Minggu, 26 Agustus 2012

Merumus Ulang Manusia dan Kemanusiaan


Judul Buku  : Humanisme dan Sesudahnya;
                      Meninjau Ulang Gagasan Besar Tentang Manusia
Penulis        : F. Budi Hardiman
Penerbit       : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun Terbit : Juni 2012
Hampir empat abad yang lalu, tepatnya  22 Juni 1633, Galileo Galilei dibawa ke Pengadilan Geraja Italia. Ia diringkus oleh Gereja Italia lantaran dukungannya atas teori Copernicus mengenai perputaran bumi yang mengelilingi matahari. Gereja-Gereja Eropa yang kala itu masih meyakini ajaran Aristoteles bahwa bumi adalah pusat alam semesta tentu saja menganggap Galileo dan keyakinannya sesat.

Gereja-gereja di Eropa yang hingga abad 18 memang punya otoritas absolut atas tindak tanduk manusia yang diterjemahkan lewat ayat-ayat suci, dan ganjaran-ganjaran kehidupan setelah mati. Gereja punya seperangkat dimensi manusia yang harus dipatuhi atas nama kemanusiaan yang dikontrol oleh agama (Kristianitas). Namun, manakala doktrin atas keselamatan individu berubah menjadi alat kontrol atas individu yang penting bukan lagi manusia nyata, melainkan agama.

Atas kondisi tersebut, segala yang bertentangan dengan Gereja sebagai penafsir tunggal atas agama, mulai muncul tindakan-tindakan manipulatif dari Gereja yang mengalienasi manusia dari hidup dan kehidupannya yang otentik. Galileo jadi contoh bagaimana manusia dengan kekhasan kemanusiaanya yang dalam kondisinya ditolak mentah-mentah otoritas Gereja.

Pengebirian manusia atas diri dan kemanusiaanya yang kemudian memunculkan gerakan Renaisans di Eropa, yang menenakankan atas kebebasan inidividu. Terlebih atas otoritas Gereja yang kian menjelma menjadi otoriter. Sebuah konteks awal-walau bukan pertama-yang mencoba merumuskan apa dan siapa manusia.

Agenda kemanusiaan ini salah satunya tercermin dari ungkapan Rene Descartes “Aku Berpikir Maka Aku ada” sebuah apresiasi puncak atas manusia dengan penggunaan rasionya. Bukan lagi dikte-an aturan agama lewat Gereja. Semua pemikir Renaisans mencoba menarik manusia kembali ke dunia-sini, bukan lagi diangankan dalam dunia-sana.

Satu persatu pemikir tersohor mulai meninggalkan interpretasi atas Tuhan demi menjunjung sebuah kodrati manusia yang konkret dalam dunia yang dijalaninya sekarang. Nietzsche secara provokatif mengajak manusia untuk ‘membunuh Tuhan’. Gott ist Tot. Lewat tokoh rekaannya: Zarathustra, Nietzsche menyuruh manusia-manusia zamannya untuk melampaui manusia sebelumnya yang tunduk atas perintah keTuhanan. Katakanlah babak ini sebuah Humanisme tanpa Tuhan.

Gegap gempita manusia dan kebebasan interpretasi ini turut membuat arus kolonialisme atas bangsa-bangsa terutama Asia, Afrika, Polinesia. Orang-orang Barat yang merasa telah tercerahkan merasa perlu membuat ‘misi kemanusiaan’ terhadap manusia di luar Eropa yang masih mempercayai takhayul, mistisme dan hal yang punya bau transenden. Maka gelombang penjajahan Bangsa Eropa juga menandai proyek Humanisme Eropa yang terwujud dalam kolonialisme.

Bahkan manusia juga coba dirumus oleh Adolf Hitler, Fasis dari negeri Panser yang  mendefinisi manusia secara serampangan. Buat Hitler manusia yang pantas adalah manusia Arya dengan karakter, dan sifat khasnya yang paling unggul dari kelompok-kelompok manusia lainnya. maka atas dasar itu Hitler merasa berhak melakukan teror, pembunuhan atas nama manusia unggul versinya. korbannya Yahudi. Tak beda jauh, rezim Komunisme di Soviet juga melegalkan prosedur yang sama mengenai manusia-manusia yang musti komunal.

Dua babak ini yang menjadi babak dimana Penulis, Francis Budi Hardiman Mengurai dua arus besar rumusan atas Humanisme. Khusus untuk yang kedua, Francis berpendapat teror atas manusia dengan dalih manusia adalah sebuah paradoks. Ia menyebutnya sebuah Metafisika Kamanusiaan, dimana rumusan mengenai manusia menjadi kaku di satu kelompok tertentu dan dipaksakan untuk menjadi rumusan bersama. Sebuah represi berbentuk Universalitas Manusia.

Humanisme Lentur

Sedemikain peliknya masalah manusia dan kemanusiaan bukan berarti menghentikan Francis untuk membantu memberi jalan untuk memahami manusia dan dimensi kemanusiaanya. Mulanya, ia tidak menganjurkan untuk mengikuti dua arus besar Humanisme yang sudah ada: Manjadi Ateistis dalam humanisme tanpa tuhan, atau menjelma Totalitarianis di selubung humanisme tanpa manusia.

Ia menyarankan untuk mengambil langkah pembedaan dalam dua aspek humanisme. Pertama, aspek kritis-normatif, yang mampu menelanjangi sekat-sekat yang menghalang dan menindas manusia dan kemanusiannya.(Hal 62) Ia mencontoh bagaimana menjadi arif dalam ruang humanisme tanpa Tuhan. Francis berseru untuk membabat habis aturan-aturannya saja, bukan kepada Tuhan. Karena sebagaimana Humanis Ateistis, Tuhan yang mereka tolak juga merupakan Tuhan yang ditolak atas orang yang memiliki kedewasaan iman.

Yang kedua adalah aspek faktual. Bagaimana pun humanisme merupakan sebuah ‘isme’ yang rentan menjadi sebuah konsep metafisik kemanusiaan.(Hal 68) Sebagaimana bila konsep anti-Tuhan bisa menjadikan pembuat konsep menjadi Tuhan baru yang rentan manipulasi.

Maka Humanisme Lentur dapat dipahami bahwa tendensi manusia dan kemanusiannya tidak akan berhenti. Ia dinamis dalam perdebatan yang dimaksudkan dalam visi perjuangan yang dialogis. Tuntutan untuk mengelaborasi iman dan akal memang mutlak diguna tanpa represi kepada manusia lainnya. Melelahkan memang namun dalam suka cita mengeliminir tindakan teror yang mengatasnamakan agama atau kekuatan tertentu, hal tersebut bukan kesia-siaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar