Biasanya, ihwal Post-Modernisme akan dimulai dengan penjelasan bagaimana ia lahir dari ketidakpuasan proyek Modernitas. Modernitas yang pada awalnya diklaim sebagai solusi atas problem manusia dan kemanusiaan, diyakini pemikir Post-Modernisme justru makin mematikan manusia dan kemanusiaanya.
Namun, biarkan saya memulai menulis mengenai Post-Modernisme dari
sastrawan cum jurnalis Goenawan Mohammad (GM). GM dalam banyak tulisannya telah menunjukkan
kecenderungan Post-Modernisme. Tidak perlu jauh-jauh melihat kecenderungan
Post-Modernisme GM, sila baca Majalah
Tempo, Edisi 29 Oktober-4 November 2012 dalam rubrik Catatan Pinggir yang diampunya sejak Majalah Tempo berdiri.
Edisi tersebut menyajikan GM sebagai seorang Post-Modernis. Dengan
judul: Shih, GM bercerita mengenai monopoli
Pemerintahan Republik Cina yang kala itu dipimpin Chiang Khaisek. Satu regu Biro
Monopoli Tembakau Pemerintah Cina diceritakan GM merampas rokok, dan hasil
penjualan rokok seorang pedagang di Taipe, Taiwan.
Kejadian ini kemudian meluas menjadi sebuah aksi protes terhadap
otoritarianisme Pemerintahan Cina, yang kemudian secara reaksioner dibalas
Chiang Khaisek dengan upaya pembersihan besar-besaran di Taiwan. 4000 orang
terbunuh.
Bagian selanjutnya, GM bercerita mengenai saksi mata peristiwa
tersebut: Shih-Ming Te. Shih bukan hanya saksi mata atas peristiwa tersebut, ia
kemudian menjelma menjadi aktivis yang mengupayakan kebebasan Taiwan atas
kekuasaan yang menindas. Akibatnya, 25 tahun hidupnya dihabiskan di penjara
sebagai imbalan atas aksi protes menentang Pemerintah Cina.
Dalam kepala tulisan (Lead)
GM menulis: Tak mudah mengatakan apa itu keadilan, tetapi tentang
ketidak-adilan orang dapat mengenalinya dengan seketika. Shih juga merasakannya,
ketika banyak ancaman, kekerasan, intimidasi dan varian bentuk penindasan bertamu
ke hidupnya, ia dengan mudah mengklasifikasi bentuk tersebut sebagai sebuah
ketidak-adilan. Namun, seringnya ia mendapat situasi tidak-adil, Shih tiba pada
pertanyaan: lantas, apa itu sebuh keadilan?.