Spanduk itu memang banyak mencuri perhatian. Ukurannya besar.
Kurang lebih 8 x 1 meter. Tulisannya Gue Bangga Jadi Mahasiswa UNJ
ditambah lambang UNJ di pojok. Bila benar, spanduk tersebut dipasang mulai Juli
di Teater Terbuka. Saya tidak tahu siapa yang memasang. Apalagi niatnya. Saya tak
peduli. tapi spanduk itu tetap menjambret perhatian. Khusunya buat mahasiswa
baru.
Teman saya jadi korban. Gara-gara spanduk tersebut, Ia
kecopetan perhatian. Ia gadis 17 tahun, baru lulus SMA. Diterima di Jurusan
Akuntansi UNJ, lewat jalur Penmaba. Saat daftar ulang saya mengantarnya ke BAAK
buat urus syarat-syarat administratif sekaligus urusan birokratis lainnya. ia
tak hirau spanduk itu hinnga melihat antrian panjang menuju petugas loket. Ia
mengendur semangat. Mengajak saya mencari selasar. Melempar pandang. Pandangnya
terhenti sejenak di spanduk.
Si gadis lulusan tulen SMA Indonesia. Tak banyak tingkah.
Hijau. Polos. Perhentian mata di spanduk itu membuah manifestasi semua yang ia
dapat di bangku sekolah. “Memang mahasiswa UNJ tidak bangga dengan kampusnya
sendiri, ya?” ucapnya. Polos. Saya masih tidak peduli hingga si gadis mengulang
pertanyaannya dua kali. Saya menjawab seadanya, “sabar, sebentar lagi juga akan
tahu apa yang dirasa si pemasang spanduk.”
Inferior. Satu kata yang mampir di kepala saya
setelahnya. Sebuah rasa ketidakpercayaan diri akut. Rendah diri. Menganggap
dirinya sangat rendah dihadapan apapun dan siapapun. Dalam tingkat tertentu,
omongan si gadis benar. Kenapa harus dibuat spanduk besar dan lebar buat
menyemat kebanggan? Apa sudah tak ada lagi yang mampu dibanggakan hingga
mengguna cara-cara instan seperti memasang spanduk? Bukan. Bukan spanduk yang
jadi masalah. Utamanya hal yang ingin diungkap si spanduk.
Saya tak mau lagi ungkit tentang kasus korupsi, biaya
kuliah yang menjulang, atau sistem perkuliahan amburadul. Tapi, apa efeknya
sangat sangat meraba ranah kejiwaan sampai menerbit inferioritas yang akut. Dibaca
terbalik, spanduk itu memuncul krisis identitas. Ketidakpercayaan terhadap
almamater. Sebelumnya, saya yakin ini semua telah diketahui walau semua
pura-pura tidak tahu. Saya kagum sekaligus heran. Bila sudah ada pernyataan
seperti ini, ranahnya bukan lagi individual melainkan kolektif. Sudah jadi
perihal sosiologis.
Hipokrit. Kata kedua yang bertandang. munafik. Cari
peluang yang menguntungkan. Berpura-pura. Di luar berpenampilan gagah, arogan,
mewah. Liat itu gedung tinggi! Bayaran berjuta-juta! Kloset duduk dengan air
cebok yang memancur otomatis! Sementara di dalam hanya ada brankas penyimpan takut,
cemas, panik. Atas isi brankas itu muncrat cara-cara temporer. Spanduk salah
satunya. Tidak menjamah masalah utama.
Citra awal harus menggoda. Citra jadi cara ampuh
menyembunyikan inferioritas stadium akhir. Masa pembinaan selepas MPA mencitrakan
UNJ sesak kegiatan akademik. Ada juga yang disembunyikan. Fakta bahwa
belakangan waktu UNJ tak sempat hadir di perhelatan akademik macam PIMNAS. Pun
sulit mendapat hibah program kreatifitas mahasiswa jadi alasan masa pembinaan
mahasiswa ada. UNJ sadar ia tidak berkutik. lagi-lagi jalan pintas yang
ditempuh. Seperti indomie. Instan.
Kembali ke si gadis dan saya. Si gadis tampak heran ia
tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi disini. Saya ambil kesempatan atas polosnya.
Saya terangkan bahwa kata bangga dalam Bahasa Jawa punya arti lain. Bangga:
tidak mau menurut, pembangkang. Lema ini sudah diadopsi menjadi Bahasa Indonesia
baku. Ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ia kaget mendengarnya. Lagi-lagi
polosnya saya manfaatkan. “Bila kamu mahasiswa UNJ sejati, kamu harus
membangkang atas senior, dosen, ketua jurusan, dekan, pembantu rektor, rektor.”
Saya tertawa banyak setelahnya. Ia cuma bilang saya gila.