Sabtu, 22 November 2014

Jembatan Itu Bernama Agama




REVIEW THE SACRED CANOPY: BAGIAN RELIGION AND WORLD-CONSTRUCTION 
Bila pernah ada pertanyaan mana yang terlebih dahulu hadir? Manusia atau dunia? seluruh manusia yang pernah maupun masih berada di dunia sepakat bahwa dunia secara fisik terlebih dahulu muncul dibanding manusia. Fisika telah menawarkan varian jawaban atas pertanyaan tersebut.
Namun, apakah dunia tanpa manusia masih bisa disebut sebagai dunia? serta apa arti dunia bila manusia absen? Dunia memiliki faedah setelah manusia ada. Dan oleh karenanya, sesungguhnya dunia baik secara fisik maupun metafisik merupakan konstruksi dari manusia yang berkonsesus alias masyarakat.

Meski cuma satu, dunia bisa jadi dipandang bervariasi oleh satu masyarakat dengan yang lainnya. setiap masyarakat berupaya dalam proses pembangunan dunia. namun bagaimana secara sistematis dunia dibangun oelh masyarakat yang merupakan konsesus manusia? Melalui The Sacred Canopy, Peter L Berger punya jawabannya.
Untuk memahami jawaban Berger, awalnya kita harus sepakat dengan Berger yang mengandaikan masyarakat sebagai produk dari manusia yang telah melalui serangkain proses dialektis. Artinya, masyarakat bukan hanya diciptakan oleh manusia, melainkan turut pula menciptakan manusia. Tidak pernah ada manusia yang tercerai dari realitas sosialnya, sehingga manusia mampu pula dipahami melalui realitas sosial yang melingkupinya dan oleh karenananya masyarakat dimana ia ada.
Berger mencatat ada 3 tahap penting untuk memahami proses dialektika masyarakat ini: eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi. Hanya dengan memahami ketiga tahap ini pemahaman yang memadai mengenai masyarakat mampu didapat.
Pertama adalah eksternalisasi yang diartikan Berger merupakan kebutuhan antropologis manusia adalah aktualisasi dinamis dengan dunia, baik secara fisik maupun mental. Sedangkan objektifikasi merupakan pencapaian dari aktualisasi sebelumnya yang terkonfrontasikan sebagai hasil orisinal dirinya atau sebagai faktisitas ekternal untuk orang lain. Dan internalisasi diartikan sebagai penyerapan realitas dari struktur objektif kepada struktur kesadaran manusia.
Tidak seperti spesies lain yang pernah menginjak bumi, manusia dipandang Berger merupakan makhluk yang aneh yang setidaknya terwujud dari relasi fisiknya dengan dunia fisik. Jika beruang kutub dilahirkan dengan bulu dan penyimpanan cadangan lemak yang berlebih untuk mengatasi suhu dingin, manusia dilahirkan tanpa lingkungan fisik yang spesifik. Kambing hanya butuh dedaunan untuk hidup, sebagaimana padi yang makanannya telah disediakan alam. Manusia butuh jadi dosen, menggantungkan diri kepada agama, memiliki istri, membutuhkan rumah  untuk bisa bertahan hidup. Alam tak serta merta menyediakan hal tersebut untuk manusia
Namun, bukan berarti manusia tak mampu hidup di kutub bumi misalnya. Manusia mampu hidup di kutub bumi dengan memodifikasi perangkat fisiknya sedemikian rupa entah dengan mengenakan pakaian tebal atau pola konsumsi yang sesuai dengan suhu rendah. Manusia harus mengkonstitusikan dunianya sendiri. Makanya Berger menyebut dunia yang ditinggali manusia merupakan open world
Karena bersifat terbuka inilah, dunia yang diciptakan manusia menjadi tidak stabil sehingga upaya kontruksi dunia atau paling tidak penciptaan ruang dan waktu untuk hidup manusia harus dijaga agar manusia mampu bertahan hidup. Dan oleh karenanya, manusia membutuhkan satu hubungan atau jembatan yang menyambungnya sebagai makhluk yang tak tuntas dengan dunia.
Karena dunia manusia merupakan open world maka dunia tersebut bersifat tidak stabil sehingga mengharuskan manusia harus terus menerus menjaga hubungannya dengan dunia, ia harus menempatkan dirinya sesuai dengan dunia yang dikonstruksinya.  Hubungan tersebut dibangun dengan baik melalui aktivitas secara fisik maupun mental yang secara kolektif disebut sebagai budaya.
Budaya disebut Berger sebagai the second nature, atau struktur yang berusaha mencukupi kebutuhan manusia untuk hidup di dunia yang tak mampu disediakan oleh alam. Ia bisa bersifat secara material maupun non material dan merupakan totalitas dari aktualisasi manusia. Dan oleh karenanya masyarakat merupakan cara yang efektif sebagai bagian dari budaya  untuk mengonstruksi dunia.
Masyarakat jadi cara paling efektif dan efisien karena budaya mengharuskan manusia membentuk formasi budayanya, sehingga upaya kolektivitas tersebut jadi konsesus paling efektif. Dan yang lebih penting lagi upaya konstruksi manusia jelas tak bisa diciptakan oleh individu seorang, melainkan dari usaha manusia yang terhimpun.
Pada tingkat selanjutnya, aktivitas yang mampu menjembatani masyarakat dengan dunia yang ingin dicapai diklasifikasikan guna menyaring mana aktivitas-aktivitas yang memiliki signifikansi atas konstruksi dunia, mana upaya yang tidak berhubungan. Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa budaya bukan sebuah aktivitas acak dari masyarakat melainkan merupakan upaya yang secara tidak langsung terstruktur untuk hasil-hasil tertentu.
Konteks macam ini kemudian lebih distrukturkan oleh generasi-generasi selanjutnya dengan mengeliminir aktivitas-aktivitas yang tidak memiliki signifikansi atas upaya pembangunan dunia. dan untuk lebih sistematis, dibuatlah hukum atau perintah-perintah yang spesifik, dan lahir institusi atau lembaga yang bertugas menjaga aturan dan perintah tersebut dijalankan.
Perintah atau aturan yang lolos selesksi ini, berada di atas pengalaman dan makna dari seorang individu. Dan oleh karenanya, upaya konstruksi dunia merupakan upaya ordering  or nomizing activity. Ordering dan nomizing activity ini ada kalanya bersifat represif kepada individu sehingga seorang yang tidak melaksanakan hal tersebut bisa ‘dikeluarkan’ dari masyarakat atau dicap sebagai devian.
Yang perlu dicatat dari penjelasan Berger dan berguna bagi pembahasan mengenai agama selanjutnya adalah  upaya menghimpun aturan dan perintah yang disederhanakan oleh Berger menjadi Nomos ini tak pernah terlepas dari kenyataan bahwa manusia merupakan bagian dari alam (universe). Dan adakalanya Nomos dipahami sebagai sebuah manifestasi dari alam alias taken for granted.
Ketika Nomos dimaknai sebagai buah dari alam, terjadi sinkronasi antara aktualisasi manusia dan produknya dengan semesta yang inheren. Kedua hal tersebut menjadi koeksisten. Berger menunjukan bahwa pada kebudayaan arkais Nomos merupakan refleksi dari mikrokosmos sedangkan pada masyarakat kontemporer Berger menganggap kosmositas dunia sosial lebih mereferenssi kepada ihwal saintifik sehingga proposisinya berubah dari alam semesta menjadi alam manusia.
Meski demkian, Berger mengungkapkan bahwa apapun perkembangan masyarakat, kosmositas merupakan tendensi konstruksi manusia untuk memproyeksi dengan jelas tentang semesta, dan dunia seperti apa yang harus dibangun untuk memenuhi kebutuhannya. Dan ketika Nomos disituasikan sebagai nature of things baik secara kosmologikal maupun antropologikal, Nomos diandaikan berasal dari kekuatan maha dahsyat sebagai sumber yang membentuk aktivitas manusia dibanding sejarah umat manusia sedniri.
Di titik inilah, Berger memasukan agama dengan signifikansinya atas upaya membangun dunia. Agama buat Berger merupakan jalan cepat untuk menuju pemahaman kosmologi yang jelas melalui jalur lainnya. Agama merupakan upaya manusia yang menciptakan kosmos yang sakral, dan oleh karenanya agama merupakan komosisasi melalui cara-cara yang sakral.
Sakralitas disini berarti kualitas kekuatan yang misterius namun luar biasa besarnya ketimbang perihal lain yang memengaruhi manusia yang dipercaya bersemayam pada pengalaman-pengalaman objek tertentu. Atribusi hal sakral ini awalnya  berupa objek alam maupun yang artifisial seperti binatang, manusia, atau hasil budaya itu sendiri.
Dan pada tahap selanjutnya, sakralitas terhadap sacred things ini dianggap bertransformasi sebagai kekuatan yang maha dahsyat yang mengatur alam semesta yang tak lagi memiliki relasi dengan manusia itu sendiri namun masih memiliki nilai sakral bagi  manusia.
Sejarah sakralisasi dipaparkan Berger sendiri memiliki banyak varian kemunculan, namun ia merangkumnya dalam beberapa kelompok besar sebagai hal yang muncul dari aktivitas keseharian manusia yang tidak lazim dan potensial membahayakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
Alam semesta dikemukakan oleh agama baik secara transenden maupun manusia itu sendiri, dan oleh karenanya sakralitas alam semesta dihadapi manusia sebagai realitas yang maha dahsyat ketimbang realitas yang terjadi pada manusia sendiri.  Realitas maha dahsyat tersebut mensituasikan realitas yang dijalani manusia dan membuat manusia mayakini bahwa hidupnya harus dilakukan untuk tujuan-tujuan yang lebih bermakna untuk menciptakan dunia yang sempurna untuk hidup manusia.
Sementara itu, Berger turut pula membedakan aktivitas lain yang tak termasuk aktivitas sakral, yakni aktivitas duniawi (profane). Sederhananya, perihal duniawi adalah sebuah keabsenan atas sakralitas, baik yang terwujud melalui aktivitas maupun kebendaan.
Nah untuk membagi mana hal yang sakral dan duniawi, masyarakat membutuhkan perangkat klasifikasi khusus, di sinilah agama muncul menurut Berger. Yang berfungsi sebagai alat untuk dikotomi realitas menjadi hal sakral atau hal duniawi. Menurut Berger pemahaman mengenai dikotomi tersebut berguna untuk memahami fenomena kegamaan.
Dan pada hubungannya atas penciptaan dunia, via Berger diketahui bahwa pada dasarnya masyarakat merupakan bangunan besar dari eksternalisasi dan objektivikasi makna-mana dengan keinginan menciptakan dunia yang paling bermakna. Sedangkan kosmositas berguna untuk menyeparasikan mana dunia yang ada dengan dunia yang sesungguhnya bermakna dan diidamkan manusia.
Dan pada akhirnya Beger punya konklusi bahwa agama memiliki bagian yang strategis pada upaya manusia dalam membangun dunia. agama membantu manusia mencapai jarak terjauh dari proyeksi dunia yang diidamkan oleh manusia, melalui proses eksternalisasinya. Agama mengimplikasikan bahwa aturan dan perintah yang dijalankan manusia merupakan syarat kesiapan untuk menghuni dunia yang diidamkan. Atau sebaliknya, agama berupaya mensituasikan dunia ideal yang siap ditinggali manusia.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar