Jumat, 12 Oktober 2012

Sosiologi Povokasi!


Pendahuluan

Awalnya adalah diskusi kelas mengenai bagaimana kurikulum Jurusan Sosiologi UNJ ditinjau melalui teori-teori sosiologi. Dalam diskusi yang diikuti delapan kelompok tersebut, hanya ada satu kelompok yang menggunakan teori konflik sebagai landasan guna meninjau kurikulum Jurusan Sosiologi, sisanya menggunakan teori fungsionalisme Emile Durkheim.

Dari diskusi tersebut hadir pertanyaan apa tujuan Jurusan Sosiologi yang termanifestasikan dalam visi dan misi Jurusan Sosiologi. Muncul juga beragam jawaban yang sifatnya normatif. Misalnya: munculnya pelatihan IT (Informasi Teknologi), komputer, diyakini mampu menjadikan mahasiswa menjadi guru sosiologi yang tanggap akan teknologi. 

Semua kebijakan kurikulum sosiologi diimani menjadi pendorong mahasiswa menjadi guru sosiologi yang kompeten sekaligus menjawab tantangan zaman. Sampai ada salah satu peserta diskusi yang menganggap kemunculan mata kuliah Sosiologi Agama diharapkan mampu meningkatkan iman dan taqwa mahasiswa, dan menunjang dimensi religi dalam konfigurasi guru yang sempurna.

Kemudian saya heran, kenapa jurusan yang memiliki visi menjadi program studi unggulan di tingkat nasional yang menghasilkan sarjana sosiologi yang mampu bernalar sosiologis ini justru malah menghadirkan iklim yang tidak sosiologis, dengan contoh tersebut. Beberapa paper yang sempat saya lihat malah hanya mengutip dari wikipedia.

Menjadi arogan bila menyalahkan peserta didik yang tidak mampu bernalar sosiologis sementara Jurusan Sosiologi sebagai struktur yang mengonformitas justru tidak pernah merangsang mahasiswa bernalar sosiologis. Lantas menjadi wajar bila mengatakan kurikulum Jurusan Sosiologi UNJ belum berhasil atawa gagal.

Atas kondisi tersebut muncul ketertarikan buat menggunakan teori kritis khususnya yang diusung institut frankfurt buat menganalisis kurikulum Jurusan Sosiologi UNJ.


Teori Kritis dan Ilmu Pengetahuan

Membaca teori kritis harus dimulai dengan negativitas terhadap apapun-termasuk teori kritis sendiri.  Teori kritis khususnya yang berasal dari Institut Frankfurt hampir menjamah semua ranah hidup manusia. Tentunya dengan sebuah kritik. Makanya teori kritis Frankfurt lebih banyak menghasilkan kritik ketimbang sumbangan positif. Negativitas yang tiada henti itu menyakitkan hati  banyak sarjana. (Ritzer:2011)

Kareana lebih banyak mencipta kritik, buat saya malah Institut Frankfurt lebih pantas dibilang memproduksi cemoohan dengan metodis.  Walaupun demikian, Institut Frankfurt memang sedari awal meniatkan memproduksi kritik dengan negativitas akut. Seperti yang dikatakan Max Horkheimer: Institut frankfurt bergerak bersama dengan keyakinan bulat bahwa merumuskan hal-hal negatif suatu masa transisi jauh lebih bermakna ketimbang karir akademis (Jay:2005).

Makanya ketimbang memandang Teori Kritis sebagai pencemooh masyarakat, akan lebih bijaksana melihat mereka sebagai satu perangkat dialektis dalam menghadapi kemandekan lewat niat yang lurus dan konsisten dalam melihat masyarakat lewat kacamata kritis. 

Negativitas yang jadi semangat teori kritis dapat menyambangi semua dimensi masyarakat: ekonomi, politik, budaya. Walaupun demikan, dimensi pendidikan jarang dapat bagian dalam awal penelitian-penelitian Teori Kritis (Jay:2005). Dimensi pendidikan dijadikan fokus penelitian atas kerangka teori yang sudah dibangun sebelumnya.  Artinya ada grand teori yang dibangun lewat penelitian bagaimana masyarakat modern memliki relasi kelas. Nah, teori tersebut kemudian digunakan untuk membuat penelitian di dalam pendidikan. 

Makanya, teori kritis lebih suka memposisikan pendidikan sebagai suordinasi atas masyarakat modern. Istilahnya masyarakat modern menciptakan pendidikan menjadi sebuah industri karena relasi-relasinya yang semakin industrial. Istilahnya “Industri Pengetahuan.” Teori Kritis berminat atas pendidikan karena mengacu pada entitas-entitas berkenaan dengan produksi pengetahuan (misalnya universitas dan lembaga riset) telah menjadi struktur yang otonom di dalam masyarakat (Ritzer: 2011)

Pendidikan baru sempat jadi fokus utama ketika Jurgen Habermas menerbitkan Toward a Rational Society (1970) dan Knowledge and Human Interest (1971). Dalam Knowledge and Human Interest, Hsbermas mengklasifikasikan Ilmu pengetahuan menjadi tiga: ilmu teknis, ilmu praktis, dan ilmu emansipatoris.
Pengetahuan teknis berupa penjelasan kausalitas yang dijewantahakan pada media kerja (konkretisasi). Pengetahuan macam ini tercermin pada ilmu-ilmu alam yang memang berkerja secara mekanik. Disini ilmu pengetahuan teknis punya kepentingan atas prediksi dan kendali teknis.Selanjutnya adalah pengetahuan praktis berupa penjelasan interpretatif yang berusaha menjelaskan pengetahuan-pengetahuan itu. Hanya saja, pengetahuan masih dimaknai sebagai proses tunggal tanpa nilai. Terakhir adalah pengetahuan emansipatoris yang punya niat menyingkap relasi-relasi pengetahuan itu hadir. Pengetahuan emansipatoris terwujud dalam ilmu-ilmu kritis yang harus berperan signifikan dalam upaya transformasi sosial.

Buat habermas, pengetahuan yang disediakan di intitusi pendidikan hanya pengetahuan teknis, dan praktis. Habermas melihat bahwa sekolah adalah representasi bagaimana institusi pendidikan juga turut aktif mengkonfigurasi kebutuhan kapitalisme, dengan domestifikasi di wilayah pengetahuan teknis, dan praktis. (Nuryatno:2008)

Penjelasan menganai teori kritis dan klasifikasi pengetahun akan berguna atas pembacaan situasi bagaimana kurikulum Jurusan Sosiologi UNJ ada. Selain itu, hal ini juga berfaedah untuk melihat tendensi apa yang akan tercipta dan diciptakan nanti.

Kurikulum Sosiologi yang Tidak Sosiologis

Sudah jauh-jauh hari ahli pendidikan revolusioner Brazil Paulo Freire mengingatkan bahwa netralitas terhadap pendidikan adalah sebuah kenaifan. Pendidikan, secara keseluruhan memang digunakan sebagai alat atas upaya menjaga eksistensi kelompok dominan. Lewat kurikulum, metode pengajaran, hingga sistem produksi guru diyakini Freire meciptakan manusia-manusia yang siap menyokong konfigurasi kelompok dominan. 

Para ahli sosiologi pendidikan tidak sepakat bahwa yang diajarkan pada siswa sekolah sebagai pengetahuan objektif, melainkan pengetahuan yang mengandung dominasi budaya, yaitu pengetahuan yang disusun melalui proses selektif yang memasukkan kepentingan tertentu dan membuang yang lainnya. Pemadatan kepentingan tersebut terwujud dalam kurikulum di tiap satuan pendidikan.

Makanya kurikulum berperan besar atas sejarah hubungan yang dibangun antar institusi pendidikan dengan masyarakat (Apple:2004) dari sini dapat dilihat ada hubungan antar masyarakat dan institusi pendidikan lewat kurikulumnya. Artinya kurikulum bisa menjadi manifestasi kebutuhan masyarakat, di satu sisi kurikulum juga dapat membentuk masyarakat.

Memahami tingkat ini cocok dengan klasifikasi ilmu Praktis Habermas. Tahap ini sudah hadir dalam Jurusan Sosiologi UNJ. Dalam diskusi yang pertama diceritakan, mahasiswa sudah mampu membuat interpretasi atas apa yang ingin diciptakan jurusan Sosiologi. Walaupun, tendensinya sangat normatif dan positivistik karena dihadapkan atas represi akademis yang besar. Tujuan mencipta nalar sosiologis belum tercapai disini.

kemampuan nalar sosiologis mustinya mampu menjangkau pertanyaan: kenapa ada harapan masyarakat atas mahasiswa? Masyarakat mana yang memprooduksi kurikulum? Apa kepentingannya?. Pertanyaan ini harus sering diulang karena pengetahuan yang masuk dalam institusi pendidikan tidaklah acak, melainkan dipilih.
Ilmu penegetahuan tersebut merepresentasikan pandangan pemilik otoritas (dalam hal ini Jurusan Sosiologi UNJ) atas apa yang normal dan apa yang menyimpang? Mana yang baik mana yang buruk, dan bagaimana seharusnya masyarakat bertingkah polah (Apple:2004).

Misalnya kehadiran mata kuliah Sosiologi Agama bisa dimaknai atas tanggapan Jurusan sosiologi UNJ atas maraknya konflik keberagaman belakangan hari di Indonesia. Mata Kuliah ini hadir di tahun ajaran 2011-2012 untuk mahasiswa angkatan 2008 yang sudah tahap akhir. Sedangkan tahun ajaran 2012-2013 mata kuliah ini sudah masuk ke semester 5.

Satu sisi, lewat banyaknya konflik keberagamaan tersebut, muncul pula upaya-upaya advokasi dari Non Government Organization (NGO). Kontestasinya, Jurusan Sosiologi UNJ ingin menyediakan tenaga siap pakai buat mengkonfigurasi kebutuhan sumber daya akan NGO tersebut. Nalar sosiologis mustinya bisa pula menjelaskan bagaimana NGO justru banyak disokong dan didanai oleh korporasi-korporasi besar, premis tersebut bisa membangun kesimpulan ternyata Jurusan Sosiologi UNJ punya kecenderungan terhadap korporasi besar.

Pernyataan tersebut sebenarnya mampu dan sangat layak untuk diperdebatkan. Tapi hal demikian yang semestinya mampu memacu perdebatan hingga membentuk kultur akademik yang dialektis dan punya gairah sosiologi. Bukan malah memandang semua dengan nilai-dan norma yang sudah ada seperti kemunculan mata kuliah Sosiologi Agama guna meningkatkan iman dan taqwa mahasiswa.

Intepretasi normatif tersebut sebenarnya lumrah walaupun tidak dapat dijadikan pembenaran. Lumrah karena Jurusan Sosiologi jarang mengenalkan dunia literasi kepada mahasiswanya. Hal ini terbukti dari jarangnya mata kuliah yang mewajibkan mahasiswa membaca buku baik yang primer maupun hanya sekadar penunjang dalam mata kuliah tersebut. Hal ini dirasa perlu guna membangun perspektif sosiologis, selain itu, kelak banyak membaca literasi mampu membangun argumen-argumen yang sahih, mahasiswa juga akan dibiasakan menghadapi kegiatan ilmiah (skripsi, jurnal, penelitian).

Akan ditemukan satu titik mengenai kurikulum Jurusan Sosiologi, khususnya dalam Program Studi Pendidikan Sosiologi. Dalam kurikulum 2010, mata kuliah Program Studi Pendidikan Soiologi yang diampu oleh Jurusan Sosiologi-bukan oleh MKU dan MKDK, PPL, skripsi-hanya ada mata kuliah Sosiologi Pendidikan, Sosiologi kurikulum, dan sistem Pendidikan Indonesia yang memang berfokus pada pergulatan bagaimana pendidikan dapat diteropong lewat kacamata sosiologi. 

Muncul pertanyaan, apa sebenarnya yang dinginkan Jurusan Sosiologi atas Program Studi Pendidikan Sosiologi? Menciptakan pendidik bernalar sosiologis, atau menciptakan sosiolog yang berprofesi sebagai tukang didik?

Penutup

Sekonyong-konyong menyalahkan mahasiswa karena menjadi representasi dari kegagalan Jurusan Sosiologi bukan tindakan yang arif, walaupun kondisi satu dimensi mereka bukan satu yang harus dibenarkan juga. Saya lebih melihat ada konformitas atas mereka, mereka merasionalkan sebuah Irasionalitas (Marcuse:1991) Mereka tidak memliki kontrol atas apa yang jadi kebutuhan mereka di kelas. Mereka hanya melanjutkan apa yang dingini oleh masyarakat, universitas, Jurusan, bukan apa yang mereka sendiri ingini. Hal ini malah mengebiri manusia dalam penggunaan fakultas-fakultas akalnya (nuryatno:2008)

Padahal bila ada sinergi antar subjek (mahasiswa) dan struktur (institusi) yang bercirikan sosiologikal, hal ini akan jadi tangguh untuk menghadapi perubahan sosial, bahkan menjawabnya seperti apa yang tertuang dalam visi misi Jurusan Sosiologi UNJ. Dalam tingkat selanjutnya, institusi pendidikan mampu menjadi pusat gerakan sosial yan punya posisi tawar dalam berhadapan atas masalah sosial.(Anyon:2011)


Daftar Pustaka
Ritzer, George. Teori Sosiologi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2011.
Jay, Martin. Sejarah Mazhab Frankfurt: Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan Teori Kritis. Yogyakarta. Kreasi Wacana. 2005.
Habermas, Jurgen. Knowledge and Human Interest. Boston, Beacon Press. 1988.
Nuryatno, Agus. Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta. Resist Book. 2008.
Apple, Michael W. Ideology and Curriculum. New York. RoutledgeFalmer. 2004
Marcuse, Herbert. One-Dimensional Man. Boston. Beacon Press. 1991
Anyon, Jean. Marx and Education. New  York. Routledge Press. 2011
Koran-Jakarta edisi Jum’at 2 Maret 2012. Menelaah hubungan Pendidikan dan Modal

1 komentar: