Pendahuluan
Awalnya adalah diskusi kelas mengenai
bagaimana kurikulum Jurusan Sosiologi UNJ ditinjau melalui teori-teori
sosiologi. Dalam diskusi yang diikuti delapan kelompok tersebut, hanya ada satu
kelompok yang menggunakan teori konflik sebagai landasan guna meninjau
kurikulum Jurusan Sosiologi, sisanya menggunakan teori fungsionalisme Emile
Durkheim.
Dari diskusi tersebut hadir pertanyaan apa
tujuan Jurusan Sosiologi yang termanifestasikan dalam visi dan misi Jurusan
Sosiologi. Muncul juga beragam jawaban yang sifatnya normatif. Misalnya:
munculnya pelatihan IT (Informasi Teknologi), komputer, diyakini mampu
menjadikan mahasiswa menjadi guru sosiologi yang tanggap akan teknologi.
Semua kebijakan kurikulum sosiologi diimani
menjadi pendorong mahasiswa menjadi guru sosiologi yang kompeten sekaligus
menjawab tantangan zaman. Sampai ada salah satu peserta diskusi yang menganggap
kemunculan mata kuliah Sosiologi Agama diharapkan mampu meningkatkan iman dan
taqwa mahasiswa, dan menunjang dimensi religi dalam konfigurasi guru yang sempurna.
Kemudian saya heran, kenapa jurusan yang
memiliki visi menjadi program studi
unggulan di tingkat nasional yang menghasilkan sarjana sosiologi yang mampu
bernalar sosiologis ini justru malah menghadirkan iklim yang tidak
sosiologis, dengan contoh tersebut. Beberapa paper yang sempat saya lihat malah
hanya mengutip dari wikipedia.
Menjadi arogan bila menyalahkan peserta
didik yang tidak mampu bernalar sosiologis sementara Jurusan Sosiologi sebagai
struktur yang mengonformitas justru tidak pernah merangsang mahasiswa bernalar
sosiologis. Lantas menjadi wajar bila mengatakan kurikulum Jurusan Sosiologi
UNJ belum berhasil atawa gagal.
Atas kondisi tersebut muncul ketertarikan
buat menggunakan teori kritis khususnya yang diusung institut frankfurt buat
menganalisis kurikulum Jurusan Sosiologi UNJ.