Jumat, 16 Desember 2011

Gingsul

 


Wanita Jepang dengan Yaeba
  
Kita butuh lebih dari sekadar teori! Kita butuh Chaos! Itu pasti!
 
Beberapa tahun terakhir kawat gigi atau bracket yang lazim disebut behel jadi satu ikon baru bagi muda-mudi di Indonesia-bahkan di dunia. Secara fungsional, bracket dipakai bagi orang yang memiliki kelainan rahang dan bertujuan memperbaiki wajahnya lewat menstabilkan struktur gigi yang berantakan. Namun, semangat modernitas justru bukan hanya menyuguhkan bracket secara fungsional, melainkan menawarkan nilai-nilai simbolik.

Makanya jangan heran, saat beberapa figur yang bisa diakses banyak orang mengenakannya, seketika berbondong-bondong orang turut meniru menggunakan bracket. Bracket murah meriah yang tidak ditangani oleh ahlinya juga jadi barang dagangan yang laris manis. Padahal, dahulu memakai bracket adalah hal yang aneh dan memalukan, sekarang malah jadi mode dan gaya hidup.

Namun, belakangan ini di Jepang-dimana bracket juga jadi sebuah mode-tren bracket nampaknya sudah pudar. Di Jepang orang bukan lagi memagari giginya dengan kawat, mereka justru menambal giginya agar menonjol, tidak rapih, orang Indonesia menyebutnya gingsul. Biasanya gingsul yang hadir secara alami  karena pertumbuhan gigi yang tidak mendapat cukup ruang di rahang.

Di Jepang orang-orang justru sengaja membuat gingsul. Untuk menambah manis senyum katanya. Beragam klinik khusus gigi malah menyediakan pelayanan khusus bagi pembuatan gingsul. Para remaja putri memang jadi sasaran utama, setelah dipelopori oleh figur-figur terkenal. Buat para remaja putri di Jepang memiliki yaeba-bahasa jepang gingsul-membuat tampilan seseorang tampak lebih muda, imut, dan menggemaskan.

Di jepang, pamor bracket  telah kalah oleh yaeba. Memiliki yaeba dianggap lebih cantik ketimbang memiliki gigi yang rapi-bracket bertujuan merapihkan gigi. Orang-orang di jepang mungkin bosan dengan kontruksi cantik yang salah satunya dibentuk lewat keteraturan gigi makanya yaeba jadi pilihan. Mereka menginginkan chaos.

Chaos bukan berarti kerusuhan atau brutalitas, sederhanya ia berarti suatu kondisi yang dicipta di luar sebuah keteraturan. Ia berupa antitesa dalam proses dialektis. Yaeba adalah sebuah chaos, saat orang jepang mencoba mendekontruksi konsep kecantikan. Yaeba keluar jalur dalam lalu lintas keteraturan, bahkan dalam normalisme manusia.

Membicarakan chaos, seketika saya teringat oleh Joker dalam film Batman The Dark knight. Joker kala itu mengorganisir pentolan-pentolan penjahat Gotham City guna melumpuh Batman. Sebenarnya, niat besarnya bukan cuma tentang uang seperti para penjahat lainnya. lebih sederhana dari uang, niat joker hanya ingin menandingi kestabilan Gotham City dimana kejahatan dengan seketika disapu oleh aksi-aksi Batman. “i’m an agent of chaos,” ujarnya patriotik.

Chaos dibutuhkan untuk mencipta ruang dialektis, sehingga berjalan dinamis. Ibarat magnet, hubungan kutub yang berlainan justru bisa saling merekatkan. Sebuah letupan dibutuhkan untuk melawan kondisi mapan, yang justru sarat kepentingan pihak dominan.

Bila remaja-remaja Jepang bisa mencipta chaos dengan yaeba-nya, pun Joker di Gotham City. Mengapa kita tidak memproduksi chaos di tempat kita berdiri? Karena di dalam setiap sirkuit produksi selalu ada potensi resistensi dan resistensi yang potensial. Ya, kita bisa memulainya di tempat kita berdiri, di sini, di ruangmu, di universitas.

Dalam tingkatan tertentu, institusi pendidikan- salah satunya universitas-bisa dilihat sebagai institusi yang turut serta memenuhi konfigurasi ekonomi global. Di indonesia, semenjak soeharto lengser semangat liberalisasi unit-unit pelayanan publik banyak dilakukan. Usaha tersebut dilakukan untuk meredam kondisi keuangan negara berada dalam taraf mengkhawatirkan dengan memangkas biaya-biaya produksi dari sektor yang tak produktif, anggaran pendidikan salah satunya.

Makanya, ada reorganisasi yang dilakukan pemerintah dengan memberikan sebuah kerangka otonom bagi universitas yang berarti kebebasan dalam pengambilan keputusan tanpa intervensi negara termasuk dalam pendanaan. Dengan restu otonomi, universitas punya tugas tambahan sebagai pencari dana guna membiayai hidupnya, pun dengan cara kerja sama yang menguntungkan tanpa intervensi publik.

Otonomi juga menuntut peran aktif seluruh sivitas akademika guna mensukseskan nilai-nilai yang otonom seperti: efisiensi, dan profesionalisme. Efisiensi, secara legal-formal diterjemahkan universitas sebagai pemangkasan masa studi. Karena, ongkos ‘perawatan’ mahasiswa yang berlama-lama kuliah akan lebih banyak ketimbang biaya yang didapat darinya. Secara kultural, hadir juga usaha stabilisasi mahasiswa yang difokuskan di dalam ruang-ruang kelasnya secara fisik dan gagasan.

Lantas mari saya ajukan satu pertanyaan, apa yang kamu lihat di UNJ sekarang? Saya yakin, mayoritas jawaban tidak akan keluar jauh dari urusan lokal mengenai relasi pribadi dengan universitas berupa jadwal kuliah yang padat, daftar tugas yang diberi dosen, makan siang, nongkrong, cinta. Universitas berjalan sungguh tanpa sandungan.

Padahal, dari mulai kerikil, batu koral, hingga batu kali banyak berserak di UNJ. Namun, siapa mau bereaksi melihat batu kali besar tiba-tiba datang dari langit ke Rektorat, dan masuk ke ruangan Pembantu Rektor Kemahasiswaan, karena kita fokus untuk nge-print tugas . Siapa mau peduli Dr. Fakhrudin Arbah dan dosen Fakultas Teknik Tri Mulyono terjerat kasus korupsi mark up dana pengadaan laboratorium dan pengadaan laptop sebesar 5 milliar.

Andaikata di ruang kuliah kita dikenalkan dengan Jean Anyon saya pikir kita akan benar-benar marah mengetahui adanya kasus korupsi di UNJ dan punya determinasi konkret. Karena buat Anyon, institusi pendidikan sudah seharusnya jadi sarang pengorganisiran dalam upaya transformasi sosial yang dialektis. Fiuhh, ternyata kita juga butuh gingsul, oppss chaos maksudnya. Itu pasti!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar