Oleh: Anggar Septiadi dan Kurnia Yunita Rahayu*
PENGANTAR
Bisa jadi tulisan ini telat muncul di tengah arus utama berita
Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang sedang didesak menuntaskan beragam kisruh
politik serta aplikasi kebijakan ekonominya. Meski demikian, hal-hal tersebut juga yang
mendorong tulisan ini dibuat.
Ada beberapa kenyataan sekaligus pertanyaan yang melandasi tulisan
ini. Khususnya soal mengapa porsi diskursus guru dalam mengurai persoalan pendidikan selalu menjadi pertimbangan kesekian
setelah problem kurikulum, dana pendidikan, partisipasi pendidikan, hingga
persoalan konfigurasi mata pelajaran apa yang seharusnya diberlakukan untuk
menjadikan seorang menjadi seorang Indonesia. Padahal semua hal tersebut (seharusnya)
dirangkai oleh seorang guru.
Sekalipun ada, ihwal guru akan selalu berkutat pada masalah
eksternalisasinya yakni kesejahteraan, kualitas, hingga moral guru. Terlebih
belakangan juga Menteri Anies Baswedan kerap bicara soal peningkatan
kualitas guru tapi sama sekali tak menyentuh bagaimana operasi sirkuit
produksinya: Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa ada urgensi untuk
membahas bagaimana posisi LPTK kekinian sebagai rahim lahirnya guru. Sehingga pada
tahap berikutnya kita bisa sedikit memprediksikan bagaimana program pendidikan
Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla mampu untuk dilaksanakan dengan meneropong konfigurasi
guru yang seperti apa yang coba diciptakan oleh Pemerintahan Jokowi-JK.
Tulisan ini sendiri akan dibagi ke beberapa bagian, pertama
menyoal bagaimana sejarah singkat lembaga pendidikan guru Indonesia. Bagian
kedua akan memperlihatkan bagaimana konstruksi guru yang diposisikan sebagai
buruh. Sedangkan bagian ketiga akan mengontekstualisasikan dua soal tersebut
dengan kebutuhan sekarang.