REVIEW
THE SACRED CANOPY: BAGIAN RELIGION AND WORLD-CONSTRUCTION
Bila pernah ada pertanyaan mana yang terlebih dahulu hadir?
Manusia atau dunia? seluruh manusia yang pernah maupun masih berada di dunia
sepakat bahwa dunia secara fisik terlebih dahulu muncul dibanding manusia.
Fisika telah menawarkan varian jawaban atas pertanyaan tersebut.
Namun, apakah dunia tanpa manusia masih bisa disebut sebagai dunia?
serta apa arti dunia bila manusia absen? Dunia memiliki faedah setelah manusia ada.
Dan oleh karenanya, sesungguhnya dunia baik secara fisik maupun metafisik
merupakan konstruksi dari manusia yang berkonsesus alias masyarakat.
Meski cuma satu, dunia bisa jadi dipandang bervariasi oleh satu masyarakat
dengan yang lainnya. setiap masyarakat berupaya dalam proses pembangunan dunia.
namun bagaimana secara sistematis dunia dibangun oelh masyarakat yang merupakan
konsesus manusia? Melalui The Sacred Canopy, Peter L Berger punya jawabannya.
Untuk memahami jawaban Berger, awalnya kita harus sepakat dengan
Berger yang mengandaikan masyarakat sebagai produk dari manusia yang telah
melalui serangkain proses dialektis. Artinya, masyarakat bukan hanya diciptakan
oleh manusia, melainkan turut pula menciptakan manusia. Tidak pernah ada
manusia yang tercerai dari realitas sosialnya, sehingga manusia mampu pula
dipahami melalui realitas sosial yang melingkupinya dan oleh karenananya
masyarakat dimana ia ada.
Berger mencatat ada 3 tahap penting untuk memahami proses
dialektika masyarakat ini: eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi. Hanya
dengan memahami ketiga tahap ini pemahaman yang memadai mengenai masyarakat
mampu didapat.
Pertama adalah eksternalisasi yang diartikan Berger merupakan
kebutuhan antropologis manusia adalah aktualisasi dinamis dengan dunia, baik
secara fisik maupun mental. Sedangkan objektifikasi merupakan pencapaian dari aktualisasi
sebelumnya yang terkonfrontasikan sebagai hasil orisinal dirinya atau sebagai faktisitas
ekternal untuk orang lain. Dan internalisasi diartikan sebagai penyerapan realitas
dari struktur objektif kepada struktur kesadaran manusia.
Tidak seperti spesies lain yang pernah menginjak bumi, manusia
dipandang Berger merupakan makhluk yang aneh yang setidaknya terwujud dari
relasi fisiknya dengan dunia fisik. Jika beruang kutub dilahirkan dengan bulu
dan penyimpanan cadangan lemak yang berlebih untuk mengatasi suhu dingin, manusia
dilahirkan tanpa lingkungan fisik yang spesifik. Kambing hanya butuh dedaunan
untuk hidup, sebagaimana padi yang makanannya telah disediakan alam. Manusia
butuh jadi dosen, menggantungkan diri kepada agama, memiliki istri, membutuhkan
rumah untuk bisa bertahan hidup. Alam
tak serta merta menyediakan hal tersebut untuk manusia
Namun, bukan berarti manusia tak mampu hidup di kutub bumi misalnya.
Manusia mampu hidup di kutub bumi dengan memodifikasi perangkat fisiknya
sedemikian rupa entah dengan mengenakan pakaian tebal atau pola konsumsi yang sesuai
dengan suhu rendah. Manusia harus mengkonstitusikan dunianya sendiri. Makanya
Berger menyebut dunia yang ditinggali manusia merupakan open world
Karena bersifat terbuka inilah, dunia yang diciptakan
manusia menjadi tidak stabil sehingga upaya kontruksi dunia atau paling tidak penciptaan
ruang dan waktu untuk hidup manusia harus dijaga agar manusia mampu bertahan
hidup. Dan oleh karenanya, manusia membutuhkan satu hubungan atau jembatan yang
menyambungnya sebagai makhluk yang tak tuntas dengan dunia.
Karena dunia manusia merupakan open
world maka dunia tersebut bersifat tidak stabil sehingga mengharuskan
manusia harus terus menerus menjaga hubungannya dengan dunia, ia harus
menempatkan dirinya sesuai dengan dunia yang dikonstruksinya. Hubungan tersebut dibangun dengan baik melalui
aktivitas secara fisik maupun mental yang secara kolektif disebut sebagai
budaya.
Budaya disebut Berger sebagai the
second nature, atau struktur yang berusaha mencukupi kebutuhan manusia
untuk hidup di dunia yang tak mampu disediakan oleh alam. Ia bisa bersifat
secara material maupun non material dan merupakan totalitas dari aktualisasi
manusia. Dan oleh karenanya masyarakat merupakan cara yang efektif sebagai
bagian dari budaya untuk mengonstruksi dunia.
Masyarakat jadi cara paling efektif dan efisien karena budaya
mengharuskan manusia membentuk formasi budayanya, sehingga upaya kolektivitas
tersebut jadi konsesus paling efektif. Dan yang lebih penting lagi upaya
konstruksi manusia jelas tak bisa diciptakan oleh individu seorang, melainkan
dari usaha manusia yang terhimpun.
Pada tingkat selanjutnya, aktivitas yang mampu menjembatani masyarakat
dengan dunia yang ingin dicapai diklasifikasikan guna menyaring mana
aktivitas-aktivitas yang memiliki signifikansi atas konstruksi dunia, mana
upaya yang tidak berhubungan. Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa budaya
bukan sebuah aktivitas acak dari masyarakat melainkan merupakan upaya yang
secara tidak langsung terstruktur untuk hasil-hasil tertentu.
Konteks macam ini kemudian lebih distrukturkan oleh
generasi-generasi selanjutnya dengan mengeliminir aktivitas-aktivitas yang
tidak memiliki signifikansi atas upaya pembangunan dunia. dan untuk lebih sistematis,
dibuatlah hukum atau perintah-perintah yang spesifik, dan lahir institusi atau
lembaga yang bertugas menjaga aturan dan perintah tersebut dijalankan.
Perintah atau aturan yang lolos selesksi ini, berada di atas pengalaman
dan makna dari seorang individu. Dan oleh karenanya, upaya konstruksi dunia
merupakan upaya ordering or nomizing activity. Ordering dan
nomizing activity ini ada kalanya bersifat represif kepada individu sehingga
seorang yang tidak melaksanakan hal tersebut bisa ‘dikeluarkan’ dari masyarakat
atau dicap sebagai devian.
Yang perlu dicatat dari penjelasan Berger dan berguna bagi pembahasan
mengenai agama selanjutnya adalah upaya
menghimpun aturan dan perintah yang disederhanakan oleh Berger menjadi Nomos ini
tak pernah terlepas dari kenyataan bahwa manusia merupakan bagian dari alam (universe). Dan adakalanya Nomos dipahami
sebagai sebuah manifestasi dari alam alias taken
for granted.
Ketika Nomos dimaknai sebagai buah dari alam, terjadi sinkronasi antara
aktualisasi manusia dan produknya dengan semesta yang inheren. Kedua hal
tersebut menjadi koeksisten. Berger menunjukan bahwa pada kebudayaan arkais Nomos
merupakan refleksi dari mikrokosmos sedangkan pada masyarakat kontemporer Berger
menganggap kosmositas dunia sosial lebih mereferenssi kepada ihwal saintifik
sehingga proposisinya berubah dari alam semesta menjadi alam manusia.
Meski demkian, Berger mengungkapkan bahwa apapun perkembangan
masyarakat, kosmositas merupakan tendensi konstruksi manusia untuk memproyeksi
dengan jelas tentang semesta, dan dunia seperti apa yang harus dibangun untuk
memenuhi kebutuhannya. Dan ketika Nomos disituasikan sebagai nature of things baik secara kosmologikal
maupun antropologikal, Nomos diandaikan berasal dari kekuatan maha dahsyat sebagai
sumber yang membentuk aktivitas manusia dibanding sejarah umat manusia sedniri.
Di titik inilah, Berger memasukan agama dengan signifikansinya
atas upaya membangun dunia. Agama buat Berger merupakan jalan cepat untuk
menuju pemahaman kosmologi yang jelas melalui jalur lainnya. Agama merupakan
upaya manusia yang menciptakan kosmos yang sakral, dan oleh karenanya agama merupakan
komosisasi melalui cara-cara yang sakral.
Sakralitas disini berarti kualitas kekuatan yang misterius namun
luar biasa besarnya ketimbang perihal lain yang memengaruhi manusia yang
dipercaya bersemayam pada pengalaman-pengalaman objek tertentu. Atribusi hal
sakral ini awalnya berupa objek alam
maupun yang artifisial seperti binatang, manusia, atau hasil budaya itu
sendiri.
Dan pada tahap selanjutnya, sakralitas terhadap sacred things ini dianggap
bertransformasi sebagai kekuatan yang maha dahsyat yang mengatur alam semesta
yang tak lagi memiliki relasi dengan manusia itu sendiri namun masih memiliki
nilai sakral bagi manusia.
Sejarah sakralisasi dipaparkan Berger sendiri memiliki banyak
varian kemunculan, namun ia merangkumnya dalam beberapa kelompok besar sebagai
hal yang muncul dari aktivitas keseharian manusia yang tidak lazim dan potensial
membahayakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
Alam semesta dikemukakan oleh agama baik secara transenden maupun manusia
itu sendiri, dan oleh karenanya sakralitas alam semesta dihadapi manusia
sebagai realitas yang maha dahsyat ketimbang realitas yang terjadi pada manusia
sendiri. Realitas maha dahsyat tersebut
mensituasikan realitas yang dijalani manusia dan membuat manusia mayakini bahwa
hidupnya harus dilakukan untuk tujuan-tujuan yang lebih bermakna untuk
menciptakan dunia yang sempurna untuk hidup manusia.
Sementara itu, Berger turut pula membedakan aktivitas lain yang
tak termasuk aktivitas sakral, yakni aktivitas duniawi (profane). Sederhananya,
perihal duniawi adalah sebuah keabsenan atas sakralitas, baik yang terwujud
melalui aktivitas maupun kebendaan.
Nah untuk membagi mana hal yang sakral dan duniawi, masyarakat
membutuhkan perangkat klasifikasi khusus, di sinilah agama muncul menurut
Berger. Yang berfungsi sebagai alat untuk dikotomi realitas menjadi hal sakral
atau hal duniawi. Menurut Berger pemahaman mengenai dikotomi tersebut berguna
untuk memahami fenomena kegamaan.
Dan pada hubungannya atas penciptaan dunia, via Berger diketahui
bahwa pada dasarnya masyarakat merupakan bangunan besar dari eksternalisasi dan
objektivikasi makna-mana dengan keinginan menciptakan dunia yang paling
bermakna. Sedangkan kosmositas berguna untuk menyeparasikan mana dunia yang ada
dengan dunia yang sesungguhnya bermakna dan diidamkan manusia.
Dan pada akhirnya Beger punya konklusi bahwa agama memiliki bagian
yang strategis pada upaya manusia dalam membangun dunia. agama membantu manusia
mencapai jarak terjauh dari proyeksi dunia yang diidamkan oleh manusia, melalui
proses eksternalisasinya. Agama mengimplikasikan bahwa aturan dan perintah yang
dijalankan manusia merupakan syarat kesiapan untuk menghuni dunia yang
diidamkan. Atau sebaliknya, agama berupaya mensituasikan dunia ideal yang siap
ditinggali manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar