Tiba-tiba saja, ada yang mengetuk pintu
kos. Padahal saat ini sudah jam dua dini hari. Ini jarang kudapati, karena kos
miliku selain si Ruki sahabatku tidak pernah ada yang datang kemari. Kulihat dari
jendela, ada sosok ber-jas merah dengan dasi garis-garis berwarna biru dongker
dan ungu. Sepatunya sangat mengkilap hingga aku yakin mampu bercermin di
sepatunya, celananya katun hitam halus tanpa ada satu lekukan lecek. Baru
kusadari ia adalah Rudolf teman kelasku.
Aku heran bukan main dari mana ia tahu
kosku? Ada urusan apa ia menemuiku? Aku tahu aku satu kelompok dalam presentasi
mata kuliah teknik penyulingan besok pagi, tapi aku juga tahu persis selama
tiga tahun kami kuliah, ia dan aku tidak pernah satu kali pun mengundang
obrolan bersama.
Setelah mempersilakan ia masuk, ia
mengutarakan niatnya: ia mau pinjam buku penyulingan air, sembari katakanlah
sebuah kegiatan belajar bersama. Di kelas memang cuma aku yang memiliki buku
ini, dan bukunya memang sangat berguna. Beberapa kali aku bisa mengetahui apa
yang akan dibicarakan dosen sebelum ia memaparkan penjelasan. Bahkan, aku tak
jarang membantah dosen berkat buku yang kubaca ini. Buku itu sendiri kudapat
dari kakekku, seorang professor terkenal dalam bidang fisika kinetik. Buku ini memang
untuk kalangan terbatas, tapi mengetahui minatku yang tinggi terhadap fisika,
kakek memberikannya kepadaku.
Tapi aku masih tak habis pikir mengapa si
Rudolf mau kemari, menemuiku. Sebelum aku berspekulasi macam-macam kuberi saja
Rudolf buku itu. Hematku, paling tidak aku sudah mendistribusikan ilmu.
Barangkali nanti kalo si Rudolf sukses, aku akan memiliki kontribusi akan kesuksesannya.
Aku beri buku tersebut, Rudolf juga tak
serta merta pergi dari kosku. Ia membacanya sedikit demi sedikit. Beberapa yang
tidak ia mengerti ditanyakan kepadaku. Misalnya mengenai purifikasi kinetik ia
benar tidak mengerti, buatnya dengan kemampuan otak yang cekak lebih baik
menyediakan saringan dengan lubang kerapatan yang kecil untuk mendapatkan air
yang lebih bersih. Kuberi penjelasan: penyaringan memang lumayan berguna untuk benda-benda
padat, namun teknik ini kurang berpengaruh untuk memisahkan air dari zat cair
ataupun gas yang berbahaya bagi tubuh. Kujelaskan lagi: salah satu cara
sederhana adalah dengan mengocok air dengan konstan, malah lebih baik bila
sirkulasinya berbentuk lingkaran, walaupun tetap dibutuhkan material khusus dan
lebih kompleks untuk hasil yang maksimal. Mendengar banyak penjelasan ia yang
juga sadar punya otak tak mumpuni mencatatnya. Kupikir, serius sekali Rudolf
ini. Selesai mencatat ia pulang, dan berterima kasih.
“sekarang gua mengerti, paling tidak ini
cukup untuk bekal besok. Terima kasih banget, bro, kalo bukan lu, gua pasti bakal
megap-megap besok.”
“hahahaha, bisa aja lu.”
Ia pergi, kubukakan pintu. Ada yang aneh,
setelah jarak 10 meter membelakangiku, tiba-tiba saja kulihat ia hanya
bersarung, dan mengenakan singlet. Mungkin aku terlalu ngantuk.
Keesokan harinya, tibalah giliran
kelompokku bersama Rudolf berpresentasi. Kali ini si Rudolf yang banyak
mengambil tempat, baik dalam penyajian makalah maupun menjawab
pertanyaan-pertanyaan. Walau aku sempat melihat, ia jelas membaca catatan yang
kemarin ia buat di kamar kosku. Biarlah, buatku mungkin ini permulaan bagi si
Rudolf. Setelah presentasi selesai, semua bertepuk tangan. Si dosen malah
bilang untuk menambahkan tepuk tangan bagi Rudolf yang gilang gemilang dalam
presentasi tersebut.
“hebat kamu Rudolf, dari mana kamu mengetahui
itu semua?”
“ah, biasa aja pak, saya cuma baca buku ini.”
Rudolf menunjukkan buku milikku. “ini buku sulit sekali saya dapat, pak. Ini
buku untuk terbatas untuk kalangan peneliti saja, saya mendapatkannya dari
seorang professor fisika kinetik terkenal. Awalnya saya cuma meminjam, namun
professor itu melihat ketertarikan saya yang besar terhadap fisika, kemudian ia
memberinya kepada saya.”
Bajingan ini Rudolf, tidak kusangka pertemuan
semalam ternyata diniati busuk olehnya. Aku tidak mempersoalkan pengakuannya
terhadap buku itu. Aku hanya merasa bangunan pengetahuanku dirusak olehnya, ini
sebuah pencurian hak cipta terhadap pengetahuan, dalam presentasi barusan, ia
bahkan menggunakan kalimatku dalam menjawab pertanyaan yang kemarin ia
lontarkan kepadaku. Terlebih dia menggunakannya untuk memperoleh kesempatan-kesempatan
politis yang menguntungkan dirinya.
Mendengar apa yang diucapkan Rudolf saya
langsung pukul dia, “Bicara apa lu, ini buku gua, bangsat!” Aku yang menjadi
sangat reaksioner, kemudian dapat hardikan oleh dosen yang kemudian memarahiku.
Aku jelaskan mengenai kejadian semalam, namun aku yang terlanjur
mempresentasikan kebrutalan di depan dosen tak sekalipun digubris. Si dosen
malah mencaciku.
“Sudah, pak tidak apa-apa. Mungkin karena
terlalu lama saya meminjami buku ini kepadanya, jadi ia menganggap ini buku
miliknya.”
“oh, jadi kamu sempat meminjami buku ini
kepadanya?”
“iya, pak, selama ini ia aktif di kelas,
karena belajar kepada saya. ia bisa bergumen panjang lebar juga karena penjelasan
saya yang ia catat. Bahkan awalnya ia mengambil buku ini tanpa sepengetahuan
saya, setalah saya tahu maka saya pinjami saja dengan saya nasihati, bila ilmu
memang tidak bisa dikuasai sendiri.”
Rudolf bajingan! Kupukul lagi ia. Ia
terjatuh
“Berhenti! Kamu setelah jam pelajaran ini
selesai silakan menemui saya di ruangan saya!.” kata si dosen kepadaku.
Dasar hipokrit bajingan, tahu ceritanya
seperti ini jangankan kupinjami buku ini, kupersilakan masuk, memegang tuas
pintuku saja akan kuhajar kau semalam. Rudolf kemudian bangun, sembari
mengeraskan suaranya ia menyodor buku itu kepadaku, “bila ingin pinjam bilang
saja, jangan mengaku-ngaku seperti itu.” Kemudian suaranya ia pelankan: baik
dan buruk cuma interpretasi, hati-hatilah!
Anjing!