam bentuk materi, ia hanya bisa didefinisikan dalam termin distribusi kekuatan yang asimetris dan tidak satu arah.[v]
Konsep Marx tersebut menurut Giddens tidak mampu untuk mengeneralisasi banyak konteks masyarakat, ia mencontohkan adanya masyarakat ‘kelas-terpecah’[vi], atau kelas masyarakat non-kapitalis. Artinya kelas masyarakat ini bukan hanya tidak bersifat eksploitatif, melainkan karena memang mereka tidak memiliki kekuatan yang cukup. Giddens mencontoh masyarakat yang punya basis ekonomi pertanian, khususnya yang berskala kecil. kecuali dalam skema irigasi yang besar, di masyarakat ‘kelas-terpecah’ ketergantungan ekonomi dari produsen agrarian pada kelas dominan sebenarnya ringan atau ditiadakan.[vii]
Kemunculan masyarakat ‘kelas-terpecah’ versi Giddens dengan serta merta mengakhiri ramalan Marx akan kemunculan Komunisme. Atas posisinya yang tidak bertendensi kepada pembagian menurut Marx Proletar-Borjuis, masyarakat ‘kelas-terpecah’ menjadi satu entitas yang khas. Ada corak khas yang melandasi kemunculan kelas baru versi Giddens ini. Sebelum berkesimpulan bahwa yang utama adalah praktik-praktik manusia, Giddens sendiri banyak melakukan riset kecil mengenai teori-teori yang memulai dengan agen atau masyarakat. Namun dengan konklusi penolakan atas kedua kutub tersebut.[viii]
Dengan menekankan pada prkatik-praktik manusis, Giddens merumuskan pembagian kelas atas hal yang sangat spesifik. Kemudian disini kita dapat melihat kelemahan teori strukturasi Giddens melalui spesfikasi pembagian kelas-kelas tersebut. Pertama tidak adanya signifikansi atas beragam kelas-kelas baru yang diciptakannya, ia hanya memiliki fungsi dan peran terhadap konteks.
Kelas-Kelas ciptaan Borjuasi
Sebelum meminta bantuan Karl Marx sebagai dokter bedah atas penyakit kronis Giddens, ada baiknya kita memerhatikan beberapa teks yang masih dalam semangat zaman yang sama dapat dijumpai pada tulisan Harry Braverman (1974). Ihwal kelas yang lepas dari tendensi Borjuis-Proletar, Braverman juga menyadari ada konteks dimana hadir kelompok-kelompok menengah, namun dengan sigap ia kembali mensubjektifikasikan kelompok tersebut dalam tendensi borjuasi-proletar .
Bila menurut Giddens ada masyarakat ‘Kelas-terbagi’ Braverman dengan contoh masyarakat non-kapitalis atas tanda-tanda produksi agraris dalam sekala kecil, Bravermen beranggapan bahwa kemunculan kelas menengah macam itu makin memudar atas hadirnya kapitalisme monopoli. Kondisinya tidak seperti borjuis kecil pada awal kemunculan kelas menengah yang menguap, kelas menengah menandakan korespondensi formal atas definisi kelas pekerja.
kelas menengah tersebut menurut Braveman makin tak memiliki kemandirian ekonomi atau pekerjaan, yang kemudian dipekerjakan oleh modal dan turunannya, serta tidak memiliki akses ke dalam proses kerja atau alat-alat produksi sembari terus-menerus memperbarui tenaganya dalam rangka bertahan hidup.[ix]
Lantas bagaimana kelompok menengah dengan kerja yang lebih spesifik hadir? Spesifikasi kerja dalam skema kapitalisme monopoli, hadir atas proses hirarkis yang dibentuk kelompok borjuis. Pertama, kapitalisme monopoli membongkar proses kerja dan kemudian memecah-mecah pekerja dengan divisi-divisi dan subdivisi dari pekerjaan menjadi kegiatan yang seksama dan sangat terspesialisasi.
Misalnya, eksekutif operasional dinilai dari posisi manejerial mereka yang tinggi, portofolio investasi personal, pengambil keputusan yang independen, kedudukan hirarki dalam proses ketenagakerjaan, posisi dalam komunitas kapitalisme dalam skala besar menempatkan mereka kepada posisi liyan dari proletariat. Baraverman menganalisis bahwa kelompok macam ini sebenarnya didasaari atas spesialisai kerja, dan sebenarnya, atribut formal tersebut adalah memiliki skema gaji yang sama dengan pekerja-pekerja produksi.[x]
Pemecahan fungsi kerja ini menimbulkan kesan baru yang independen, yang sering disebut pekerja kerah putih, yang punya tingkat hirarki lebih tinggi ketimbang pekerja upahan. Dan oleh karenanya, ia kemudian memisahkan diri atas gagasan proletarianisasi, dan cenderung kontra revolusioner terhadap kelompok borjuis.
Lebih lanjut kemudian penemuan kelas-kelas yang terfragmentasi juga telah disinggung oleh Karl Marx sendiri. Namun, Marx sedari awal sudah mengantisipasi perkembangannya, dalam teks Manifesto Komunisme (1848) sisa-sisa kelas dalam masa feodalisme disebutkan Marx ternyata semakin terkooptasi oleh Kapitalisme. Industri modern telah mengubah bengkel kecil kepunyaan majikan patriarkal menjadi pabrik besar kepunyaan kapitalis industri.[xi]
Atas konteks tersebut, ada kelas-kelas yang makin terpolarisasi, dalam artian ia merupakan sebuah upaya defragmentasi. Kelas-kelas yang tadinya ada sebagai kelas menengah atau diluar tendensi borjuis-proletar makin tersungkur ke dalam dua kutub tersebut. Cirinya adalah modus produksi yang mempresentasikan kelas. Kapitalisme sendiri sebagai kelas dominan dengan borjuan-borjuan sebagai agensinya.
Hal ini dimungkinkan atas ide awal Materialisme Dialektika Marx, yang menekankan bahwa kehadiran suprastruktur mutlak ditentukan basis material. Bukan proses kesadaran kehidupan sosial, politik, dan intelektual manusia yang membentuk kenyataan pada diri manusia, melainkan sebaliknya kenyataan sosial manusia yang menentukan kesadarannya.[xii]
Seperti diungkap Bareverman awal bahwa penjualan tenaga kerja atas apapun spesifikasi kerja dan posisinya adalah sama, adalah sebuah pekerja. lebih kompleks seandainya ada eksistensi kelas menengah, ia akan memadat menjadi proletar.[xiii] Hal ini merupakan objektifikasi atas kontradiksi-kontradiksi kapitalisme; bahwa selain dari revolusi komunis, Kapitalisme juga diniscayakan Marx akan hancur dari kontradiksi internalnya, yakni dari persaingan antar kapitalisme dan semakin menyuburkan jumlah proletariat.
Menyuburnya proletar dapat dimulai dari ketidakmampuan kelas menengah itu dalam menghadapi persaingan kapitalisme massif. Lapisan rendah dari kelas menengah semua ini berangsur-angsur jatuh menjadi proletariat sebagian oleh karena kapitalnya yang kecil tidak cukup untuk menjalankan industri besar dan menderita kekalahan dalam persaingan dengan kaum kapitalis besar, sebagian oleh karena keahlian mereka menjadi tidak berharga untuk cara-cara produksi yang baru. Begitulah proletariat terjadi dari segala jenis penduduk[xiv]
Mereka yang tersisih ini yang kemudian dimaknai Giddens sebagai masyarakat non-kapitalis yang mengembangkan sistem ekonomi sendiri alias ‘masyarakat-terpecah’. Yang kemudian independen hadir. Namun, Barverman turut menyempurnakan asumsi Marx tersebut. Bahwa lewat spesialisasi kerja masyarakat residu tersebut masih digunakan kapitalisme dengan keuntungan mendapatkan tenaga kerjanya yang murah, dan dalam jumlah banyak.[xv]
Dengen demikian bahwa konsepsi mengenai kelas menengah-khususnya teori strukturasi Giddens-yang memungkin adanya kontirbusi kelas menengah dalam dinamika masyarakat sebanarnya hanya jejaring ilusi yang diciptakan oleh kelas dominan itu sendiri. Kebutuhan akan penciptaan kelas-kelas baru yang sebenarya artifisial jelas dibutuhkan kelompok dominan (Kapitalisme) agar menjaga eksistensinya. Terlepas dari kecenderuangan kekuatandan eksploitatif.
Maka, dalam arti ini butuh upaya defragmentasi atau konsepsi atas pemecahan kelas-kelas yang belakangan jadi barang menarik dalam perdebatan sosiologis. Walau terkesan usang, namun signifikansi akan hadirnya dua kutub kelas tersebut mampu mengembalikan fitrah teori-teori sosiologi sebagai teori praxis, yang bukan hanya mengandalkan produksi diskursus melainkan menyiapkan konteks dimana keterlibatan manusia secara aktif atas menangani problem sosial.



[i] Anthony Giddens, The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (London: Polity Press, 1984) hal. 25
[ii] Ibid, hal. 29.
[iii] Ibid. hal. 256. Dalam kurung ditambahkan penulis
[iv] Anthony Giddens, A Contemporary Crtique of Historical Materialism (California: University of California Press, 1981) hal. 110.
[v] Berangkat dari kritik klasik Marx atas ekonomi-politik, bahwa pertukaran tenaga kerja dan modal dalam kapitalisme menciptakan kekuatan yang koersif melalui kerja upahan.
[vi] Bahasa Inggrisnya: tha ‘class-divided’ societies.
[vii] Op, Cit, hal 112.
[viii] George Ritzer, Teori Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) hal.889.
[ix] Harry Braverman, Labor and Monopoly Capital of Work in Twentieth Century (New York: Monthly Review Press, 1998) hal. 279
[x] Ibid, hal. 280. Lebih lanjut mengenai pemecahan kerja, Braverman mengistilahkan adanya kendali menajerial-yang diposisikan seperti penjelasan di atas-yang berfungsi sebagai kontrol bagi pekerja rendah, Bareverman menyebutnya dengan ‘tentara pabrik’
[xi] Karl Marx, dan F. Engels, Manifesto Komunis. 1848.
[xii] Karl Marx. The Portable Karl Marx diedit Eugene Kamenka. New York. 1983
[xiii] Dimana Giddens mampu menjelaskan kemunculan kelas mengeah, sementara tidak berhasil merumuskan atas kemungkinan-kemungkinan apa kelompok menengah mampu bertahan.
[xiv] Karl Marx, dan F. engels, Op cit.
[xv] George Ritzer, Op Cit, hal. 507.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar