Judul Buku : Humanisme dan
Sesudahnya;
Meninjau Ulang Gagasan Besar Tentang Manusia
Penulis : F. Budi
Hardiman
Penerbit :
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun Terbit : Juni 2012
|
Gereja-gereja
di Eropa yang hingga abad 18 memang punya otoritas absolut atas tindak tanduk
manusia yang diterjemahkan lewat ayat-ayat suci, dan ganjaran-ganjaran
kehidupan setelah mati. Gereja punya seperangkat dimensi manusia yang harus
dipatuhi atas nama kemanusiaan yang dikontrol oleh agama (Kristianitas). Namun,
manakala doktrin atas keselamatan individu berubah menjadi alat kontrol atas
individu yang penting bukan lagi manusia nyata, melainkan agama.
Atas
kondisi tersebut, segala yang bertentangan dengan Gereja sebagai penafsir
tunggal atas agama, mulai muncul tindakan-tindakan manipulatif dari Gereja yang
mengalienasi manusia dari hidup dan kehidupannya yang otentik. Galileo jadi
contoh bagaimana manusia dengan kekhasan kemanusiaanya yang dalam kondisinya
ditolak mentah-mentah otoritas Gereja.
Pengebirian
manusia atas diri dan kemanusiaanya yang kemudian memunculkan gerakan Renaisans
di Eropa, yang menenakankan atas kebebasan inidividu. Terlebih atas otoritas
Gereja yang kian menjelma menjadi otoriter. Sebuah konteks awal-walau bukan
pertama-yang mencoba merumuskan apa dan siapa manusia.
Agenda
kemanusiaan ini salah satunya tercermin dari ungkapan Rene Descartes “Aku
Berpikir Maka Aku ada” sebuah apresiasi puncak atas manusia dengan penggunaan
rasionya. Bukan lagi dikte-an aturan agama lewat Gereja. Semua pemikir
Renaisans mencoba menarik manusia kembali ke dunia-sini, bukan lagi diangankan
dalam dunia-sana.
Satu
persatu pemikir tersohor mulai meninggalkan interpretasi atas Tuhan demi
menjunjung sebuah kodrati manusia yang konkret dalam dunia yang dijalaninya
sekarang. Nietzsche secara provokatif mengajak manusia untuk ‘membunuh Tuhan’.
Gott ist Tot. Lewat tokoh rekaannya: Zarathustra, Nietzsche menyuruh
manusia-manusia zamannya untuk melampaui manusia sebelumnya yang tunduk atas
perintah keTuhanan. Katakanlah babak ini sebuah Humanisme tanpa Tuhan.
Gegap
gempita manusia dan kebebasan interpretasi ini turut membuat arus kolonialisme
atas bangsa-bangsa terutama Asia, Afrika, Polinesia. Orang-orang Barat yang
merasa telah tercerahkan merasa perlu membuat ‘misi kemanusiaan’ terhadap
manusia di luar Eropa yang masih mempercayai takhayul, mistisme dan hal yang
punya bau transenden. Maka gelombang penjajahan Bangsa Eropa juga menandai
proyek Humanisme Eropa yang terwujud dalam kolonialisme.
Bahkan
manusia juga coba dirumus oleh Adolf Hitler, Fasis dari negeri Panser yang mendefinisi manusia secara serampangan. Buat
Hitler manusia yang pantas adalah manusia Arya dengan karakter, dan sifat
khasnya yang paling unggul dari kelompok-kelompok manusia lainnya. maka atas
dasar itu Hitler merasa berhak melakukan teror, pembunuhan atas nama manusia
unggul versinya. korbannya Yahudi. Tak beda jauh, rezim Komunisme di Soviet
juga melegalkan prosedur yang sama mengenai manusia-manusia yang musti komunal.
Dua
babak ini yang menjadi babak dimana Penulis, Francis Budi Hardiman Mengurai dua
arus besar rumusan atas Humanisme. Khusus untuk yang kedua, Francis berpendapat
teror atas manusia dengan dalih manusia adalah sebuah paradoks. Ia menyebutnya
sebuah Metafisika Kamanusiaan, dimana rumusan mengenai manusia menjadi kaku di
satu kelompok tertentu dan dipaksakan untuk menjadi rumusan bersama. Sebuah
represi berbentuk Universalitas Manusia.
Humanisme
Lentur
Sedemikain
peliknya masalah manusia dan kemanusiaan bukan berarti menghentikan Francis
untuk membantu memberi jalan untuk memahami manusia dan dimensi kemanusiaanya.
Mulanya, ia tidak menganjurkan untuk mengikuti dua arus besar Humanisme yang
sudah ada: Manjadi Ateistis dalam humanisme tanpa tuhan, atau menjelma
Totalitarianis di selubung humanisme tanpa manusia.
Ia
menyarankan untuk mengambil langkah pembedaan dalam dua aspek humanisme.
Pertama, aspek kritis-normatif, yang mampu menelanjangi sekat-sekat yang
menghalang dan menindas manusia dan kemanusiannya.(Hal 62) Ia mencontoh
bagaimana menjadi arif dalam ruang humanisme tanpa Tuhan. Francis berseru untuk
membabat habis aturan-aturannya saja, bukan kepada Tuhan. Karena sebagaimana
Humanis Ateistis, Tuhan yang mereka tolak juga merupakan Tuhan yang ditolak
atas orang yang memiliki kedewasaan iman.
Yang
kedua adalah aspek faktual. Bagaimana pun humanisme merupakan sebuah ‘isme’
yang rentan menjadi sebuah konsep metafisik kemanusiaan.(Hal 68) Sebagaimana
bila konsep anti-Tuhan bisa menjadikan pembuat konsep menjadi Tuhan baru yang
rentan manipulasi.
Maka
Humanisme Lentur dapat dipahami bahwa tendensi manusia dan kemanusiannya tidak
akan berhenti. Ia dinamis dalam perdebatan yang dimaksudkan dalam visi
perjuangan yang dialogis. Tuntutan untuk mengelaborasi iman dan akal memang
mutlak diguna tanpa represi kepada manusia lainnya. Melelahkan memang namun
dalam suka cita mengeliminir tindakan teror yang mengatasnamakan agama atau
kekuatan tertentu, hal tersebut bukan kesia-siaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar